02 March 2022

Movie Review: A Hero (2021)

"You know how to fool people."

Kematian maupun kecelakaan yang menelan korban jiwa pada dasarnya memiliki beberapa opsi untuk diselesaikan, salah satunya adalah dengan cara kekeluargaan antara pihak pelaku dan pihak korban. Namun di Iran bentuk kompensasi tersebut dikenal dengan sebutan Diyyeh (blood money) dan masuk ke dalam sistem peradilan mereka, memiliki pembagian kelas kasus di mana salah satunya adalah dalam kasus yang disengaja pelaku harus tetap berada di penjara sampai uang kompensasi dibayar. Berawal dari sana film ini mencoba bercerita tentang dilema moral yang terasa lebih rumit meskipun tampak sederhana, yakni permainan etika lewat observasi terhadap kelemahan manusiawi. A Hero’: an alarm about human ethics, morals, and weakness.


Pria bernama Rahim Soltani (Amir Jadidi) diberi kesempatan keluar sementara dari penjara selama dua hari untuk melunasi hutang yang belum ia bayar, sebesar 150,000,000 tomans kepada saudara iparnya, Bahram (Mohsen Tanabandeh). Seperti mendapat rejeki nomplok, kekasih Rahim yang bernama Farkondeh (Sahar Goldoost) menemukan sebuah tas yang berisikan koin emas. Mereka berdua mencoba untuk menjual emas tersebut untuk membayar hutang sehingga Rahim dibebaskan dari penjara dan mereka dapat menikah. Tapi saat itu harga emas sedang turun dan menjadi salah satu alasan Rahim tidak dapat membayar hutangnya pada Bahram.

Rahim menetap di rumah saudara perempuannya, Malileh (Maryam Shahdaei) yang bersama sang suami, Hossein (Alireza Jahandideh) membantu merawat anak Rahim, Siavash Soltani (Saleh Karimaei). Malileh sadar akan tas berisikan koin emas tersebut dan meminta Rahim untuk mengembalikan kepada pemiliknya. Pemilik asli datang untuk mengambil tas tersebut dan Rahim mendapat banyak pujian atas tindakannya tersebut, aksinya diliput luas dan mendadak dirinya menjadi local celebrity. Nahas bagi Rahim ketika tidak semua percaya pada sikap terpujinya tadi, termasuk Bahram yang menaruh curiga dan menduga bahwa cerita yang disampaikan Rahim kepada masyarakat luas itu merupakan sebuah rekayasa.

First of all, ketika menulis ini saya belum melakukan riset lebih jauh atau mendalam lagi apakah sistem Diyyeh tersebut juga diterapkan maupun dikenal dengan nama yang sama di negara lain di luar Iran, sebuah legal system yang digunakan dengan sangat baik oleh Sutradara dan Screenwriter Asghar Farhadi untuk mendorong dua sisi yang pada dasarnya tersimpan di dalam diri tiap manusia: sisi hitam, sisi putih. Yang hadir di sini tidak jauh berbeda dengan film-film Asghar Farhadi sebelumnya, ia kembali masalah etika milik manusia, dicampur dengan kehormatan yang lantas dibakar bersama adu sikut antara sikap percaya dan kebimbangan akibat penilaian yang muncul dari lingkungan sekitar. Masalah di sini sangat sederhana, sebuah tas berisikan emas yang dikembalikan ke pemiliknya, tapi isu yang muncul tidak simple.


Judulnya mungkin akan membuat penontonnya langsung mengasosiasikan karakter utama Rahim dengan sebuah aksi heroik, yang faktanya memang seperti itu, tapi di sisi lain Asghar Farhadi menekan tombol lain yang membangunkan sikap kritis milik manusia yang justru merugikan Rahim. Setting latar belakang Rahim sebagai seorang tahanan jelas membantu berbagai macam asumsi buruk yang kemudian datang dan membuat hidupnya susah itu berhasil menjadi bumbu menarik di dalam narasi. Dia berada di dalam penjara karena melakukan sebuah kesalahan, tidak heran jika image yang pertama kali akan muncul adalah image penjahat, dan dari sana berkembang rasa ragu pada sikap heroiknya tadi. Mungkin mereka memang pernah khilaf namun apakah seorang tahanan tidak bisa berubah?

Asghar Farhadi menunjukkan kepiawaiannya yang membuat dirinya dikenal sebagai The Master of moral dilemma drama, sistem Diyyeh tadi ia gunakan sebagai pemicu tekanan bagi Rahim untuk terus berpacu dengan waktu membuktikan penilaian yang ditujukan kepadanya adalah tidak tepat. Kamu dibawa mengobservasi bersama rasa simpati di sini, menyaksikan kelemahan yang dimiliki oleh manusia seperti kompak untuk muncul secara beruntut, layaknya domino yang jatuh dan menimpa Rahim di bagian paling akhir. Kisah cinta terlarang antara Rahim dan Farkhondeh juga dipakai menjadi sebuah opsi destinasi yang berguna untuk memeras emosi, menempatkan kamu pada posisi mengingingkan agar Rahim diberi kemudahan untuk membayar hutangnya. Tapi di sana justru Asghar Farhadi meletakkan tweak.


Pada awalnya saya yakin atensi dan apresiasi yang luas dari masyarakat sangat layak didapat oleh Rahim, tapi perlahan saya juga digiring oleh Farhadi dan ditempakan pada posisi yang sama dengan karakter di sekitar Rahim, yakni mempertanyakan apakah aksi heroik itu benar tulus dari Rahim atau hanya rekayasa belaka? Pencarian sosok wanita pemilik tas digunakan untuk memoles isu tersebut secara agar menjadi semakin besar secara bertahap, sedangkan kondisi Rahim yang mengalami degradasi adalah perwujudan runtuhnya moral manusia. Saya bermain di dua sisi, saya ingin melihat Rahim membuktikan ia benar, dan saya yakin ia juga benar, tapi di sisi lain saya juga mendukung uang hasil charity event itu diberikan secara mudah padanya. Itu yang membuat A Hero menarik: peristiwa kecil, efek besar.

Karena kita tahu bahwa apa yang disebut dengan white lies sudah semakin lazim penggunaannya saat ini, dapat melindungi beberapa pihak namun punya konsekuesi yang tidak sederhana. Dari sana Farhadi terus memutar gesekan dampak berbagai macam konflik itu dengan baik menggunakan hukum sebab dan akibat, karakter membuat keputusan di mana sisi benar dan salah tidak pernah terasa penuh, terus menggali lubang semakin dalam hingga membuat Rahim mulai kehabisan opsi untuk “melarikan diri”. Dampak buruk penggunaan social media juga tampil, sedangkan internet mengingat semuanya, reputasi organisasi tetap yang utama sedangkan di sisi lain seorang pria naif yang tidak berdaya dan mulai putus asa. Rahim menjadi pahlawan dan harapannya hancur karena rumor, keduanya terjadi sama cepatnya.


Itu mengapa satu baris kalimat ketika Rahim berkata yang ia ingin pertahanakan hanyalah kehormatannya terasa sangat menyayat, menunjukkan sikap muak yang ia rasakan pada (maybe) corrupt system yang exist di sekitarnya. Asghar Farhadi di sini tidak mendorong kejutan dalam bentuk belokan tajam, namun skenario yang ia bangun sudah lebih dari cukup untuk membuat para penonton menangkap isu dan pesan yang ia coba tampilkan lalu memutarnya kembali di pikiran mereka. Hal itu tidak lepas dari kemampuan sosok Rahim dalam menampilkan berbagai emosi lewat ekspresinya, diperankan dengan baik oleh Amir Jadidi ia justru menunjukkan bahwa sikapnya yang gigih memperjuangkan yang ia anggap benar dan mendapatkan itu tanpa menimbulkan korban adalah (mungkin) bentuk kepahlawanan di sini.

Overall, ‘A Hero adalah film yang sangat memuaskan. Berangkat dari sebuah legal system yang lantas ia kombinasikan dengan berbagai isu, konflik, dan pesan lainnya, Asghar Farhadi menyajikan penggambaran tentang dua sisi yang tersimpan di dalam diri dan etika tiap manusia: sisi hitam dan sisi putih. Menggunakan opsi asli atau palsu di balik sikap heroik karakter utamanya, ‘A Hero merupakan sebuah moral dilemma drama yang akan membawamu mengobservasi bersama rasa simpati dan bertemu berbagai macam gesekan yang lantas memeras emosi, sebuah sajian cantik terbaru dari Asghar Farhadi yang tidak hanya sekedar memantik isu tentang justice belaka namun sebagai alarm yang mengingatkan kembali kelemahan manusiawi dalam bentuk etika dan moral. Segmented.





1 comment :