26 October 2022

Movie Review: Pleasure (2021)

"And when you've made your mind up, you can do anything."

Mimpi memang indah namun untuk membuat itu menjadi kenyataan tidak selalu mudah. Realita tak seindah ekspektasi, tidak semua yang diharapkan bisa berjalan sukses seperti yang kamu inginkan, apalagi jika sejak awal kamu telah merasa yakin dapat meraih mimpi itu dengan cara yang mudah. Rasa percaya diri memang penting namun itu saja tidak cukup ketika kamu terjun ke lapangan dan berhadapan dengan rintangan yang sesungguhnya. Film ini bercerita tentang hal tersebut, gadis muda yang merasa yakin bahwa ia punya kemampuan yang mumpuni untuk meraih sukses namun pada akhirnya bertemu fakta bahwa apa yang ia impikan tidak seindah yang ia bayangkan. ‘Pleasure’ : about the cruelty and dangers of dreaming.


Tidak tampak rasa takut di wajah wanita muda berusia 19 tahun bernama Linnéa (Sofia Kappel) saat ia tiba di Los Angeles, Linnéa seolah yakin bahwa keputusannya meninggalkan Swedia untuk mencoba memulai karir di USA merupakan sebuah keputusan yang tidak hanya tepat, tapi juga dapat ia atasi dengan mudah. Tapi celakanya wanita yang kemudian memakai nama panggung Bella Cherry itu memulai langkah pertamanya untuk menjadi bintang di Los Angeles dengan tidak begitu mulus, ia merasa tertekan saat menjalani scene pertamanya sebagai bintang porno meskipun tantangan pertama itu berhasil ia atasi dengan baik.

Namun itu baru permulaan karena dengan bimbingan dari manajernya setelah itu Bella harus berhadapan dengan persaingan yang memaksanya untuk "mengubah" batasan yang telah ia tetapkan. Bella kini tinggal di sebuah rumah bersama dengan kelompok aktris muda lain yang juga sedang berusaha menjadi terkenal, dan di sana Bella bertemu dengan teman baru bernama Joy (Revika Anne Reustle) yang mau membantunya. Impian mereka sama, ingin menjadi populer dan dapat direkrut oleh agent kenamaan Mark Spiegler, tempat bernaungnya nama besar di kancah industri porno, seperti salah satunya Ava Rhoades (Evelyn Claire), kompetitor Bella.

Sutradara Ninja Thyberg berhasil memanjangkan karyanya berjudul sama yang rilis di tahun 2013 dengan baik, film pendek tentang seorang wanita muda Swedia yang memutuskan pindah ke Los Angeles untuk menjadi seorang porn star berkembang menjadi sebuah drama tentang industri porno yang tidak hanya tampil provokatif saja namun juga memberi insight terkait “isi” di dalamnya. Memang jika menilik ide dan premis yang ditawarkan maka mudah untuk memberi senyuman menyeringai atau smirk di awal, berbagai fantasi liar pun akan muncul ketika ekspektasi awal itu terbentuk. Tapi faktanya Ninja Thyberg sebenarnya merupakan seorang anti-porn activist, maka tidak heran jika semakin jauh narasi film ini bergulir maka penonton akan merasakan perubahan spotlight, from lust to speak about indignation.


Thyberg menunjukkan sikap menentang industri porno justru dengan cara membuat sebuah drama tentang industri tersebut, through a feminist lens berbicara tentang kondisi yang lebih rumit di dalamnya. Seks dan kepuasan nafsu birahi tentu tidak hilang di sini, mereka tetap jadi main weapon bagi Thyberg yang bahkan memakai jasa beberapa pornographic film actor untuk memerankan karakter maupun tampil sebagai diri mereka sendiri. Thyberg juga menggunakan Mark Spiegler sebagai plot, talent agent kenamaan di industri porno dengan Spiegler Girls ciptaannya itu sukses membuat cerita memiliki jalur yang jelas. Dan di dalam cerita dengan struktur yang terasa compact itu lantas Thyberg menghadirkan semacam character study tentang dua hal yang exist dan harus dipilih di dalam industri tersebut: business or pleasure?

Linnéa tidak ingin membedakan dua opsi tadi ketika ia tiba di Los Angeles, karena sama seperti banyak orang pada umumnya ia menganggap dengan menjadi bintang porno maka dapat menikmati seks sembari mendapat bayaran, have fun namun juga dapat uang. Namun “kepolosan” tersebut yang membuat Linnéa terkejut, ketika ide bahwa industri porno adalah sangat glamor miliknya tadi dipatahkan oleh rintangan di tugas pertamanya. Pengetahuan terbatas dari orang-orang “awam” pada industri porno tersebut menjadi titik awal Thyberg memulai eksplorasinya yang efektif itu, mempertahankan naivety karakter utama which Sofia Kappel conveys in a believable way, untuk kemudian mendorong gagasan utamanya. Yakni tentang betapa stressful bekerja sebagai bintang porno baik itu bagi wanita maupun pria, secara fisik maupun emosional.


Dunia yang asing itu diperkenalkan oleh Ninja Thyberg dengan menggunakan pola sederhana, yakni eksplorasi bersama karakter utama yang juga “buta” tentang dunia tersebut. Ada semacam akses untuk melihat behind the scenes dari porn business yang menjadi isi dari character study ini, dari peran gender dan struktur kekuasaan, hingga ketidakpedulian yang lahir dari ambisi yang membutakan logika. Memang ada respect yang disuntikkan Thyberg seperti pada salah satu scene saat para aktor mencoba membuat Linnéa merasa nyaman dan aman, tapi hal tersebut turut menjadi bagian dari proses emotional collapse yang dialami oleh Linnéa. ‘Pleasure’ terasa mengejutkan karena itu, menggunakan jebakan di dalam industri pornografi sebagai sebuah cerminan nilai-nilai sosial dan moral manusia.

Linnéa bahkan di awal bukan karakter yang likeable dan layak mendapatkan simpati dari penontonnya, tapi hal terakhir tadi muncul dan perlahan tumbuh semakin besar ketika dirinya berubah menjadi karakter yang lebih kompleks. Karakter yang lantas menjadi pengejawantahan dari sebuah fakta bahwa mimpi tidak selalu seindah yang dibayangkan di awal. Film ‘Red Rocket’ berbicara tentang a fallen porn star dan film ini mengeksplorasi lebih dalam tentang itu, kesulitan yang exist di dalam pekerjaan tersebut dengan menggunakan plot sederhana, yakni persaingan kompetitif antar aktor. Tidak rumit namun adalah kompleksitas yang berkembang menjadi tontonan yang oke, bahkan ada sedikit intimitas yang menarik dari sisi emosi karakter karena sejak awal Thyberg tidak menjadikan Linnéa sebagai objek kesenangan voyeuristik.


Alhasil hadir isu dan pesan yang menarik di balik perjuangan karakter utama dalam mencoba peruntungannya itu, meski memang persepsi penonton jelas bergantung pada sikap mereka terhadap pornografi itu sendiri. Namun dengan mengaburkan batas antara fiksi dan dokumenter Thyberg berhasil menggunakan pornografi untuk berbicara bukan hanya tentang kerasnya industri tersebut saja tapi juga sisi pahit yang dapat dialami manusia ketika berusaha mewujudkan mimpinya, dari tantangan hingga hinaan dan caci maki di dalam dunia yang penuh kontradiksi. Jangan kaget jika ada perasaan “affected” di akhir meskipun kecil, karena lewat eksploitasi wanita muda yang bermimpi Thyberg berhasil menyajikan kritik dalam observasi berlapis tentang kejamnya industri kini, yang di sini adalah pornografi.

Overall, ‘Pleasure’ adalah film yang memuaskan. Drama tentang industri porno yang provokatif namun juga memberi insight terkait “isi” di dalamnya, berjalan di antara batasan fiksi dan juga dokumenter ‘Pleasure’ tidak hanya berhasil menjadi cerminan nilai-nilai sosial dan moral manusia tapi juga dalam bentuk sebuah character study. Eksplisit tapi tanpa mengejar kesenangan voyeuristik, berangkat dari nafsu untuk kemudian speak about indignation, ‘Pleasure’ berhasil menjadi semacam kritik dan juga observasi berlapis tentang kejamnya porn industry secara khusus, serta bahaya bermimpi dalam konteks yang lebih luas. Segmented.





1 comment :