13 February 2022

Movie Review: Nightmare Alley (2021)

"Sometimes you don't see the line until you cross it."

Brainwashing mungkin bukan kata yang asing buat mayoritas dari kamu, aksi cuci otak yang mencoba membentuk ulang tata berpikir, perilaku dan juga kepercayaan berlandaskan konsep bahwa pikiran milik manusia dapat diubah atau dikendalikan dengan teknik psikologis tertentu. Cuci otak berawal dari mengurangi kemampuan berpikir mandiri seseorang dan ketika pintu telah terbuka maka dimasukkan pikiran dan ide baru untuk mengubah sikap, nilai, dan keyakinan orang tersebut memakai taktik koersif dan persuasi. Aksi manipulasi tersebut digunakan oleh film ini untuk membawamu masuk ke dalam sebuah pertunjukan aneh yang berisikan lingkaran setan dan bermain dengan ilusi. Nightmare Alley’: the world of the freak. 


Hidup Stanton Carlisle (Bradley Cooper) menemukan titik baru ketika dengan penuh percaya diri melangkah masuk ke dalam sebuah traveling carnival yang dipimpin oleh Clement Hoately (Willem Dafoe), alias Clem. Berawal dari kebutuhan pekerja untuk menjaga geek, Stan lantas direkrut oleh Clem. Tapi skill Stan lebih dari sebatas menjadi penjaga, dengan luwes mencuri perhatian Zeena (Toni Collette) dan Peter Krumbein (David Strathairn), mentalist couple yang juga bekerja sebagai pembaca pikiran. Stan juga tidak buang waktu untuk mendekati penampil lain, Mary Margaret Cahill (Rooney Mara) meski telah diperingatkan menjauh oleh Bruno (Ron Perlman).

Stan jatuh hati pada wanita yang akrab dipanggil Molly itu dan berencana untuk membawanya ikut di dalam sebuah rencana besar yang ia susun setelah diajari oleh Peter seni “menipu”, sosok yang menciptakan kehebohan di carnival dan membuat Stan dan Molly menjalankan misinya, untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Beberapa tahun kemudian mereka telah berada di posisi yang tersebut di New York, Stan menjadi aktor utama sedangkan Molly membantunya. Strategi yang digunakan sukses dan membuat pasangan itu terkenal, hingga suatu hari mereka bertemu Lilith Ritter (Cate Blanchett), psikolog yang mencoba mengungkap trik milik Stan.

Beberapa filmnya sukses secara komersial, seperti ‘Pan's Labyrinth’, lalu Pacific Rim dan tentu saja that lovely ‘The Shape of Water’, sedangkan sisanya cenderung kurang berhasil mencatatkan angka memuaskan, namun satu hal yang pasti Guillermo del Toro merupakan seorang Sutradara yang secara kultus dihormati dan dihargai oleh para kritikus serta penonton, meskipun review dan respon terhadap beberapa filmnya tidak luar biasa bagus. Cara ia mengarahkan kisah seorang wanita petugas kebersihan yang jatuh hati pada makhluk laut menyerupai monster di ‘The Shape of Water’ jelas merupakan his best performance as Director, dan ternyata butuh empat tahun bagi Guillermo del Toro to launch another attempt menghibur para penonton. Kali ini lewat sebuah psychological thriller.


Nightmare Alley’ tidak langsung menjerat penontonnya sejak awal melainkan coba untuk membangun sebuah “dunia” yang kelak akan digunakan untuk mendorong isu yang lebih rumit ketimbang aksi tipu-tipu belaka. Script yang Guillermo del Toro tulis bersama Kim Morgan berdasarkan novel berjudul sama karya William Lindsay Gresham dengan sabar membentuk babak pertama, tidak takut untuk mendorong kesan loose yang mencolok dan mengandalkan pesona karakter untuk membuatmu merasa tertarik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karena fokusnya sendiri tertuju pada upaya karakter Stan untuk “berbaur” ke dalam keluarga baruhnya, seorang pria oportunistik yang tidak merasa takut untuk mengabaikan larangan dan itu perlahan namun pasti menjadi sebuah motif yang kuat di dalam narasi.

Guillermo del Toro bertumpu pada itu dalam membentuk staging saat narasi masih  fokus berputar di the carnival, untuk meyakinkan penonton bahwa karakter utama pria adalah seorang yang diciptakan untuk meraih hal yang besar. Saya salah satunya dan meskipun narasi jadi terasa longgar tapi tiap bagian memiliki alasan yang oke untuk eksis, termasuk geek yang sangat membantu final punch film ini. Terkadang narasi seperti tidak punya fokus yang kuat dan terasa kurang penting tapi layaknya visual yang enchanting berkat arahan cinematographer Dan Laustsen itu penonton dapat merasakan ada sesuatu yang “menjijikkan” terjadi di dalam carnival tersebut, menjaga mereka untuk tetap ikut berjalan di belakang Stan yang tenang tapi arogan itu. Guillermo del Toro menuntut kesabaran penonton, dan itu tidak sulit diberikan.


Karena memang babak awal yang miskin urgensi itu berperan menjadi set up bagi babak selanjutnya yang presentasinya dibuat lebih kencang dan ketat. Bukan berarti lebih baik memang karena jika bicara daya tarik saya lebih suka babak pertama tapi babak kedua punya banyak isu menarik yang coba disampaikan dengan bertumpu pada menjual ilusi. Beberapa potongan dikombinasikan jadi satu, kisah cinta antara Stan dan Molly, nafsu serta ambisi sejak kemunculan Lilith yang motifnya sangat jelas sejak awal, and also Stan's fight against himself and his demons. Ada suspense yang menarik di sana dan kamu dibuat merasa ikut terlibat, berspekulasi seberapa buruk dan menakutkan hasil akhir yang akan terjadi di dalam permainan emosi yang tidak hanya berisikan aksi tipu saja tapi menyerang batin serta emosi karakter.

Cukup besar memang ruang yang disediakan Guillermo del Toro untuk mengulik hal terakhir tadi, tidak heran jika ada delay di narasi untuk memberi kesempatan pesona dan problema tiap karakter agar semakin lekat di penonton sambil mengembangkan lingkaran setan penuh keserakahan dan kesombongan itu. Score gubahan Nathan Johnson mendukung ambivalensi yang terjadi, sedangkan kualitas design yang kuat baik itu produksi dan kostum membuatmu merasa semakin terjebak di dalam drama tentang seorang pria yang terpenjara di dalam mimpi serta ambisinya, sebuah isu tentang kerentanan manusia yang masih sangat relevan tentunya hingga kini. Sound kualitasnya juga oke dalam menciptakan atmosfir ganjil dan mengintimidasi serta menjaga sikap waspada penonton.


Dan semua itu dibalut oleh kinerja akting memikat dari para aktor. Cate Blanchett membuat pesona smoking and sexy milik Lilith Ritter terasa konsisten menonjol, ia adalah the femme fatale penuh nafsu yang menyenangkan untuk diamati, sedangkan posisi depan lainnya tentu adalah Bradley Cooper yang menampilkan salah satu kinerja akting terbaik dalam karirnya, membuat pesona Stan berkembang bertahap dan berubah secara liar. Cooper dan Blanchett terasa lebih menonjol dari pemeran lain tapi karakter mereka tidak akan berfungsi dengan baik tanpa bantuan pemeran pendukung, seperti Toni Collette, David Strathairn, dan Willem Dafoe di babak awal yang membantu Cooper dalam membentuk pondasi cerita, Rooney Mara yang naik dan turun tapi fungsional, serta Richard Jenkins sebagai pintu terakhir.

Overall, ‘Nightmare Alley adalah film yang memuaskan. Dibantu kualitas kuat dari elemen teknis serta kinerja akting cast penuh bintang, Guillermo del Toro sukses membentuk kembali kisah tentang keserakahan dan penipuan di dunia para peramal itu menjadi sebuah devastating drama yang easy-to-digest. Dipenuhi karakter gelap dan samar-samar yang bermain di dalam sebuah lingkaran setan, ini adalah sebuah character study yang menyenangkan tidak hanya tentang sisi busuk dari industri showbiz tapi juga dengan kekuatan naratif yang baik menjadi potret tentang the human condition and the degradation of society dengan membawa penonton masuk ke dalam a freak show that turns catastrophically wrong in slow motion. Yeah, it’s a freakshow. Segmented.






1 comment :