03 September 2022

Movie Review: Mrs. Harris Goes to Paris (2022)

“How many chances do you get in your lifetime?”

Gantungkan mimpimu setinggi langit. Ya, kalimat klasik memang dan mungkin akan menimbulkan berbagai makna, tapi hal itu sebenarnya sangat tepat. Memang dalam perjalanan hidup mereka setiap manusia akan bertemu dengan berbagai rintangan yang di sisi lain dapat membuat mimpi yang sudah kadung tinggi digantung tadi jadi sulit untuk diraih. But if you can believe it, you can achieve it, apalagi Sang Pencipta dan semesta yang Ia kuasai selalu punya cara yang kadang datang di luar nalar dan logika untuk menolong atau membantu mereka yang percaya serta tetap berusaha. Di film ini seorang wanita yang berprofesi sebagai pembantu dan akan mengalami pengurangan gaji justru menolak berhenti tuk bermimpi: ia ingin punya sebuah gaun merk Christian Dior! Go wherever your dream takes you. ‘Mrs. Harris Goes to Paris’: a feel-good and uplifting story.


Di tahun 1957 kota London, seorang wanita paruh baya bernama Ada Harris (Lesley Manville) tinggal seorang diri setelah belasan tahun tidak memperoleh kabar dari suaminya yang turun di medan perang. Ada kini bekerja sebagai cleaning lady dan sikapnya yang lembut dan sabar tidak hanya disukai oleh majikannya saja tapi juga wanita muda bernama Pamela Penrose (Rose Williams). Suatu hari sebuah masalah tiba di dalam hidup Ada, bukan hanya dari kabar sang suami saja tapi juga obsesinya pada sebuah gaun haute couture Dior milik majikannya. Keindahan gaun tersebut membuat Ada ingin memiliki gaun Dior, dan ia bertekad untuk berangkat ke Paris dan pergi ke the House of Dior untuk membeli gaun malam untuk dirinya.

Berkat berbagai macam keberuntungan pada akhirnya Ada berhasil terbang ke Paris, tapi penampilannya yang tidak terkesan mewah membuat Ada diusir dari the House of Dior oleh Claudine Colbert (Isabelle Huppert), Dior director. Tapi keberuntungan ternyata juga masih menemani Ada di Paris lewat beberapa sosok asing yang tidak ia kenal sebelumnya seperti Marquis de Chassagne (Lambert Wilson) yang membantu Ada hadir di showing of Dior's 10th anniversary collection. Begitupula André Fauvel (Lucas Bravo) dan seorang model bernama Natasha (Alba Baptista) yang tidak hanya ikut membantu Ada namun juga belajar hal baru dari sikap optimis Ada yang tidak mau menyerah untuk berusaha mewujudkan impiannya tadi.

Jika kamu lihat posternya di atas maka impresi pertama yang paling mudah untuk muncul adalah ini merupakan sebuah comedy dengan bumbu romance yang ringan dan santai. Dan nyatanya memang demikian, bagaimana Sutradara Anthony Fabian membentuk karakter dan juga konflik berupa impian memiliki sebuah gaun itu tidak pernah mencoba untuk membawa penonton bertemu dengan rasa rumit. Memang hadir beberapa masalah namun sejak awal naskah yang Fabian tulis bersama Carroll Cartwright, Olivia Hetreed, dan juga Keith Thompson dengan basis utama novel karya Paul Gallico berjudul ‘Mrs. Arris Goes to Paris’ itu sudah memberitahu seperti apa cerita akan bermain. Yakni sebuah feel-good and uplifting story, about a cleaner who dreams of the most beautiful gown in the world.


Awalnya memang sederhana tapi perlahan namun pasti narasi mendorong berbagai macam isu dan pesan yang menarik pun menyenangkan. Konsepnya sendiri sedari awal terasa kuat, seorang wanita paruh baya dengan kelas ekonomi yang bukan dari golongan kaya raya tiba-tiba masuk ke haute couture kota Paris dan mencuri atensi banyak orang. Ada Harris bukan hanya tidak takut tapi ia juga tidak malu dengan status yang ia punya, karena yang terpenting adalah ia merasa mampu untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Mrs. Harris menolak untuk rendah diri dan lalu menyerah, ia justru bersikap berani meruntuhkan berbagai macam rintangan yang ada di hadapannya dan melangkah dengan percaya diri menuju mimpi yang ingin ia raih. Implicit, but very sweet.

Awalnya pun saya tidak menyangka kisah yang tampak sepele ini justru berakhir jadi sebuah comedy-drama yang menghangatkan hati. Setting kota Paris mungkin punya peran kecil di sana tapi bagaimana Anthony Fabian menata irama narasi merupakan kunci kesuksesan film ini berakhir seperti itu. Cerita tidak melulu berisikan “magic” yang membantu karakter utamanya, jalannya memang tampak dimudahkan namun di sisi lain terdapat beberapa masalah yang membuatnya juga belajar dari kesalahan. Karena memang dari sana salah isu penting film ini lahir, tentang kesempatan yang dimiliki oleh setiap manusia dan bagaimana cara mereka menggunakannya. How many chances do you get in your lifetime? Itu pertanyaan sederhana tapi punya punch yang sangat kuat, Mrs. Harris menjadi alarm yang mengingatkan penonton akan hal itu.


Karakter utama kita itu juga merupakan salah satu kejutan di sini, awalnya tampak innocent dengan impian menggantung tinggi ia justru berubah menjadi contoh baik dari bagaimana seharusnya manusia bersikap saat berurusan dengan mimpi mereka. Di sini gaun mewah adalah impian Ada Harris, and she needs her dreams now more than ever, to make the invisible visible. Anthony Fabian memberi akses yang sangat mudah bagi penonton untuk memahami apa yang ada dalam pikiran, hati, dan emosi seorang Ada, bukan hanya karena konstruksi ceritanya yang memang tidak rumit tapi caranya dalam membentuk tiap konflik dan pesan agar secara bertahap menjadi satu kesatuan dengan koneksi yang terasa manis satu sama lain. There is hope for us all, so dare to follow your dreams, action dari Ada Harris berbicara tentang itu dengan energi yang menular.

Dengan cara yang menawan. Tidak super kuat memang karena keputusan Anthony Fabian untuk membuat narasi konstan berjalan sederhana dan ringan membuat the lack of depth terasa di beberapa bagian, yang jika coba dieksploitasi sedikit lebih jauh mungkin akan menciptakan punch yang lebih kuat lagi. Tapi itu minor dan tidak pernah menjadi spotlight di tengah guliran masalah yang terasa genuinely engaging itu. Segmented memang dan saya tidak menampik mungkin akan ada penonton yang merasa ini adalah kisah yang dangkal dengan subplots seadanya, tapi sejak awal ide bagus itu tidak ditampilkan layaknya sebuah dongeng sehingga realistic approach yang dipakai. Alhasil tidak semua berkembang mencapai potensi terbaik tapi sikap lugas berbagi peran itu justru membuat isu dan pesan bersinar dengan sangat tegas.


Dan itu yang membuat ‘Mrs. Harris Goes to Paris’ terasa menyenangkan, ketika apa yang ingin disampaikan tercapai dengan cara yang ringan, santai, namun berkesan. Cerita mengalir dengan baik serta berbicara lantang di tiap pemberhentiannya, lalu kinerja akting juga mumpuni terutama Lesley Manville sebagai wanita lembut yang percaya diri. Isabelle Huppert oke membuat sisi menjengkelkan Claudine bersinar, serta Alba Baptista dengan stage presence menawan, tidak heran jika ia dikabarkan dekat dengan mantan Captain America. Tampilan visual juga mengikat atensi sangat baik dengan atmosfir tahun 1950-an yang impresif, dan saya tidak akan kaget jika judul film ini muncul Oscar nominees announcement tahun depan untuk kategori Best Costume Design, karena design dari Jenny Beavan terasa cemerlang di sini.

Overall, ‘Mrs. Harris Goes to Paris’ adalah film yang memuaskan. Apa yang awalnya tampak sepele justru sukses menjadi sebuah feel-good and uplifting story, about a cleaner who dreams of the most beautiful gown in the world. Disajikan secara sederhana, ringan, dan santai oleh Anthony Fabian dalam komposisi yang terasa pas, ‘Mrs. Harris Goes to Paris’ adalah kumpulan semangat tentang hidup yang tidak dieksploitasi terlalu jauh, tampil lugas dan menghasilkan punch akhir yang tegas, kisah tentang kesempatan, kesalahan, rintangan, free will, impian, dan tentu harapan serta perjuangan yang bukan hanya tampil lucu saja tapi juga sebuah comedy-drama tentang eksistensialisme yang charming, engaging, and heartwarming. Segmented






1 comment :