18 October 2015

Review: Room (2015)


"Are we in another planet?"

Banyak cara yang bisa ditempuh oleh sebuah film untuk bukan sekedar menghibur penonton ketika ia hadir tapi juga menjadi memori yang manis ketika penonton melangkah pulang, bisa menggunakan efek visual yang mahal, kinerja akting dan kualitas cerita, hingga memainkan elemen teknis seperti sinematografi dan score. Tapi ada satu cara unik, menjadi tontonan yang menarik dengan cara “menyiksa” penonton. Room melakukan itu dengan sangat baik, menggunakan kisah cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak untuk memberikan salah satu pengalaman cinema paling menyedihkan di tahun 2015. Tremblay will make you trembling. 

Jack Newsome (Jacob Tremblay) merupakan anak berusia lima tahun yang setiap hari dengan gembira menjalani hari-harinya, dari menonton tv dan sudah wajib tidur di dalam sebuah lemari ketika malam tiba. Sejak ia lahir Jack bersama dengan ibunya, Joy (Brie Larson), tidak pernah keluar dari sebuah ruangan berukuran kecil yang hanya memiliki satu jendela di bagian atap, berisikan berbagai kebutuhan hidup dapur hingga toilet, semua karena perbuatan seorang pria bernama Nick (Sean Bridgers) yang selama ini memenuhi kebutuhan hidup mereka dari luar ruangan.



Lalu dari penggambaran yang diberikan sinopsis tadi apa masalah yang dimiliki film ini? Room istimewa karena ia lebih seperti sebuah pengalaman emosi ketimbang sebuah film yang menemukan jawaban atas pertanyaan. Room bukan sebuah film yang menyenangkan ketika ia hadir di hadapan kamu, sejak awal atensi kamu akan dipaku lalu setelah itu kamu dibawa terombang-ambing dengan emosi yang ditampilkan oleh Jack dan Joy dengan sangat manis. Sangat menguras emosi justru menjadi bagian terbaik dari film drama thriller ini, membuat penonton seperti menilai seperti tidak ada sesuatu yang penting sedang terjadi di cerita tapi perlahan mulai tumbuh kompleks dan meninggalkan kamu dengan ledakan di bagian akhir.



Room seperti Whiplash tanpa tabuhan drum, mengganti teriakan Terence Fletcher dengan Jack dan Joy, yang punya nickname Ma, mengisi posisi Andrew. Lenny Abrahamson mainkan rasa resah dan rasa putus asa karakter untuk membuat kisah tentang salah satu sisi kejam dari dunia ini melakukan interaksi dengan penontonnya, dari awalnya sebatas isolasi secara mantap bergerak menuju kisah tentang cinta dan kasih sayang. Manis, screenplay yang ditulis oleh penulis novel Room, Emma Donoghue, juga baik dalam menciptakan irama, kita diberikan pengamatan yang lembut di mana dua karakter melakukan komunikasi yang halus dengan beberapa ledakan tapi secara emosional semuanya terus berkembang menjadi lebih gelap dan menarik.



Dan ketika penonton telah terperangkap bersama emosi karakter hasil yang mereka peroleh adalah sebuah kisah ibu dan anak yang begitu menyayat hati. Saya suka bagaimana Room tidak mengambil jalan yang mudah dengan memberikan kita jawaban yang mudah, Jack dan Joy ditempatkan seperti lepas dari kandang macan dan masuk kedalam kandang singa. Cara realita dunia luar mulai mengganggu kehidupan Jack dan Joy justru semakin menambah rasa sakit pada dua orang yang telah dirampok kehidupannya itu. Ketegangan terasa eksplosif tapi Lenny Abrahamson tangani dengan tepat sehingga kesan lembut tetap jadi pusat dan simpati serta empati dari penonton tidak goyah namun justru semakin tebal.



Room pada dasarnya merupakan drama yang sempit, babak pertama bahkan seperti mengunci kamu bersama Jack dan Joy, namun intimitas dan intensitas yang tercipta terasa oke berkat kinerja bagian teknis yang pas, cinematography tampil baik dalam menangkap masalah di dalam ruang tertutup itu, begitupula dengan editing. Tapi highlight film ini adalah kinerja Brie Larson dan  Jacob Tremblay. Sebagai tim mereka oke, chemistry kuat, tapi ketika berdiri masing-masing mereka juga menawan. Larson adalah kunci rahasia di awal yang tampilkan dengan tepat, tapi setelah itu hadir sosok rapuh dengan amarah dan beban emosi yang begitu cantik dari Ma. Dan Jack adalah karakter yang indah sejak awal hingga akhir, dimulai dengan misterius Tremblay menampilkan pesona dan ledakan emosi yang cantik dan stabil.




Sekali lagi, Room bukan sebuah drama yang biasa, Room merupakan drama yang tampil melelahkan dan mengasyikkan secara bersamaan. Misteri, isolasi, ketegangan, putus asa, hingga cinta, Room bukan sekedar menarik perhatian tapi mencengkeram atensi dan emosi penonton, membuat mereka tidak mau pergi meskipun mereka sadar bahwa perjuangan Jack dan Ma merupakan sebuah pengalaman yang tidak mudah. Hadiah bagi penonton adalah bukan jawaban atas pertanyaan melainkan sebuah pengalaman sinematik yang “menyenangkan”, dengan dua penampilan akting yang menawan menjadi ode atau potret yang indah pada cinta antara ibu dan anak. Segmented. 












Thanks to: rory pinem

1 comment :