19 April 2022

Movie Review: The Outfit (2022)

“I want so bad to be good.”

Memang kesan berbahaya yang ia miliki tidak sebesar bidikan senjata atau lemparan granat maupun hunusan pedang, namun politik pecah belah atau yang lebih lazim dikenal dengan sebutan politik adu domba memiliki kemampuan "menghancurkan" yang sama besarnya dengan alat perang di atas tadi. Sebuah strategi yang mencoba memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga membuat mereka jadi lebih mudah untuk dikalahkan, tidak semua orang punya kemampuan untuk melakukan teknik tersebut meskipun berhasil atau tidaknya juga tergantung pada kualitas emosi dan intelegensi sasaran tembaknya. ‘The Outfit’: slick and neat, a well tailored classic murder mystery. 


Pria paruh baya bernama Leonard Burling (Mark Rylance) bukan penduduk asli kota Chicago tapi ia menjadi sosok favorit Irish Mob boss yang menguasai lingkungan tempat Leonard mendirikan usahanya, yakni tailor shop. Nama pria tersebut adalah Roy Boyle (Simon Russell Beale) dan ia memerintahkan kepada tangan kanannya Francis (Johnny Flynn) dan anaknya Richie Boyle (Dylan O'Brien) untuk menggunakan tailor shop milik Leonard sebagai rumah simpanan untuk uang kotor mereka. Bukan masalah bagi Leonard, apalagi karena the Boyles merupakan pelanggan terbaik toko jahit miliknya yang terbagi menjadi tiga ruang besar itu.

Fungsi lain toko mereka juga diketahui oleh Mable Shaun (Zoey Deutch), receptionist yang punya mimpi untuk meninggalkan Chicago dan berkeliling dunia, tidak heran jika ia sudah familiar ketika para anggota the Boyles, termasuk kekasihnya Richie, menggunakan tailor shop untuk bertukar pesan rahasia di dalam organisasi mereka, The Outfit. Semua berjalan normal hingga di suatu malam peristiwa nahas menimpa Richie, saat itu ia datang ke tailor shop bersama Francis, mereka berlindung setelah baku tembak dengan pesaing mereka, LaFontaine. Sebuah tape di dalam koper harus diamankan, yang celakanya menghilang saat Francis kembali lagi ke tailor shop.

Menjadi debut penyutradaraannya, ‘The Outfit’ merupakan bukti dari Graham Moore bahwa piala Oscars yang ia peroleh lewat script film ‘The Imitation Game’ di tujuh tahun yang lalu itu, ada alasan yang jelas di sana. Graham Moore kembali meramu script dan kali ini bersama Johnathan McClain, tapi yang menarik perhatian saya dan membuat decak kagum saya tidak berhenti sejak awal hingga akhir ialah di film layar lebar kedua di mana ia terlibat ini Graham Moore berhasil mengukuhkan bahwa dia merupakan seorang pendongeng yang sangat ulung. Tidak hanya melalui script saja tapi juga ketika memegang kendali utama sebagai Sutradara. Awalnya tampak biasa saja, bertemu Leonard Burling yang merupakan seorang penjahit tapi lebih senang disebut sebagai cutter ketimbang tailor, tapi yang muncul setelahnya luar biasa.


Kata “luar biasa” tadi memiliki makna yang berbeda di sini, dan akan mengejutkan kamu karena meskipun merupakan sebuah crime drama penuh misteri tapi justru narasi bermain dengan tone yang low-key. Di posternya kamu memang menemukan senjata berupa pistol, tapi ukurannya sendiri jauh lebih kecil ketimbang gunting atau shears. Begitupula dengan karakter, telihat ramai mengisi poster tersebut seolah jadi bagian sebuah pertempuran sengit penuh ledakan, namun sebagai karakter utama Leonard justru tampak santai duduk manis di bagian bawah gunting. Sosok Leonard sendiri sejak awal sudah diperkenalkan sebagai pria yang sangat presisi, kamu akan mengerti ketika ia melipat kain Mable, begitupula saat ia sedang membuat pola dan menjahit. Graham Moore membuat penonton “percaya” pada kemampuan Leonard.

Percaya bahwa Leonard punya kemampuan untuk mengendalikan emosinya ketika berada di bawah tekanan, percaya bahwa ia adalah sosok yang pintar menempatkan diri dalam berbagai situasi. Itu hal yang kemudian menjadi senjata paling mematikan bagi Graham Moore saat membentuk pementasan yang bermain di dalam satu buah rumah sederhana, mempersilahkan informasi, masalah, dan juga solusi untuk saling silih berganti masuk serta keluar dari tailor shop tersebut. Sama seperti cara bicara Leonard yang terasa jelas dan tegas begitupula cara narasi berjalan, Graham Moore coba eksploitasi suspense secara perlahan dan membuat penonton terpaku, karena dengan arena yang sempit membuat narasi semakin mudah terasa intens dan secara bertahap terus meningkat. Dan sangat jelas Hitchcockian mendominasi di sini.


Seperti tape yang berfungsi sebagai MacGuffin misalnya, kemudian dikombinasikan dengan "The Usual Suspects" yang sepertinya jadi salah satu inspirasi Graham Moore dalam bercerita, secara methodical menempatkan karakter dalam situasi terancam dan terus berubah secara berkala. Plotnya sendiri sangat sederhana tapi membuat penonton bertemu dengan berbagai lapisan penipuan berisikan tikungan yang licik dan cerdik. Alhasil dengan setting yang dibatasi dalam satu ruang, ketegangan jadi sangat mudah untuk berkembang dan membuat more lies are told, more surprises unlocked. Narasi tidak hanya berisikan dua sisi saja, yakni si jahat dan si baik karena potensi mereka untuk bertukar peran tidak pernah mati, dan membuatmu bertanya-tanya siapa yang bisa dipercaya di antara mereka?

Dan meskipun menggunakan old-fashioned crime thriller formula saya suka Graham Moore membentuk cerita yang didorong oleh dialog itu terasa approachable, caranya membangun ketegangan banyak pula mengingatkan pada film ‘Knives Out’ yang licik dan slick itu. Padahal konflik sebenarnya lebih mengarah ke political namun berhasil terus menghasilkan situasi life-threatening bagi karakter dengan slasher homage. Salah satu pencapaian terbaiknya juga adalah ketika Moore berhasil menjauhkan perputaran penuh twist yang periodik dari kesan cheap dan menjengkelkan, ia juga sukses merangkai mereka menjadi sebuah perjalanan menuju puncak yang dikemas manis serta tidak berlebihan. It's at the finishings that you must come to terms with the idea that perfection is a necessary goal precisely because it is unattainable.


Ya, sulit untuk dijangkau sehingga Graham Moore tidak mencoba untuk memaksa sebuah ending yang glamour, justru low-key dengan punch yang kuat. Menariknya yang memorable bukan itu melainkan bagaimana ia berhasil mengeksekusi grand master plan tersebut, pulls the strings dari awal hingga akhir dalam presentasi yang menawan. Pencapaian yang tidak lepas juga dari elemen teknis, dari gambar olahan kamera yang ditangani Dick Pope, menekankan kesan “sempit” saat berpadu dengan score gubahan Alexandre Desplat dan dibungkus cantik oleh editing dari William Goldenberg. Kinerja akting juga punya peran yang tidak kalah besar, terutama dari Mark Rylance yang sangat sukses membuat Leonard terasa appealing sejak awal, ia didampingi Johnny Flynn, Zoey Deutch, Dylan O'Brien dan Simon Russell Beale yang juga tampil oke.

Overall, ‘The Outfit’ adalah film yang sangat memuaskan. Debut penyutradaraan yang impresif dari Graham Moore, menjadi pendongeng yang sangat ulung dengan melakukan tweak sederhana pada old-fashioned crime thriller formula dan menaruh Hitchcockian sebagai pegangan utamanya. Graham Moore memberikan penonton plot sederhana tapi dari sana kemudian ia mengeksploitasi suspense dalam bentuk permainan tarik ulur yang charming and fun to follow, berbagai tikungan hadir dan juga kejutan yang terus menumpuk semakin tinggi hingga mencapai puncak yang terasa klimaks meskipun low-key. Well written and well-acted, ‘The Outfit’ succeed to become a slick and neat classic murder mystery stage. Segmented.






1 comment :

  1. “You cannot make something good until you understand who you're making it for.”

    ReplyDelete