17 August 2022

Movie Review: Elvis (2022)

“That skinny boy in the pink suit, transform into a superhero.”

Dijuluki sebagai the "King of Rock and Roll", Elvis Aaron Presley, atau Elvis, dianggap sebagai salah satu tokoh budaya yang paling signifikan abad ke-20, dan ada banyak alasan (still) the best-selling solo music artist itu masih sangat dipuja hingga kini. Tidak hanya karena musiknya yang energik saja namun pelopor rockabilly itu juga dianggap berperan sebagai ice breaker yang memulai social and cultural revolution, mendorong rock and roll tidak hanya sebatas sebuah musical genre bagi kalangan tertentu saja tapi juga memiliki pengaruh besar pada lingkup yang lebih luas, salah satunya memadukan the styles of white country, black rhythm, and blues. Mencoba mengikuti kesuksesan ‘Bohemian Rhapsody’ and well, ‘Rocketman’, kini Sutradara film ‘Romeo + Juliet’ mencoba menunjukkan bahwa Elvis’s life is a story worth telling. ‘Elvis’: high-gloss and horny biopic.


Merupakan anak yang sangat disayangi oleh Ibunya, Gladys (Helen Thomson), Elvis (Austin Butler) menghabiskan masa kecilnya di area miskin kota Mississippi dengan mendengarkan African-American music, dan seleranya itu membuat Elvis diejek oleh teman-temannya. Berawal dari penampilannya di Louisiana Hayride nama Elvis mulai dikenal oleh banyak orang. Bukan karena pakaian berwarna pink yang dia gunakan namun karena kemampuan Elvis dalam menebar pesona dengan sex appeal yang kuat ketika bernyanyi. Tidak butuh waktu lama di atas panggung itu Elvis berhasil membuat banyak wanita tergila-gila padanya, situasi yang langsung ditangkap oleh mata elang milik Colonel Tom Parker (Tom Hanks).

Berhasil membujuk Elvis untuk memberinya kesempatan menjadi managernya, Parker mulai memegang kendali atas karir Elvis, termasuk upayanya untuk membuat sosok dan pesona Elvis dapat menjangkau pasar yang lebih luas lagi. Kehidupan Elvis dan keluarganya berubah, mereka keluar dari kemiskinan seiring semakin besarnya popularitas Elvis. Situasi tersebut membuat Elvis Presley ingin menggunakan musik miliknya untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih besar dan serius lagi ketimbang hanya menyanyikan feel-good songs saja. Tapi keinginan itu ditentang oleh Parker yang membuat hubungan antara artist dan manager yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan itu mulai diwarnai dengan banyak masalah.

Yang menarik untuk digaris bawahi terlebih dahulu sebelum menonton ini adalah, bagi kamu yang kurang familiar dengan nama Baz Luhrmann maka patut dicatat bahwa Sutradara asal Australia itu adalah sineas yang gemar mementaskan kisah-kisah yang pada dasarnya tragis dalam bentuk presentasi operet gemerlap. Filmnya yang terasa “berat” sejauh ini hanya ‘Australia’ sedangkan judul lain seperti ‘Moulin Rouge!’ dan ‘The Great Gatsby’ serta tentunya ‘Romeo + Juliet’ masuk dalam kategori yang tergolong ringan meskipun tetap mengandung emosi dari sisi tragis kehidupan karakternya. Formula itu kembali hadir di sini, seolah mencoba meniru energi Elvis, di sini Baz Luhrmann membawamu ke dalam pementasan penuh “ledakan” memikat, sebuah grand opera bergaya mewah yang di paruh awal bergerak kencang, sebuah pementasan dan barok spektakuler dengan musik sebagai pusatnya.


Dan bagi penonton yang sudah tahu signature Baz Luhrmann tadi, maka bersiaplah masuk ke dalam “dunia magis” di mana karakter utama dibentuk layaknya music superhero dengan pesona sangat menawan. Tidak perlu tahu banyak tentang sosok Elvis pun sangat mudah bagi penonton untuk merasa langsung terpikat pada Elvis, karena memang sejak awal Baz Luhrmann menggelar karpet merah bagi karakter utamanya itu untuk langsung mencengkeram penonton, mentransfer energinya yang adiktif itu kepada penonton baik itu ketika ia tampil bernyanyi maupun saat narasi menampilkan ekposisi tentang kehidupannya. Ya, dibalik popularitas yang ia miliki serta keberhasilannya menjadi “sosok penting” seperti di atas tadi, Elvis tidak lepas dari jeratan sisi gelap bisnis di dalam sebuah industri. Badai itu berasal dari Colonel Tom Parker.

Memberi ruang bagi karakter Parker mungkin tampak seperti sebuah trik dari Baz Luhrmann, faktanya memang demikian karena lewat tindak tanduk Parker penonton dapat melihat sisi kelam di dalam hidup Elvis. Parker sendiri tentu saja punya peran dalam kesuksesan Elvis seperti secure a new recording contract with a bigger label, tapi musical entrepreneur yang punya difficult relationship dengan Elvis ternyata kala itu dianggap sebagai the biggest con artist in the world. Parker seorang strategist ulung yang tidak hanya punya kontrol ketat atas karir Elvis, manajer yang cerdik dan licik itu bahkan disebut pernah mendapatkan setengah dari pendapatan Elvis baik itu dari rekaman, lalu film, hingga merchandise! Itu membuat ‘Elvis’ menarik karena tidak diceritakan dari sudut pandang karakter utamanya melainkan from his dodgy manager.


Alhasil ada kontradiksi di dalam narasi, antara bisnis melawan seni, selalu menjadi tema yang kuat di pusat lewat perjuangan Elvis untuk mempertahankan authenticity miliknya. Jika kamu coba searching aksi Elvis Presley tidak bisa dipungkiri memang bahwa penampilannya saat bernyanyi seperti seorang dewa who is quite horny dan membuat penonton tergila-gila, terutama para wanita. Parker di sisi lain ingin agar Elvis dapat “dipasarkan” dalam skala yang lebih besar lagi, untuk itu harus dilakukan sedikit tweak pada citra anak didiknya itu. Bersama dengan Sam Bromell, Jeremy Doner serta Craig Pearce naskah dibentuk agar keberadaan Parker tidak hanya jadi “masalah” bagi Elvis saja namun juga mendorong persona karakter utama, baik itu ketika tampil di atas panggung serta Elvis’ life tanpa menyentuh aspek problematika dari kehidupan pribadi Elvis. Ruang cerita dibatasi, fokus terkunci. 

Itu yang membuat ‘Elvis’ terasa kuat karena di satu jam pertama dengan eksposisi dan editing berkecepatan tinggi kamu bertemu pengisahan yang electrifying, lantas masuk ke tontonan yang juga kuat tentang showbiz, bagaimana kekuatan super dari seorang Elvis berhasil mengguncang banyak orang. Termasuk masalahnya dengan Parker tadi, yang sempat membuat beberapa respected songwriters enggan untuk menulis lagu bagi Elvis karena persyaratan royalti yang diminta oleh Parker. Narasi punya komposisi yang terasa seimbang, ada momen ketika drama diberi kesempatan memegang spotlight sejenak tapi dengan energi yang tetap terjaga, sebelum disusul oleh music performance dengan berbagai shots menarik dan tentu saja energi yang tidak kalah cantik. Baz Luhrmann masih piawai dalam mementaskan dance scenes yang di sini ia sajikan dengan visual yang memabukkan.


Salah satu aspek yang paling saya nantikan dari film Baz Luhrmann adalah visual, ia selalu punya taste dan pendekatan yang klik dengan cerita serta karakter. Ia kembali tidak mengecewakan di sini, mau itu flashback, montages, aksi panggung energik, drama dengan emosi, hingga sedikit komedi serta romance, semua dibungkus dalam visual dengan komposisi yang “lengket” di mata. Bersama dengan divisi design baik itu production dan juga costum, ‘Elvis’ menjadi pementasan seorang maestro musik di mana visual seperti ikut pula berdansa, bergerak cepat penuh semangat bersama gambar-gambar tangkapan Mandy Walker, yang disusun dengan baik oleh Matt Villa dan Jonathan Redmond. Jadi tidak heran selama hampir dua setengah jam durasinya itu Elvis seperti terus menggedor penonton with his physical attractiveness and sexual appeal, karena dibentuk dalam komposisi yang memikat oleh Baz Luhrmann.

Dan itu pula yang membuat ‘Elvis’ terasa segmented. Sebagai penonton yang sedari awal memang kagum dengan Elvis Presley, dan sudah tahu beberapa kisah hidupnya, saya merasa hanyut di dalam pementasan ini. Tapi mungkin akan berbeda jika kamu menggunakan ini sebagai tahap pertama perkenalan dengan rock and roll icon itu, karena memang porsi deeper insights sangat kecil. ‘Elvis’ seperti kisah superhero ketimbang manusia, diarahkan pada sisi glamor dan gemerlap kehidupannya tanpa menyentuh sesuatu yang lebih dalam, seperti masalah mental misal yang tidak dapat tempat di dalam cerita, termasuk pula hubungannya dengan Tom Parker yang tidak dikembangkan terlalu jauh. Alhasil tidak bisa dipungkiri hasil akhir film ini, apalagi babak akhirnya yang terasa run-of-the-mill itu, akan meninggalkan rasa yang generic without much complexity bagi beberapa kalangan penonton.


Tapi gagasan menceritakan kisah Elvis dengan “menggunakan” Parker sebenarnya merupakan sebuah clue sejauh mana Baz Luhrmann ingin mengulik karakter utama yang flamboyan itu. Yakni semangat Elvis untuk bermusik sesuai keinginannya yang terhalang sosok rakus bernama Tom Parker, yang diperankan dengan sangat baik oleh Tom Hanks. Suit and make-up mengubah tampilan fisiknya tapi tidak dengan kualitas aktingnya, menampilkan interpretasi yang mengagumkan dari sosok negatif dalam kehidupan Elvis Presley, yang dibentuk dengan sangat baik pula oleh Austin Butler, dia bahkan dengan sempurna menyalin Elvis hingga ke gerakan terkecil, delivers a very very convincing performance di mana kinerjanya seolah menghidupkan kembali sosok Elvis Presley. Mind blowing, mungkin cuma keajaiban yang bisa menggagalkan Austin Butler meraih nominasi di Oscars tahun depan.

Overall, ‘Elvis’ adalah film yang sangat memuaskan. Kembali dengan signature miliknya, Baz Luhrmann menyajikan sebuah pementasan dan barok spektakuler di mana musik menjadi pusatnya, sebuah presentasi operet gemerlap tentang hidup dan karir Elvis, the "King of Rock and Roll", told from the perspective of his manager. Bergerak cepat dengan energi dan semangat yang terjaga serta tertata, menyajikan pertarungan bisnis melawan seni dalam komposisi seimbang dengan elemen teknis yang menawan serta visual yang memabukkan, Baz Luhrmann stages ‘Elvis’ without much complexity, dan ditunjang kinerja akting yang memikat membentuk ‘Elvis’ sebagai sebuah perayaan bagi kisah hidup music superhero yang dikenal memiliki stage presence dan goyangan pinggul yang electrifying itu. Yes, high-gloss and horny, it’s an electrifying and bombastic biopic. Segmented.





1 comment :

  1. "There's a lot of people saying a lot of things. Of course you gotta listen to the people that you love. But in the end, you gotta listen to yourself."

    ReplyDelete