17 August 2022

Movie Review: Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Kini ku kembali datang, di hening dan durjana malam.

Memulai karirnya sebagai kritikus film, Joko Anwar meraih atensi industri perfilman Indonesia saat menjadi kompatriot Nia Dinata dalam menulis naskah film ‘Arisan!’, yang kala itu bersama ‘Petualangan Sherina’ dan ‘Ada Apa dengan Cinta?’ dianggap membawa angin segar bagi industri yang sempat lesu. Setelah itu berbagai karyanya yakni ‘Janji Joni’, ‘Kala’, ‘Pintu Terlarang’, ‘Modus Anomali’ dan ‘A Copy of My Mind’ secara perlahan semakin mengukuhkan nama Joko Anwar sebagai Sutradara yang “tepercaya”, meskipun tidak bisa ditampik bahwa ‘Pengabdi Setan’ punya peran yang sangat besar membantunya meraih atensi penonton lebih luas lagi. Mencetak angka empat juta penonton dan kurang lebih lima tahun menyandang status sebagai film horor Indonesia terlaris sepanjang masa, Joko Anwar mencoba mengajak penonton kembali bertemu ‘arwah Ibu’ dalam sebuah komuni. ‘Pengabdi Setan 2: Communion’: tick all the boxes of a horror, but.


Setelah kejadian mengerikan itu merenggut sang Ibu, Mawarni (Ayu Laksmi) dan juga adik kesayangan mereka Ian (Muhammad Adhiyat), kini Rini Suwono (Tara Basro) bersama Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Anuz) beserta Ayah mereka, Bahri Suwono (Bront Palarae) memilih tinggal di sebuah rumah susun di kawasan Jakarta Utara. Area di sekitar rusun tersebut masih sangat sepi dan akan berada dalam kondisi berbahaya ketika terjadi hujan deras. Benar saja, ramalan cuaca memprediksi area utara Jakarta akan dilanda banjir, situasi yang membuat Budiman Syailendra (Egi Fedly) berpacu dengan waktu untuk segera tiba di rusun setinggi 14 lantai tersebut.

Meskipun tujuan utama Budiman bukan menyelamatkan penghuni rusun dari banjir, melainkan sebuah bencana lebih besar yang kini sedang mengintai. Sebuah fakta mengerikan ternyata sudah lahir sejak tahun 1955 namun demi kepentingan politik sengaja dirahasiakan dan akhirnya terlupakan. Kini 29 tahun berselang sebuah ritual yang memuja sosok bernama Raminom itu kembali terjadi dan celakanya rusun itu menyimpan sebuah rahasia besar berkaitan dengan pemujaan tersebut. Rini, Toni, dan para penghuni lain seperti Tari Daryati (Ratu Felisha) serta Wisnu Hendrawan (Muzakki Ramdhan) harus berhadapan dengan kejadian aneh yang meneror mereka.

Setelah ‘Pengabdi Setan’ di tahun 2017 ada dua buah film lain yang dihasilkan oleh Joko Anwar, yang pertama adalah ‘Gundala’ dan merupakan film pertama dari ‘Jagat Sinema Bumilangit’, sedangkan selang dua bulan kemudian hadir ‘Perempuan Tanah Jahanam (Impetigore)’, film horor keduanya. Dua film tersebut seolah melanjutkan kesuksesan yang dicetak oleh Joko Anwar di ‘Pengabdi Setan’ yakni dalam konteks popularitasnya sebagai sineas, beberapa rekan saya yang dulu tidak mau saat diajak menonton ‘A Copy of My Mind’ bahkan tiga tahun lalu menonton ‘Gundala’ di hari pertama! Berkat ‘Pengabdi Setan’ nama Joko Anwar semakin dikenal banyak orang yang sepertinya turut mengubah pola dan arah bermainnya sebagai Screenwriter dan tentu saja Sutradara, terutama pada posisi dan fungsi “menginspirasi lewat film” dalam skala prioritas miliknya.


Saya merupakan satu dari sedikit banyak penonton yang berjalan ke arah berbeda seiring meningkatnya popularitas Joko Anwar tadi. Tidak mengatakan filmnya jelek, ‘Pengabdi Setan’ dan ‘Perempuan Tanah Jahanam’ merupakan satu dari beberapa film Indonesia terbaik yang saya pilih tiap tahunnya, tapi apa yang dulunya adalah sebuah karya dengan intimitas yang menarik kini Joko Anwar poles sedemikian rupa menjadi lebih komersial dan mudah “diakses” banyak penonton. Tentunya hal itu sedikit mengorbankan ruang dan bobot bagi isu maupun pesan yang terkandung di dalam cerita. Apakah itu salah? Tentu tidak, lagipula idealisme dapat membunuhmu. Pun ‘Pengabdi Setan 2: Communion’ tetap punya beberapa isu serta pesan menarik seperti dari sisi sosial dan politik, tapi mereka bukan sorotan utama, lebih berperan sebagai pendukung jualan utama, yakni horror carnival.

Tentu sebuah konsep yang aneh berharap mendapatkan cerita dengan bobot yang luar biasa bagus dari sebuah film horor, yang tugas utamanya adalah menebar teror ke hadapan para penonton. Hal terakhir tadi yang menjadi fokus Joko Anwar di sini, memindahkan karakter film pertama ke sebuah rumah susun untuk menciptakan arena bermain yang lebih luas lagi. Kini ada belasan lantai yang dapat diutak-atik untuk menggedor jantung penonton yang dimanfaatkan dengan sangat baik. Bahkan sebelum masuk ke rumah susun kamu sudah bertemu atmosfir ganjil, palet warna yang digunakan membawa penonton langsung masuk ke mode waspada saat masuk ke gedung Bosscha-tapi-bukan-Bosscha itu. ‘Pengabdi Setan 2: Communion’ dimulai dengan sangat kuat, disambung dengan tahap perkenalan karakter baru yang juga sama menariknya. 


Tapi fokus pertama tentu Rini dan keluarganya, rasa penasaran penonton terhadap apa yang terjadi pada mereka setelah peristiwa di film pertama terjawab, dan tweak manis disematkan untuk masuk ke dalam masalah baru. Berbagai masalah baru lebih tepatnya, muncul dari karakter yang harus diakui dengan bekal karakterisasi yang mereka miliki dengan cepat berhasil mencuri atensi saya. Ya, yang terbaik tentu saja Tari Daryati dengan pesona nakalnya, begitupun dengan Dino Suhendar di posisi semi-antagonis di awal, bersama karakter lain mereka membentuk suasana seram di dalam rusun dan membuatmu mengantisipasi kemunculan sebuah bencana besar di sana. Pementasan di babak pertama memang sangatlah kuat, termasuk pada irama yang Joko Anwar terapkan ketika proses build-up begitupula caranya memainkan momentum di tiap potongan cerita. Penonton masuk dan ia kunci di dalam rusun.

Ketika tempat dan karakter baru telah selesai diperkenalkan, boom, permainan pun dimulai. Dan dari titik itu perubahan pola dan arah bermain yang saya sebut di awal tadi sangat terasa, bagaimana fokus Joko Anwar bukan untuk “memperkuat” kisah dari film pertama tapi ke arah yang lebih komersial, yakni memperluas arena teror dari arwah Ibu. Mengingat bagaimana babak awal terbentuk dengan baik maka tidak ada rintangan untuk meraih goals itu, tetap haunted house namun lebih luas terror kemudian muncul satu per satu layaknya banjir yang sedang menuju rusun. Bagian ini kualitasnya mumpuni, scene banjir dan kain terbang itu sukses memberi kejutan yang kuat, adegan salat membuat detak jantung naik dan turun, sedangkan apa yang terjadi di lift meskipun klise tapi menghasilkan thrill dan kengerian yang memikat. Bersama divisi teknis miliknya eksekusi Joko Anwar sangat menawan di sini.


Berbagai momen horror yang tersaji di sini punya power lebih dari cukup untuk terasa memorable dan diperbincangkan berulang kali, tapi sayangnya ternyata cerita tidak berada di level serupa. Narasi cukup lama terlalu asyik berputar-putar menebar teror, meskipun hadir dalam struktur yang tertata dengan dinamika yang oke namun secara kualitas perlahan mengalami degradasi. Ada “gerbong” akhir yang ternyata merupakan tujuan utama, banjir teror itu bermuara pada sebuah fakta mengerikan yang ditampilkan menggunakan teknik permainan cahaya berbahaya, could impact people with certain health conditions like epilepsy. Seharusnya kumpulan teror tadi membangun kesan mengerikan fakta di akhir tapi sayangnya tidak ada punch yang kuat di puncak sehingga kumpulan teror yang repetitif itu jadi terasa pointless. Ini seperti bermain bola dengan gaya bermain yang cantik, tapi tanpa niat mencetak gol.

Ya itu memang strategi agar “goals” lain tercapai, tapi terasa sayang saja jika semua itu hanyalah sebuah horror carnival tanpa disertai eksplorasi dan informasi lebih tebal lagi tentang kultus yang mengerikan itu. Yang tersisa dari sini hanyalah misteri, tidak salah dan jika tidak ingin kecewa maka kamu harus atur ekspektasi sejak awal. Saya terkejut melihat paruh kedua, mendapati Joko Anwar ternyata masih belum menemukan formula yang tepat untuk “pola dan arah” bermain baru miliknya tadi. Paruh pertama yang bagus kembali ia sambung dengan paruh kedua yang mulai seperti kelelahan, bergerak liar dan sedikit aimless, serupa dengan ‘Gundala’ dan ‘Perempuan Tanah Jahanam’. Andai saja ia bersedia mengurangi sedikit ruang milik terror dan menggunakannya untuk mengeksploitasi sisi misterius area rahasia dan kultus di rusun itu, termasuk karakter, mungkin punch akhir akan terasa lebih kuat.


Karena dengan demikian narasi berjalan dengan continuity yang kokoh, punya pusat utama yang menyatukan semua potongan puzzle, termasuk kumpulan terror dengan jump scare yang oke itu, selipan komedi, serta konflik dari tiap karakter meskipun tidak semua dari mereka mencapai garis finish. Karena jika bicara karakter film ini punya ensemble cast yang oke, Tara Basro, Endy Arfian, serta Nasar Anuz kembali tampil meyakinkan sedangkan suntikan energi baru dari Ratu Felisha, Fatih Unru, Moh. Iqbal Sulaiman, dan Jourdy Pranata yang oke. Yang kurang adalah kesempatan bagi mereka untuk melangkah satu atau dua langkah lagi sebelum akhirnya karakter mereka bertemu dengan nasibnya. Karena salah satu hal yang absen dari ‘Pengabdi Setan 2: Communion’ adalah penyeimbang bagi kumpulan terror tadi, seharusnya diisi komedi dan drama dengan sedikit emosi bermain dalam bobot secukupnya.

Overall, ‘Pengabdi Setan 2: Communion’ adalah film yang cukup memuaskan. Tidak ada yang buruk dari film ini, bahkan dari sisi elemen horror apa yang dilakukan oleh Joko Anwar bersama timnya merupakan kumpulan terror dengan kualitas mumpuni dan memikat, meski sebenarnya dapat sedikit dikurangi porsinya untuk memberi ruang bagi elemen lain di luar horror ikut berkontribusi menambahkan sedikit bobot bagi cerita secara keseluruhan. Tapi semua itu memang tergantung pada goals yang Joko Anwar tetapkan sejak awal, visinya yang liar dan kerap tak terduga itu kini telah menjadi bagian dari pola dan arah bermain dengan misi yang berbeda sejak setelah kesuksesan ‘Pengabdi Setan’, yakni untuk memuaskan audience yang lebih luas lagi. Setiap perubahan selalu ada risiko, tapi segala sesuatu yang berlebihan tidak selalu baik. Good horror. 





1 comment :