06 March 2022

Movie Review: Parallel Mothers (2021)

"I don't think she's my daughter."

Segala sesuatu yang parallel itu pasti tidak berpotongan di sembarang titik satu sama lain. Dua garis paralel misalnya, mereka sejajar dan lurus sebidang, begitupula dengan kurva paralel yang tidak saling bersentuhan dan memiliki jarak minimum yang tetap. Konsep tersebut digunakan menjadi basis di film terbarunya ini di mana ia masih bermain dengan beberapa isu favoritnya, yakni wanita, kali ini motherhood and female solidarity, namun bukan film Pedro Almodóvar namanya jika ia tampil "sopan", kembali sebuah melodrama tapi juga kembali berisikan empat subjects kesukaannya: desire, passion, family, and identity film ini menarikmu, mengikatmu, dan membuatmu berteman dengan ketegangan. ‘Parallel Mothers’: search for love with mommy issues.  


Kerja sama mereka yang terasa nyaman pada sebuah pemotretan membuat wanita bernama Janis Martínez Moreno (Penélope Cruz) tidak segan untuk meminta bantuan Arturo (Israel Elejalde), arkeolog forensik terkenal. Fotografer itu berharap agar dia dan beberapa orang lainnya dapat dibantu oleh yayasan Arturo dapat memindahkan kuburan massal di desa asalnya, tempat di mana kakek buyutnya serta beberapa pria lain dibunuh dan dikuburkan di sana, mereka para korban Perang Saudara Spanyol. Berawal dari sana hubungan Janis dan Arturo juga berkembang, puncaknya adalah ketika Janis hamil. Janis tidak berniat untuk aborsi, berbeda dengan Arturo, ia tidak ingin hal itu memberi tekanan pada istrinya yang sedang menjalani kemoterapi.

Di rumah sakit Janis bertemu dengan wanita muda bernama Ana Manso Ferreras (Milena Smit), single mother yang ditemani Ibunya, Teresa Ferreras (Aitana Sánchez-Gijón) ketika persalinan. Mereka berdua melahirkan secara bersamaan, dan setelah bayi mereka selesai dievaluasi mereka bertukar nomor telepon dan berpisah. Akibat sang Ibu yang memutuskan untuk mengejar karir aktingnya, Ana kemudian memilih untuk keluar dari rumah, ia mencoba menghubungi Janis. Tidak ada yang salah pada hubungan pertemanan mereka hingga suatu ketika Arturo meminta untuk diijinkan melihat anak perempuan Janis, yakni Cecilia. Respon dari Arturo aneh ketika telah melihat langsung Cecilia, ia merasa itu bukan anaknya

Jika kamu sudah pernah menonton film Pedro Almodóvar maka sepuluh menit pertama akan membuatmu tersenyum. Bukan karena kecintaannya menempatkan female heroines di posisi terdepan sertaa permainan warna pada visual yang terasa kontras saja, namun juga bagaimana narasi berjalan begitu cepat dan mendadak sudah tiba di sebuah kejutan. Besar atau tidaknya kejutan tersebut jelas tergantung pada sudut pandang tiap penonton namun belum sepuluh menit apa yang awalnya tampak seperti sebuah misi untuk memindahkan kuburan justru berubah menjadi drama tentang Ibu. Alasan saya tersenyum selain karena merasa terkejut juga karena merasa bahwa Almodóvar kembali sukses menarik masuk saya ke dalam cerita dan membuat excitement melompat lewat kepiawaian dalam mengejutkan penontonnya.


Kita lantas bertemu dengan Ana, yang ternyata menjadi pintu masuk bagi masalah buat hidup seorang Janis. Itu memang sudah menjadi semacam template atau pola favorit seorang Pedro Almodóvar, menempatkan karakternya di dalam situasi yang "mengerikan" dan lantas berjuang. Yang menarik adalah dampak kejutan di sepuluh menit pertama tadi narasi jadi cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk mengurai latar belakang masalah dan mengembangkan opsi bagi cerita. Saya suka di bagian ini Pedro Almodóvar tidak terjebak di dalam dramatisasi yang berlebihan, ia justru mendorong satu per satu masalah dengan hubungan sebab dan akibat yang sukses menstimulasi semakin kuat rasa penasaran penonton. Jelas beberapa sudah tahu apa yang akan terjadi dari sinopsis, tapi penonton berhasil dibuat gregetan.

Pedro Almodóvar tidak hanya piawai dalam membangun kerangka masalah namun juga menata ritme dan momentum di dalam narasi. Posisi dan fungsi tiap potongan konflik seperti terjalin satu sama lain dan berhasil mendorong narasi maju bersama dengan excitement yang semakin tinggi pula, dari masalah orangtua hingga tentunya anak yang tertukar tadi. Disokong oleh score yang sangat cantik dari Alberto Iglesias seperti ada suspense tipis-tipis yang exist di dalam cerita, tidak hanya dalam bentuk kesan energik dan lincah saja namun juga terus menjaga agar karakter utama seolah sedang berada di “medan perang” dan bergerak semakin dekat menuju bom dan juga ledakan besar. Dan kondisi tersebut terus berlanjut setelah ledakan itu muncul, yang tentu saja dengan pergeseran pada fokus dan spotlight di dalam cerita.


Sebenarnya polemik yang coba disodorkan oleh Pedro Almodóvar di awal sederhana dari luar, tapi berbeda jika ditelisik lebih dalam menggunakan emosi dari seorang Ibu yang mendapati fakta bahwa anaknya bukan anaknya. Tidak heran jika kemudian emosi penonton menjadi sasaran, dibantu visual dengan sudut pengambilan olahan José Luis Alcaine yang konsisten menyajikan gambar-gambar yang terasa compact, saya dibuat Pedro Almodóvar seperti tidak pernah merasa jauh dari Janis. Termasuk dengan potensi guncangan emosi yang akan ia hadapi, kapan mereka akan bertemu serta menantikan saat-saat test “silang” itu dilakukan. Kasih sayang seorang Ibu coba dieksploitasi secara lembut di sini, tanpa terkesan berlebihan tapi juga tanpa harus mengorbankan kelincahan narasi dalam mengembangkan cerita. Dan boom. 

Ya, kejutan kembali hadir, membuat narasi seperti tidak bisa dipastikan secara pasti ke mana tepatnya ia akan pergi. Menariknya lagi meskipun drama tentang seorang Ibu yang berjuang menghadapi fakta menyedihkan yang juga dibantu bumbu female solidarity, ‘Parallel Mothers’ justru terasa kerap bermain di ranah black comedy bersama sedikit thrill yang cukup kentara. Pedro Almodóvar seperti tidak kehabisan akal bagaimana membentuk dramatisasi agar menghadirkan suspense yang menarik dan menyenangkan untuk terus diikuti, dari konflik di keluarga Ana bagaimana ia merasa tidak ada di antara orangtuanya yang layak memilikinya, hinga pemindahan kuburan yang hendak dilakukan Janis dan menjadi poin isu political. Penonton terus dikunci sejak awal hingga akhir, meski sayangnya endingnya terasa terlalu aman.


Walaupun terus hanyut di dalam eksposisi sejak awal, cara film ini berakhir terasa sedikit terlalu terburu-buru. Mungkin itu kejutan lain dari Pedro Almodóvar namun cukup disayangkan kisah tentang proses pemindahan kuburan dikemas secara cepat seolah tidak ada lagi ruang untuk sedikit dieksplorasi, padahal bisa saja digunakan untuk menunjukkan kesedihan lain yang dialami oleh para karakter wanita yang tidak bisa mengucapkan selamat tinggal kepada suami, ayah, serta kakek mereka secara layak. Itu tidak hanya dapat membuat punch final jadi semakin baik namun juga meninggalkan hal memorable lain di dalam cerita yang bersanding dengan baik bersama kinerja akting seorang Penélope Cruz. Aitana Sánchez-Gijón juga tampil oke sebagai Teresa, tapi superbly played by Penélope Cruz jelas Janis permata film ini.

Overall, Parallel Mothers (Madres paralelas) adalah film yang memuaskan. Sutradara Pedro Almodóvar masih punya hal menarik tentang seorang Ibu untuk diceritakan, di sini ia menggunakan konflik anak yang tertukar untuk menyajikan penggambaran yang lembut namun menegangkan tentang motherhood and also female solidarity. Sebuah melodrama yang touching in a chic way, disokong dengan suspense dan thrill yang menyenangkan serta cinematography dan score yang cantik, tentu saja kinerja akting dari para cast dengan spotlight tertuju pada Penélope Cruz, Pedro Almodóvar berhasil mementaskan kekuatan yang dimiliki oleh wanita serta kepedulian dan juga empati yang mereka miliki terhadap sesamanya. No history is mute. Menyenangkan.







0 komentar :

Post a Comment