01 September 2022

Movie Review: Prey (2022)

"You wanna hunt something that's hunting you?" 

Dahulu jika sebuah film ternyata status tayangnya “dialihkan” ke layanan streaming maka itu dianggap sebuah pertanda buruk, karena akan semakin mudah berasumsi bahwa kualitasnya tidak mumpuni sehingga membuat perusahaan produksi memilih untuk tidak merilisnya di layar lebar. Tapi pandemi tiba dan mengubah banyak hal, salah satunya adalah pamor dari streaming service yang jadi pilihan populer, mereka kemudian berlomba memoles perpustakaan film-nya agar semakin menarik. Dan the Predator franchise jadi salah satu anggota baru, film kelima dari kisah yang diawali oleh Arnold Schwarzenegger di tahun 1987 ini tidak rilis di layar lebar tapi langsung ke streaming service, dan tanpa menggunakan judul Predator! Menariknya, ini justru berhasil jadi salah satu yang terbaik di the Predator franchise. ‘Prey’: shine brightly above simplicity.


Kurang lebih dua abad sebelum peristiwa di ‘Predator’, di tahun 1719 wanita muda bernama Naru (Amber Midthunder) sedang dilatih untuk menjadi tabib oleh Ibunya, dan faktanya memang Naru memiliki kemampuan yang mumpuni dalam meracik obat. Namun bukan itu impian terbesar seorang Naru, sosok yang memiliki seekor anjing bernama Sarii itu ingin menjadi seorang pemburu hebat seperti kakaknya, Taabe (Dakota Beavers) dan ikut serta melindungi suku mereka, the Comanche dari bahaya. Taabe merasa Naru belum siap untuk itu karena kemampuan berburunya dianggap masih kurang.

Hingga suatu ketika Naru melihat cahaya aneh di langit yang awalnya ia kira adalah makhluk legendaris yang dikenal dengan nama Thunderbird. Naru memaksa untuk ikut ambil bagian dari tim pemburu yang sedang berusaha menemukan seekor singa gunung yang mengambil salah satu anggota suku mereka. Naru dapat ijin dari Taabe karena dianggap dapat mengobati anggota yang hilang itu jika telah ditemukan. Tapi berhasil dikalahkannya satu ancaman tadi tidak mengubah insting Naru yang tetap yakin sebuah ancaman yang lebih besar dan belum pernah mereka lihat sebelumnya telah tiba.

Menjadi bagian dari Predator franchise sebagai film kelimanya maka sangat mudah menaruh ekspektasi pada ‘Prey’ untuk langsung tancap gas sejak awal menggunakan sosok alien yang mengerikan itu. Kebanyakan film yang memiliki karakter demikian akan condong untuk memanfaatkan privilege tersebut, begitu pula dengan Sutradara Dan Trachtenberg di sini. Cerita yang ia susun bersama Patrick Aison yang lantas disusun jadi screenplay oleh nama terakhir tadi juga menerapkan hal serupa, tidak mau membuang waktu di awal dan langsung menunjukkan kepada penonton bahaya yang tidak lama lagi akan tiba dari sosok alien Predator. Tapi yang menarik terletak pada strategi perkenalan itu sendiri, kurang lebih di sepertiga awal dari total durasi karakter antagonis itu ditugaskan untuk menggoda karakter utama, dan penonton.


Cara yang memang tidak sepenuhnya baru, tapi pola itu dikemas oleh Trachtenberg meninggalkan kesan padat yang terasa kuat. Secara implisit Trachtenberg berhasil membangun atmosfir yang diselimuti terror menakutkan dengan baik, menunjukkan potensi bahaya yang dapat menimpa Naru and the Comanche tribe. Sementara itu di sisi lain Naru juga melakukan hal serupa, membuat terror utama itu terasa semakin kuat dengan menggunakan rasa curiga miliknya. Dua bagian itu berjalan beriringan dan lalu membentuk koneksi yang manis di antara mereka, terlebih dengan adanya penolakan dari Taabe pada pendapat Naru tentang bahaya dari “sosok asing” yang adiknya itu rasakan, otomatis menempatkan suku mereka tidak dalam kondisi siaga. Dan menjadi awal mula “pemberontakan” Naru serta hadirnya bigger problem. 

Ada tema tentang pembuktian diri di sini lewat karakter Naru, yang kita tahu di awal dianggap belum siap oleh Taabe untuk ikut bertarung tapi kini malah memutuskan untuk melawan arus. Menariknya selain itu tidak ada konflik lain di dalam cerita, narasi kemudian dibawa Dan Trachtenberg fokus bergeser perlahan menuju babak akhir yang berisikan pertarungan utama. ‘Prey’ takes time to to get going tapi setelah semuanya siap aksi Predator yang awalnya menggoda mulai beraksi menunjukkan taji-nya, yang lantas memberi tontonan sangat menyenangkan terutama bagi action aficionados. Konfrontasi langsung yang telah dinantikan tiba, menyuntikkan thrill berkualitas dengan muncratan darah baik itu dari busur panah hingga kapak, ada yang berwarna hijau dan tentu saja merah. ‘Prey’ terus tancap gas hingga akhir.


Yang menarik adalah presentasi di paruh kedua perpaduan antara sci-fi, action, serta horror ini terasa sangat luwes, seperti mengalir penuh percaya diri dengan berbagai violence seolah leluasa menari-nari dengan elok. Dan itu hasil dari kontruksi cerita di babak sebelumnya, momen ketika narasi bermain tarik dan ulur dengan penonton. Naskah dengan cerdik menunjukkan rantai makanan di mana semut dimakan oleh tikus, yang kemudian dilahap oleh ular, sebelum akhirnya ular tersebut berhadapan dengan Predator. Dari sana kesan mengerikan Predator terus dipupuk dengan cepat, Dan Trachtenberg perlahan menaikkan rasa waspada baik itu pada karakter dan juga para penontonnya, membuatmu ikut mengantisipasi ditemani dengan kegelisahan dan juga rasa waspada tadi. Tarik ulur yang manis sebelum ditutup dengan ledakan.

Sedikit sulit memang menyebutnya sebagai sebuah kejutan tapi setelah kegelisahan bersama fear and terror yang terasa padat itu ‘Prey’ sukses menyajikan pertarungan utama yang mengeksploitasi anxiety dengan baik and to deliver those violent peaks. Ada transisi yang halus, dari awalnya tampak seperti sebuah family adventure yang terasa ringan perlahan berubah menjadi semakin ketat. Menariknya meskipun dari sisi visual tampak mengkilap for a "Predator" film, tapi Trachtenberg tidak mencoba untuk memoles narasi agar tampil demikian. Justru ada kesan mentah dalam cerita yang membuat konflik jadi terasa simple, tidak mencekoki dengan banyak isu serta pesan yang justru membuat aksi survival berujung sebuah final battle itu berhasil menjadi puncak yang kuat dan memikat, what really counts in a Predator movie.


Dan Trachtenberg paham akan hal itu dan ia fokus ke sana, menggunakan berbagai technical gimmicks yang cantik dan memanfaatkan dengan baik R-rated membtnuk ‘Prey’ menjadi sebuah science fiction action yang menampilkan apa yang penonton harapkan hadir darinya. Memang harus diakui si tamu tak diundang itu tidak punya porsi besar, tapi ia memanfaatkan dengan baik setiap momen untuk menunjukkan pesona berbahaya miliknya. Spotlight tertuju pada Naru yang diperankan dengan baik oleh Amber Midthunder yang membuat pesona karakternya itu bersinar terang. Ada energi menarik di balik sikap ambisiusnya, membuatmu tertarik untuk ikut berjalan bersama wanita pintar dengan kemampuan berpikir cepat dan kuat secara fisik itu, kickass heroine yang dapat dipercaya dan dikelilingi karakter satu dimensi.

Overall, ‘Prey’ adalah film yang memuaskan. Berkaca dari kualitas film Predators sebelumnya yang rilis empat tahun silam itu, di awal saya tidak menaruh ekspektasi yang tinggi pada film kelima dari Predator franchise ini. Tapi Dan Trachtenberg serta tim cerdik dalam membangun cerita dan membawa penonton bermain dengan teror, perpaduan antara sci-fi, action, dan horror yang seperti kickass heroine miliknya itu tampil penuh percaya diri bersama berbagai violence dalam permainan tarik ulur yang sederhana namun manis. Ya, tiap elemen dibuat sederhana oleh Trachtenberg, stick with the formula yang pada akhirnya membuat semua rencana sukses bekerja, dari build perlahan yang menegangkan sebelum ditutup dengan final battle, sebuah puncak yang simple namun padat, what really counts in a Predator movie. Segmented. 






1 comment :