27 June 2022

Movie Review: Broker (2022)

“Thank you for being born.”

Mengapa begitu mudah untuk lupa bersyukur? Padahal bersyukur tidak sulit untuk dilakukan dan bahkan pada dasarnya tidak membutuhkan biaya, cukup dengan mengucapkan terima kasih atas segala berkat yang kamu miliki, pemberian dari Sang Pencipta. Banyak sebenarnya penyebab mengapa bersyukur semakin “disepelekan” oleh banyak orang, tekanan dan harapan yang duniawi adalah salah satu contohnya, kerap membuat manusia jatuh ke dalam masalah baik itu dari sikap egois, serakah, rasa takut, dan masih banyak lagi. Tapi bukankah manusia adalah tempatnya salah dan dosa? Jadi tidak heran jika suatu waktu manusia bisa menjadi domba yang nakal dan keluar dari kawanan, karena ia ragu akan tuntunan dari gembalanya. ‘Broker’: fleeing from the past.


Di tengah rintik hujan dan dinginnya malam, seorang wanita muda bernama So-young (Lee Ji-eun) mendatangi sebuah Gereja, tidak tampak sesuatu yang ganjil dan aneh darinya hingga ketika ia tiba di depan sebuah kotak. Baby box, tempat di mana orang-orang yang merasa tidak mampu membesarkan buah hatinya meletakkan bayi mereka yang kemudian akan dirawat oleh pengelola Gereja. Tapi So-young tidak menaruh bayinya di kotak tersebut, justru di lantai dan aksinya itu membuat wanita bernama Soo-jin (Bae Doona) kemudian keluar dari mobil untuk menolong memasukkan bayi itu ke dalam baby box.

Soo-jin, dibantu Detective Lee (Lee Joo-young) memang telah mengintai So-young, meski sasaran utama dua Detektif itu bukan si Ibu muda itu. Target sesungguhnya adalah Sang-hyeon (Song Kang-ho) dan Dong-soo (Gang Dong-won), keduanya bekerja sebagai relawan di Gereja yang menyediakan baby box tadi. Memanfaatkan akses yang mereka punya Sang-hyeon yang merupakan pemilik usaha binatu itu juga menjalankan sebuah bisnis illegal, yaitu menjual bayi ke the adoption black market. Celakanya misi mereka kali ini terlacak oleh So-young, yang awalnya kembali untuk mengambil bayinya namun justru memilih ikut membantu memilih calon pembeli yang tepat.

Sulit untuk tidak mengaitkan ‘Shoplifters’ di sini, salah satu film terbaik Hirokazu Kore-eda yang template-nya kembali sang Sutradara pakai di sini. Tidak sepenuhnya sama memang, bukan hanya kali ini Kore-eda menyeberang ke tetangga dari negara asalnya Jepang, yakni Korea Selatan tapi juga memberi modifikasi di struktur cerita meski tetap mengusung isu dan pesan yang tidak jauh berbeda dengan ‘Shoplifters’. Tindak kriminal kembali digunakan sebagai salah satu mesin penggerak di dalam cerita, tapi kali ini tim utama dirombak sedemikian rupa, menariknya kamu tetap akan melihat “keluarga yang disfungsional” di sini tapi namun dari sudut pandang yang berbeda, semacam rumah baru yang dibentuk oleh Kore-eda berisikan beberapa manusia yang “kurang beres” yang kemudian menemukan satu kepingan penting dalam hidupnya.


Kepingan penting itu adalah rasa syukur. Kamu akan menemukan cukup banyak humor di sini tapi narasi diatur oleh Hirokazu Kore-eda terus bergerak menghantar tragedi ke hadapanmu. Sejak awal kita sudah bertemu dengan itu, menyaksikan Ibu muda yang menyerah dan memilih untuk “menyumbangkan” anaknya yang masih bayi. Meskipun di momen itu alasannya belum jelas namun sebuah kalimat terlontar dari satu karakter lain, “Don't have a baby if you'll abandon it” dan membuat fokus utama langsung terbentuk: irresponsible mother, Dari sana kamu bertemu dengan beberapa tragedi lain dengan berpusat pada bayi mungil yang bentuk alis matanya selalu saja menjadi bahan lelucon itu, termasuk karakter lain yang serupa pula dengan So-young. Mereka adalah para irresponsible human.

Konstruksi konflik seperti ini memang terasa sedikit less believable dibandingkan dengan ‘Shoplifters’, tapi di tangan Hirokazu Kore-eda tetap mampu menjadi feel-good road trip yang menawan. Agar misi para irresponsible human itu tidak terasa berjalan monoton ia tempatkan tekanan dari beberapa pihak yang kerap digunakan untuk menyuntikkan sedikit thrill tipis ke dalam cerita. Sedangkan di samping plot utama terdapat beberapa buah subplots yang terkoneksi dengan baik serta berperan membantu konflik utama jadi semakin kuat, termasuk isu serta pesan utamanya. Human trafficking memang menjadi spotlight tapi pada dasarnya masalah menjual bayi hanyalah jalan yang digunakan oleh Kore-eda untuk menunjukkan keburukan yang exist di dunia ini, begitupula dengan kebaikan. Caranya: membuat karakter sadar.


Mereka tidak punya “rumah” dan mereka tujuan dari tim yang baru saja terbentuk itu juga tidak begitu jelas, tapi di sini kita dibawa menyaksikan para irresponsible human itu belajar tentang sisi indah dari hidup ketika mereka bersedia membuang sikap egois, serakah, hingga rasa takut dari dalam diri mereka. Hirokazu Kore-eda menempatkan keterbukaan dan ketulusan di dalam mobil yang pintu belakangnya ditutup dengan menggunakan tali itu, membungkusnya dengan sensitivity yang cantik. Tidak hanya di mobil yang unik itu saja, tapi juga di mobil lain yang berisikan dua orang Detektif itu, yang aksi investigasinya sejak awal juga mengandung pesan moral yang menarik dan berfungsi sebagai “hakim” di awal. Ya, signature andalannya kembali Kore-eda gunakan di sini, yakni observasi yang bermain dengan hati.

Hal itu yang membuat film ini terasa istimewa, yakni bagaimana Hirokazu Kore-eda always knows how to make people “sad”. Di sini Kore-eda melempar cukup banyak perspektif dengan menggunakan karakter-karakternya, dari tentang parenthood lalu penelantaran anak hingga makna keluarga serta hidup yang bahagia, mencampur sisi humanis dan hukum untuk berdiri sejajar. Kamu mengamati dan bertanya dalam hari, bentrokan antara benar dan salah muncul dari masalah aksi menjual bayi yang Kore-eda bungkus tidak hanya dengan mengggunakan kelembutan yang manis saja tapi juga dengan sentimentality yang menawan. Yang saya suka dari Kore-eda kembali hadir di sini, keahliannya dalam membentuk, menata, dan mengendalikan emosi di dalam cerita, terus mengikat penonton dalam observasi tentang moral yang tidak mudah.


Meksipun jawabannya mudah, seperti yang saya sebut di awal tadi yakni sikap mau bersyukur. Tidak heran jika kalimat “Thank you for being born” itu akan membuat penonton merasa seperti ditonjok begitu keras, karena sejak awal penonton diberi akses yang mudah untuk memahami karakter yang beresonansi secara bertahap itu. Pencapaian menawan yang tidak terlepas dari kinerja akting para aktor, seperti Bae Doona dan Lee Joo-young yang menjalankan tugas mereka dengan baik, Im Seung-soo sebagai suntikan energi di paruh kedua, Gang Dong-won sebagai tangan kanan yang menjadi contoh dari sebuah kegagalan, serta Song Kang-ho who inspires with his irresistible charm. Mereka sebuah tim yang solid, tapi sinar Lee Ji-eun (IU) terasa sedikit lebih terang, berhasil menjadi emotional center yang cantik, sama cantiknya seperti seluruh elemen teknis di film ini, dari cinematography, score, hingga editing.

Overall, ‘Broker (브로커)’ adalah film yang sangat memuaskan. Karakter bayi menjadi penghubung bagi berbagai karakter, para irresponsible human yang “kurang beres” dan kemudian sadar serta menemukan satu kepingan penting dalam hidup mereka. Tidak “menyayat hati” seperti ‘Shoplifters’ memang tapi kembali dengan memakai dramatic narrative structure yang menjadi signaturenya, Hirokazu Kore-eda berhasil membawa penontonnya masuk ke dalam sebuah observasi lembut yang bermain dengan hati, sebuah petualangan yang menawarkan no easy answers namun berkat sensitifitas dan juga sentimentality yang cantik mengamati karakter belajar tentang banyak hal menarik, dari tentang bagaimana menjadi Orangtua, makna dari sebuah keluarga, serta nilai penting yang harus dimiliki sebagai seorang manusia. Semuanya membuat karakter, dan tentu saja penonton merasa bersyukur telah lahir ke dalam dunia, feel grateful to have been born.





1 comment :