29 September 2022

Movie Review: Red Rocket (2021)

“Life could change on a dime.”

Tebal muka mungkin wajib dimiliki oleh para bintang porno, karena dengan menjadi thick-skinned otomatis mereka akan menjadi tidak peka terhadap kritik atau hinaan sehingga tidak merasa terluka. Karena pekerjaan yang mereka geluti memang pada dasarnya memiliki citra negatif, melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori dosa dengan tujuan utama untuk memenuhi fantasi dan hasrat seksual orang-orang yang kemudian “membeli” produk mereka tersebut. Hal terakhir tadi mungkin dapat memicu perdebatan lanjutan, lingkaran bisnis yang berisikan produsen, barang jadi, dan konsumen meski di sisi lain tentu masih banyak pihak yang menolak menjadi bintang porno adalah sebuah pekerjaan. ‘Red Rocket’: the American Dream with sex and naivety.


Hanya dengan membawa dirinya sendiri seorang pria berpenampilan lusuh bernama Mikey Davies (Simon Rex) dengan penuh percaya diri mengetuk pintu sebuah rumah yang dihuni oleh Lexi (Bree Elrod) bersama Ibunya, Lil (Brenda Deiss). Kedatangannya bukan sesuatu diharapkan oleh Lexi dan Lil, itu terasa wajar mengingat Mikey telah meninggalkan mereka selama 17 tahun dan kini mendadak muncul kembali di Texas City untuk menumpang tinggal. Celakanya selama lebih dari satu setengah dekade itu Mikey tidak pernah menafkahi Lexi padahal mereka tidak pernah bercerai. Karena kasihan Mikey pada akhirnya diterima kembali tapi sebagai penyewa, dia juga harus ikut melakukan pekerjaan rumah tangga.

Mikey menerima kesempatan itu, karena tujuan utamanya kembali adalah mencoba untuk memulai kembali hidupnya di Texas. Mikey memutuskan meninggalkan karir sebagai bintang porno di Los Angeles, padahal dengan nama panggung Mikey Saber telah membintangi 2000 film porno, meraih belasan nominasi di ajang penghargaan dengan ratusan subscribers di Pornhub channel miliknya, yang telah ditonton sekitar 20 juta kali. Tapi statusnya tersebut justru membuat Mikey kesulitan mendapatkan pekerjaan baru, hingga suatu hari ia bertemu dengan Raylee (Suzanna Son) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Strawberry, wanita muda berusia 17 tahun, counter di sebuah toko donat.

Tidak semua penonton membaca sinopsis terlebih dahulu sebelum menonton film, tapi menyaksikan seorang pria dengan penampilan lusuh tiba di sebuah rumah dan kemudian mendapat respon dari dua orang wanita yang berkata “Oh, my shit” atas kedatangannya, mudah terbentuk asumsi bahwa pria tersebut merupakan “masalah” yang kehadirannya tidak diharapkan. Saya yang sudah terlebih dulu mencari tahu premis film ini tersenyum atas penolakan yang diterima karakter utama tersebut, di sana Sutradara Sean Baker secara efektif membentuk salah satu hal penting dari isu yang dia dan co-writer Chris Bergoch coba angkat, yakni perbedaan yang berujung pada penolakan. Mikey tidak hanya ditolak oleh Istri dan mertuanya saja, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya di kota tersebut, dan itu menjadi masalah yang lebih besar.


Dimulai dari perjuangan seorang mantan bintang porno yang mencoba untuk hidup “normal” lagi, ‘Red Rocket’ berkembang menjadi sebuah character study tentang pria yang masih terjebak dalam mimpi dan ambisi. Sama seperti yang dahulu ia terapkan di film ‘Tangerine’ dan juga ‘The Florida Project’ di sini Sean Baker kembali mencoba mendorong isu dengan menggunakan permainan perspektif yang tidak biasa. Dark comedy dengan balutan drama, ‘Red Rocket’ tampil sebagai penggambaran tentang the American Dream di mana kebebasan mencakup peluang untuk kemakmuran dan kesuksesan melalui kerja keras dengan sedikit hambatan. Jalan pintaspun dianggap pantas, pria dengan kemampuan ekonomi kelas bawah mencoba untuk bangkit lagi dengan mengeksploitasi skill terbaik yang ia miliki.

Itu yang mengejutkan sebenarnya, apa yang tampak ringan ternyata merupakan satu kisah pilu tentang manis dan pahit kehidupan. Konsep yang diterapkan Mikey dalam upaya meraih mimpinya sebenarnya tidak salah, to follow your destiny and to do what makes you happy today, because there might not be a tomorrow, itu cukup jadi bukti bahwa protagonist kita punya tujuan hidup dan berusaha untuk mewujudkan itu. Tapi melalui Mikey pula di sini Sean Baker mencoba menampilkan sisi kelam dari the American Dream tadi, ketika perjuangan di dalam taman bermain yang luas ini ternyata tidak mendapat restu dari semesta. Kondisi ketika Mikey kesulitan untuk memulai hidup baru menjadi jalur utama narasi, sedangkan godaan kemudian hadir tidak hanya dari sekitar tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Terutama komitmen.


Ini bukan hanya tentang orang di Amerika karena yang dihadapi oleh Mikey pada dasarnya terasa umum, yakni ketidakmampuan dalam menata mimpi serta ambisi lalu tertekan dan memutuskan melakukan manipulasi yang sangat lekat dengan isi dunia tipu-tipu sekarang ini. Pekerjaan sebagai bintang porno dan juga segala bentuk usaha merayu yang sedikit berputar-putar di bagian tengah itu menjadi media bagi isu dan pesan tadi tampil, bagaimana kembalinya ia ke Texas dengan kondisi belum sepenuhnya lepas dari jeratan popularitas membuat Mikey perlahan tertekan. Hasrat Mikey untuk segera kembali ke kehidupan yang glamour adalah buah dari respon yang tidak sesuai dengan harapannya, lantas membuatnya kehilangan kendali, dari emosi hingga logika, termasuk pada hubungannya dengan sang Istri.

Apakah spoiler? Tidak, karena seperti character study pada umumnya fokus tertuju pada the internal struggles karakter utama, yang sebenarnya punya niat yang bagus. Tapi jika ingin berubah menjadi lebih baik lagi, terutama memperbaiki kehidupan yang telah berantakan, bukankah dibutuhkan komitmen yang kuat? Sean Baker pakai elemen tragic lagi di sini, tanpa memberi label "korban" pada karakter membentuk penggambaran tentang sisi naif yang dimiliki manusia. Alhasil status Mikey sebagai mantan bintang porno tidak menjadi spotlight untuk “dihakimi” karena fokus justru tertuju pada dua hal penting namun berbahaya dalam kehidupan tadi, yaitu ambisi dan mimpi. Sean Baker bahkan menggelitik isu itu dengan mengunakan 2016 United States presidential election, Trump versus Hilary, ketika mimpi dan ambisi membuat manusia bersedia untuk bermain dengan manipulasi.


Menariknya meski menggunakan perjuangan Mikey sebagai penggambaran tentang bagaimana hidup bisa berubah dalam sekejap, tapi di sisi lain Sean Baker doesn't shy away dalam upaya menyajikan industri porno. Sedikit diputar memang tapi tetap mampu menampilkan sisi kelam yang exist di balik kesan “menjadi mewah dengan cara mudah” yang lekat dengan tiap elemen di dalam industri itu, on how demanding the profession is. Tidak ada moral development yang dipoles terlalu jauh tapi justru strategi itu membuat pementasan jadi terasa padat dan efektif, menggunakan sosok Mikey yang diperankan dengan baik oleh Simon Rex menjadi contoh mengawinkan ambisi, mimpi, bersama self-confidence and pride bukanlah pekerjaan yang mudah, Mikey has to reinvent himself, but he's that naive and doesn't know exactly what he wants.

Overall, ‘Red Rocket’ adalah film yang memuaskan. Dipentaskan dengan padat dan menghibur dengan cara yang tidak mencolok, perjuangan mantan bintang mencoba untuk hidup “normal” lagi ini adalah sebuah character study yang menarik tentang, ketidakmampuan dalam menata mimpi dan ambisi, berbagai godaan hadir menyapa  ketika komitmen tidak ada dan hanya mengandalkan percaya diri belaka. Sikap naif Mikey adalah pengejawantahan dalam konteks yang lebih luas sehingga tidak heran meski karakter utama mantan bintang porno tapi isu dan pesan yang didorong in a tragi-comic way di sini terasa relevan. Bahwa hidup dapat berubah dalam sekejap, dan itu membuat manusia bersedia untuk bermain dengan manipulasi tak terkendali demi meraih mimpi dan ambisi. Don't really want to make it tough? Bye bye bye.






1 comment :

  1. “To do what makes you happy today. Because there might not be a tomorrow.”

    ReplyDelete