30 June 2022

Movie Review: Top Gun: Maverick (2022)

"Don't think, just do."

Does a film need a sequel? Ada yang butuh, ada pula yang tidak, tapi tentu rentang waktu 36 tahun akan mudah membuatmu mengernyitkan dahi ketika mendengar kabar bahwa sebuah film rilisan 36 tahun yang lalu akan dibuatkan kelanjutannya. Mungkin remake akan terasa normal dalam kasus seperti itu, tapi bagaimana dengan sekuel? Tiga setengah dekade tentu tidak sebentar, ada banyak perubahan yang telah terjadi, dari trend hingga tentu saja usia para aktor. Tapi bagi film ini hal tersebut terasa mudah karena Tom Cruise, bankable star yang berada di posisi sepuluh besar daftar the actors who has sold the most box office tickets in the United States since the 1960s itu seperti tidak menua secara fisik. Bagaimana dengan faktor lainnya? ‘Top Gun: Maverick’ : the pinnacle of ultra-fine airborne action.


Tiga dekade berlalu, kini Captain Pete "Maverick" Mitchell (Tom Cruise) menjabat posisi sebagai Pilot Angkatan Laut Amerika Serikat dan bertugas mengemudikan pesawat prototipe yang menjadi bagian dari the hypersonic "Darkstar" scramjet program. Terancam ditutup karena dana program tersebut rencananya akan Rear Admiral Chester "Hammer" Cain (Ed Harris) alihkan ke program drone, Maverick memilih untuk membuktikan bahwa target mereka dapat dicapai. Tapi celakanya sebuah insiden terjadi, namun menariknya Maverick lepas dari hukuman berat berkat permintaan dari rekannya dulu, Admiral Tom "Iceman" Kazansky (Val Kilmer) yang kini menjabat posisi Komandan Armada Pasifik USA.

Maverick ditugaskan ke Pangkalan Udara Angkatan Laut North Island dan bertugas sebagai instruktur bagi beberapa Pilot terbaik yang telah dipilih, beberapa di antara mereka adalah Jake "Hangman" Seresin (Glen Powell), Reuben "Payback" Fitch (Jay Ellis), Robert "Bob" Floyd (Lewis Pullman), Natasha "Phoenix" Trace (Monica Barbaro), dan satu sosok yang Maverick kenal, yakni Bradley "Rooster" Bradshaw (Miles Teller), anak mendiang Nick “Goose”. Di bawah pengawasan Vice Admiral Beau "Cyclone" Simpson (Jon Hamm) dan Rear Admiral Solomon "Warlock" Bates (Charles Parnell), target mereka adalah mengembom sebuah program nuklir dari negara asing yang terletak di sebuah ngarai dengan perlindungan ketat. Maverick tidak mau itu menjadi misi bunuh diri.

Rilis 36 tahun yang lalu ‘Top Gun’ pada dasarnya bukan sebuah film yang luar biasa bagus, berawal dari latihan di lapangan terbang ketika lagu ‘Danger Zone’ melantun yang kemudian ditemani dengan synthesizer soundtrack gubahan Giorgio Moroder, penonton bertemu dengan prajurit berseragam yang mencoba tampak “cool” hingga di satu momen muncul Pete "Maverick" Mitchell layaknya pahlawan super, melempar jaketnya dan memasang kacamata untuk berkendara menggunakan motor di bawah sinar mentari. Kala itu Sutradara Tony Scott tampaknya memang mencoba membuat segala sesuatunya agar tampak keren dan macho, sehingga walaupun bicara kualitas cerita tidak terlalu istimewa ‘Top Gun’ have an impact on popular culture dan terasa memorable bagi banyak penonton, terutama adegan action dengan jet tempur itu.


Mungkin karena itu pula meskipun telah berselang tiga dekade lebih kini Sutradara Joseph Kosinski juga mencoba menerapkan template serupa, yakni menjual pesona keren para pilot. Tapi jika film pertama kerap terasa seperti sebuah iklan komersial bagi US military beda halnya dengan penerusnya ini, meski menggunakan template yang membuatnya tampak seperti remake tapi Joseph Kosinski sukses memperbaiki kekurangan yang exist dan membawa petualangan Maverick naik ke level berikutnya. Seorang pemberontak yang tidak ingin dibatasi dan tidak takut melanggar aturan, Pete masih demikian, begitupula dengan ciri khas lainnya seperti keringat mengucur dari tubuh atletis para Pilot, itu juga kembali hadir. Yang membedakan terletak di script, menciptakan banyak ruang yang sangat tepat guna sesuai dengan fungsinya.

Cerita ditulis oleh Peter Craig dan Justin Marks yang kemudian dibentuk menjadi screenplay oleh Ehren Kruger, Eric Warren Singer, dan Christopher McQuarrie. Saya suka cara mereka mencampur old and new untuk membuka petualangan baru, jadi tiap konflik berdiri kokoh dan sebagai satu kesatuan mereka terasa sangat solid. Ada banyak masalah di dalam cerita, seperti perseteruan antar Pilot muda itu, begitupula dengan internal conflict yang menghampiri Pete ketika ia bertemu Bradley "Rooster" Bradshaw, yang dibungkus dengan misi utama yakni pengeboman pabrik uranium. Mayoritas dari mereka memang dibangun atau berkembang di luar pesawat terbang, seperti di bar contohnya, begitupula dengan konfrontasi serta resolusi yang tidak terasa mengejutkan. Tapi strategi Joseph Kosinski berhasil di sini.


Yakni keputusan untuk membangun beberapa konflik kecil dan lantas menyatukan mereka semua secara sederhana namun dengan mengandalikan aksi heroik penuh emosi yang cantik. Dari sabotase, proteksi karena trauma, hingga persaingan untuk menjadi pimpinan regu, beberapa dari mereka memang punya koneksi dengan film pertamanya tapi Joseph Kosinski bentuk tetap dapat diakses dengan sangat mudah oleh para penonton yang belum menonton ‘Top Gun’. Ada core yang kuat di dalam cerita sehingga tiap langkah maju yang dilakukan narasi menghasilkan impact yang kuat baik itu bagi pengembangan cerita dan juga emosi di dalamnya. Bermain klasik sebenarnya dengan mengandalkan dramatic finale, tapi perjalanan menuju ke sana tertata dengan struktur dan kontinuitas yang baik, termasuk love story yang terselip manis.

Penny tidak sekedar duduk manis di tepi pantai dan melihat sweat-soaked muscles dari para pria saja, tapi ia berperan memacu Pete untuk melawan rasa ragu yang dia rasakan. Polanya sama dan tersebar di tiap konflik, alhasil cerita ‘Top Gun: Maverick’ punya bobot yang oke, termasuk perjuangan para Pilot yang harus beraksi dengan sangat presisi untuk sukses, menunjukkan bahwa manusia dan bukan mesin yang memegang peran penting menentukan kesuksesan sebuah misi. Saya juga suka the 80s feeling tidak hanya sekedar tempelan, referensi peristiwa masa lalu yang secara eksplisit ditampilkan clearly pays homage. Joseph Kosinski paham bagaimana cara menghidupkan kembali kekuatan estetika film pertama dan meleburnya dengan sentuhan modern dalam komposisi tepat dan berkombinasi dengan pengembangan cerita di sisi present.


Pete dan beberapa karakter lama kembali, tapi fokusnya kini dibagi dengan karakter muda yang berhasil dibentuk jadi sebuah tim yang menarik oleh para aktor. Miles Teller, Glen Powell , Lewis Pullman, Monica Barbaro dan beberapa aktor muda lainnya menampilkan pesona karakter mereka masing-masing dengan baik, self-confident to arrogant. Khususnya nama pertama, yang dengan cepat mendorong internal conflict antara dirinya dan bintang utama menjadi sebuah masalah yang menarik. Jennifer Connelly sendiri menjalankan tugasnya dengan baik, sama seperti Jon Hamm, Ed Harris, dan Charles Parnell di sisi militer. Val Kilmer juga kembali hadir dan script terampil memberikan ruang dan mengakomodasi perannya untuk tidak menyulitkan Val yang mengalami kanker tenggorokan, to have him perform again together with Tom Cruise, si bintang utama.

Tom Cruise di sini luar biasa, tidak hanya karena ia dan beberapa aktor lain benar-benar terbang langsung menggunakan pesawat ketimbang menggunakan teknologi green screen, tapi karena ia berhasil menebar pesona seorang pria tangguh yang bangkit setelah jatuh. Perjuangan di dalam sebuah misi menjadi jualan utama di sini dan sebagai pusat sosok Pete berhasil dibentuk dengan sangat baik oleh Tom Cruise menjadi seorang pahlawan. Pesona itu tidak pernah surut meskipun Pete dikelilingi oleh karakter yang lebih muda darinya, ada strong sense of presence baik itu ketika berada dalam pertempuran udara maupun saat di luar pesawat. Tom Cruise menjadi jangkar yang kokoh, berperan sebagai pemandu yang kuat pula bagi karakter lain untuk menjadikan perjuangan mereka ini filled with emotional tension.


Perjuangan yang push you to the edge of your seat dan merasa tenggelam di dalam ketegangan, aerial sequences yang dipadukan dengan CGI terus memacu adrenalin secara konstan dalam ekposisi yang ditata dengan baik oleh Joseph Kosinski. Sukses membuat penonton merasa terlibat dan menjadi bagian dari tim adalah salah satu hal terbaik yang dilakukan Joseph Kosinski dan timnya di sini, latihan dan kegagalan berteman, termasuk medan tempuh dan target yang penuh tantangan, baik itu para Pilot dan petinggi mereka serta kamu sebagai penonton tahu ada resiko besar yang telah menanti, what can go wrong becomes very clear. Tidak heran jika konfrontasi di bagian akhir itu punya kesan life-threatening yang cantik, apalagi dibalut dengan adegan aksi yang bermain-main dengan G-force yang membuat penonton sesekali menahan nafas dengan beberapa adegan aksi paling imersif tahun ini.

Overall, ‘Top Gun: Maverick’ adalah film yang sangat memuaskan. Exciting dan juga mempesona secara bersamaan, Joseph Kosinski dan tim sukses membawa kisah Pete dan para Pilot terbang semakin tinggi, menempatkan misi dengan proses yang told in a pleasantly calm way dibalut dengan spirit yang menarik dengan sebuah finale klasik yang dikemas cantik. Namun meski menyajikan aksi memukau di atas awan dengan excitement yang menawan, ada emosi yang ikut berperan penting membuat cerita punya bobot yang menyenangkan diikuti, tentang “believe” yang hadir dengan tensi memukau berkat sokongan elemen teknis, soundtrack, dan kinerja para aktor untuk tidak hanya make the audience hold their breath, but also exclaim and laugh simultaneously. Goodness gracious great balls of fire!






1 comment :