02 March 2022

Movie Review: Drive My Car (2021)

“My life is lost, there's no turning back.”

Pada dasarnya tiap manusia memiliki “blind spots” di dalam perjalanan hidupnya, area yang tidak mampu mereka jamah dan kerap kali justru dapat terlihat ketika orang tersebut kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang selama ini tinggal di area blind spots tersebut. Missed opportunities itu lantas melahirkan penyesalan, dan telah menjadi tugasnya penyesalan hadir di bagian akhir, contohnya ketika hal atau sesuatu yang berharga tidak bisa terulang dan kembali. Di sini karakter utama dan karakter pendukung kehilangan orang yang mereka cintai, dan mencoba melakukan satu hal yang tidak mudah, yakni melepaskan. ‘Drive My Car’: an emotional core therapy.


Setelah berhubungan seks Screenwriter bernama Oto (Reika Kirishima) akan mulai langsung bercerita tentang berbagai ide untuk screenplay miliknya, tapi hal tersebut tidak ia tulis, dan menjadi kewajiban tidak tertulis bagi Yūsuke Kafuku (Hidetoshi Nishijima), suami Oto, keesokan harinya untuk menceritakan kembali apa yang Oto ceritakan di atas ranjang. Metode kerja yang unik dan cenderung aneh memang tapi tidak menjadi masalah bagi pria yang berprofesi sebagai aktor dan Sutradara teater tersebut, yang ia rasa juga dapat memecah kekakuan dan membangun lagi koneksi di antara mereka yang sempat dingin setelah kehilangan putri beberapa tahun lalu.

Yusuke pada akhirnya juga harus kehilangan istrinya tersebut, dan meskipun sadar bahwa dia bukan satu-satunya dalam hidup Oto tidak membuat Yusuke jadi mudah untuk lepas dari duka. Dua tahun kemudian ia menerima tawaran sebuah teater kecil di Hiroshima yang akan mementaskan versi multibahasa dari drama Anton Chekhov berjudul "Uncle Vanya". Di pekerjaan barunya itu Yusuke dilarang mengemudi ke tempat kerja seorang diri menggunakan mobil Saab 900 kesayangannya, ia diberikan seorang pengemudi, wanita bernama Misaki Watari (Tōko Miura). Tiap kali berada di mobil Yusuke selalu memutar rekaman Oto membaca her stage plays script.

Dengan durasi hampir tiga jam ‘Drive My Car’ berhasil menampilkan sebuah drama yang epic, ia mungkin tampak sederhana dari luar namun justru dengan staging yang cantik Sutradara dan Screenwriter Ryusuke Hamaguchi menyajikan sebuah observasi yang tidak hanya mengikat atensi namun juga memiliki keunikan yang membuatmu tersenyum. Mungkin tidak di pertengahan film karena di momen tersebut penonton memang coba dibawa secara santai mengamati bersama tanda tanya, melihat Yūsuke karakter utama kita menjalani aktifitasnya seperti biasa. Seperti tidak ada masalah yang benar-benar besar dan terasa kontras tampilannya di sini, namun script yang ia tulis bersama Takamasa Oe dari short stories karya Haruki Murakami berjudul sama itu digunakan oleh Hamaguchi untuk berbicara banyak hal menarik.


Sejak awal motif utama cerita sebenarnya sudah sangat kuat, dari sebuah adegan sex kamu bisa rasakan ada atmosfir yang kurang positif di antara Yūsuke Kafuku dan istrinya, Oto. Fokusnya sendiri langsung tertuju pada Yūsuke dan semakin jelas saat muncul adegan di mana ia kembali ke rumah karena penerbangannya ditunda. Ada cinta yang kuat di sana, mungkin terkesan aneh tapi sikap Yūsuke justru merupakan tanda betapa besar rasa cintanya kepada Oto, he was still sure of her love. Di sanalah letak blind spots tadi, rasa sakit yang kemudian harus ditanggung oleh Yūsuke saat ia menyadari bahwa sikapnya tersebut justru membuatnya merasa kesulitan untuk “melepaskan” Oto dari hidupnya. Isu tersebut dipoles oleh Hamaguchi secara cantik, situasi “only know you love her when you let her go”.

Sulit memang untuk benar-benar tahu apa yang terjadi di dalam diri orang lain, tidak peduli seberapa dekat hubunganmu dengannya. Jelas ada beberapa hal berputar di dalam pikiran Yusuke tapi yang paling menarik adalah bagaimana sikapnya seolah menunjukkan penyesalan akan kesempatan yang terbuang sia-sia. Yusuke seperti menyadari bahwa dia seharusnya menghadapi istrinya dengan cara yang lebih baik, terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar. Missed opportunities juga hadir dari Oto saat ia menunda kabar yang ingin disampaikan kepada Yusuke sampai sang suami pulang kerja, demikian pula dengan Misaki, ia kehilangan Ibunya secara tragis. Mereka tidak ditempatkan sejajar tapi terkoneksi satu sama lain dalam dramaturgi yang manis tanpa penekanan palsu.


Jalan cerita sendiri mungkin tampak berkelok-kelok terlebih dengan tahap rehearsal pementasan itu, namun tiap potongan dan plot cerita saling melengkapi tanpa saling menjelaskan. Seperti Oto yang terinspirasi menulis cerita saat dia berhubungan seks, lalu ditulis oleh Yusuke dan ternyata menjadi alasan kekerasan yang dilakukan oleh Kōji Takatsuki. Pola seperti itu yang membuat kerangka naratif jadi terasa padat dan membuat narasi mengalir lembut, layaknya sebuah pengamatan terhadap kehidupan nyata seseorang yang sedang dilanda rasa duka. Berbagai pengulangan pola mungkin dapat membuat kegiatan Yusuke dan Misaki seperti tanpa tujuan, tapi justru hal itu merupakan proses di mana mereka melakukan emotional core therapy, mengenali emosi yang sedang mendominasi dan mencoba mengatasinya.

Ketika sadar akan hal itu saya tidak bisa berhenti tersenyum dengan cara Hamaguchi menata eksposisi cerita, karena hampir semua emotional core dapat saya lihat dan juga rasakan pada karakter. Amarah, penyesalan, kecewa, duka, rasa malu, empati, takut, frustasi, rasa bersalah, terluka, rapuh, kegelisahan, kesepian, sedih, cemas, duka, hingga rasa syukur, semua campur aduk jadi satu. Momen hening tidak pernah terasa kosong di sini, justru seperti sedang terjadi gejolak di mana beberapa inti emosi tadi mulai saling berkoneksi satu sama lain. Kamera membentuk atmosfir dan mood intim sehingga tiap momen seperti berbicara dan menunjukkan betapa sulit bagi karakter untuk mengatasi kehilangan. Gaya naratif sendiri ciri khas Hamaguchi yaitu lambat, tapi ada fokus pada detail yang berkembang secara signifikan.


Itu yang membuat ‘Drive My Car’ terasa cantik dalam kesederhanaan tampilannya, dari berhubungan seks, mengendarai mobil sembari mendengarkan rekaman audio, hingga latihan pementasan teater, ini adalah proses storytelling berisikan observasi yang stabil mengikat atensi penonton dalam memahami kondisi emotional karakter. Simpati dan empati jelas ikut bermain di sini tapi ambivalensi dengan sensitifitas yang cantik turut serta di dalam narasi, sehingga without any pathos dan juga hiasan yang berlebihan cerita berkembang secara bertahap to process self-acceptance and loss with beautiful interplay. Cerita saling mempengaruhi, begitupula karakter yang diperankan dengan baik oleh ensemble cast, Masaki Okada dengan letupan emosi, Tōko Miura yang menangis dalam diam, serta tentu saja Hidetoshi Nishijima, secara subtle menampilkan berbagai emosi milik Yusuke.

Overall, 'Drive My Car (ドライブ・マイ・カー)' adalah film yang sangat memuaskan. Dari blind spots dan missed opportunities, dengan menggunakan staging yang cantik serta disokong dramaturgi yang manis dan natural, Ryusuke Hamaguchi berhasil menyajikan kisah diadaptasi dari kumpulan cerita pendek berjudul ‘Men Without Women’ tersebut menjadi sebuah observasi yang candu dalam kelembutan terhadap proses melepaskan yang tidak mudah, ia mencampur beberapa variasi potongan cerita to process self-acceptance and loss with beautiful interplay dalam bentuk storytelling berupa proses di mana tiap karakter melakukan emotional core therapy. I'm sure that the truth no matter what it is, isn't that frightening. What is most frightening is not knowing it. We shall rejoice, and with tender smiles on our faces, we'll look back on our current sorrow. We must live our lives. Segmented. 





1 comment :