“Being
loved is not the same as loving.”
Pernikahan punya makna yang berbeda-beda bagi tiap orang. Ada yang menganggap seseorang sudah menjadi manusia dewasa ketika ia telah menikah, ada yang menilai itu sebagai ikatan suci yang dilakukan satu kali untuk selamanya, dan jika berbicara budaya Indonesia maka ada konsep bahwa menikah bukan hanya menyatukan dua manusia saja tapi juga dua keluarga besar mereka. Tapi apakah manusia yang sudah menikah pasti akan dewasa? Apakah jika kelak di tengah jalan muncul pertikaian opsi yang tersedia hanya bertahan meski terluka? Dan seberapa penting sebenarnya restu dari keluarga, terutama orangtua, pada sebuah pernikahan? Termasuk ego saat anak mengambil pilihan tidak seperti yang kamu harapkan. Semua itu hadir dalam bentuk romantic comedy yang terjadi di Bali ini. ‘Ticket to Paradise’ : a quite good traditional screwball comedy.
Persaingan kini menjadi isi dari hubungan antara David Cotton (George Clooney) dan Georgia (Julia Roberts), mantan Istrinya, saling serang secara verbal dalam bentuk sindiran bahkan bukan hanya jadi pemandangan yang normal bagi anak mereka Lily (Kaitlyn Dever) namun juga sahabatnya, Wren Butler (Billie Lourd). David dan Georgia memang sudah lama berpisah dan Lily menjadi satu-satunya “jembatan” yang masih bisa membuat mereka saling tahu kabar satu sama lain. Kali ini pasangan yang telah bercerai dua dekade yang lalu kembali harus bertemu untuk menghadiri wisuda Lily, yang kemudian memilih untuk mengisi waktu rehat sebelum mulai bekerja dengan berlibur bersama Wren ke Bali.
Liburan yang ternyata membawa masalah baru bagi David dan Georgia. Tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk jatuh cinta dengan Bali, apalagi setelah ia bertemu pria lokal bernama Gede (Maxime Bouttier). Cinta pada pandangan pertama itu akhirnya berlanjut ke pernikahan, dan Lily memilih untuk menikah di Bali, keputusan yang otomatis memaksa David dan Georgia untuk bertemu kembali. Tapi kali ini berbeda, David dan Istrinya yang kini sedang dekat dengan Pilot bernama Paul (Lucas Bravo) itu berada di kubu yang sama. Lily senang kedua orangtuanya bersedia untuk datang ke Bali, tapi yang tidak ia ketahui adalah bahwa misi David dan Georgia adalah untuk menggagalkan acara rencana pernikahannya yang indahnya Pulau Bali.
Mungkin lebih tepatnya "terjadi di fabricated Bali” mengingat meski cerita memakai Pulau Dewata sebagai tempat lahirnya cinta bagi karakter tapi principal photography sendiri berlangsung di Queensland, Australia. Tapi upaya yang dilakukan Ol Parker bersama dengan tim di belakangnya, terutama design serta visual effect sangat layak untuk diapresiasi, mereka berhasil “membangun” Bali buatan itu dengan cukup baik meskipun di berbagai bagian kesan palsu itu cukup kentara terasa. Mereka sangat terbantu dengan image Bali sebagai the heaven on earth, sehingga fokusnya adalah membentuk sebuah lingkungan pulau yang indah, permai, dan menghangatkan hati. Setting yang tentu saja punya peran penting bagi Ol Parker untuk meraih target yang ia dan Daniel Pipski tetapkan saat menulis script, yakni heartwarming family drama.
Dan target itu berhasil dicapai. Sejak awal perkenalan mereka para karakter langsung sukses meraih atensi saya, terutama berkat latar belakang masalah di dalam status keluarga yang mereka jalani. Selalu mudah untuk menaruh atensi lebih pada sesuatu yang tidak umum, dan hubungan layaknya Tom and Jerry antara David dan Georgia jelas merupakan pintu masuk yang sangat menarik di awal. Begitupula ketika cinta itu mekar di Bali, kamu dibawa bertemu dengan hubungan yang mungkin juga akan terasa kurang umum bagi banyak orang, walaupun di Bali sendiri pernikahan dengan warga negara asing sudah lazim. Ol Parker gunakan keinginan Lily sebagai arena bagi berkumpulnya beberapa isu klasik tentang cinta serta parenting, dari awalnya untuk membawa pertengkaran orangtua kembali ke jalur cepat hingga posisi ego dalam cinta dan parenthood.
Berisikan pertengkaran kecil saling sindir penuh gengsi, namun di sisi lain bertarung dengan hati yang menginginkan Lily bahagia, acting yang dilakukan Georgia bersama David menghasilkan screwball comedy yang efektif. Ol Parker tidak memodifikasi banyak tradisi dan formula dari varian komedi tersebut, eksposisi ia gerakkan secara cepat kemudian berbagai punchlines klasik ia tebar, melengkapi narasi yang berjalan dengan vibe ala ‘Mamma Mia!’, yang film features terbarunya ia sutradarai. Template komedi situasi dengan balutan mood liburan yang terasa tenang dan ringan, tidak heran jika ‘Ticket to Paradise’ dengan mudah membuat penonton seolah sedang ikut berlibur bersama karakter, to put its audience in an appropriate good mood bersama dengan setting yang tidak hanya exotic tapi juga menarik, yakni wedding crasher.
Klasik memang pun demikian dengan plot, saling sikut di awal lalu kemudian belajar usai babak awal, untuk kemudian menuju ending yang paling aman. Bukan hanya visual saja yang terasa manis di sini, namun juga bagaimana plot klise tadi Ol Parker bentuk secara harmless di 100 menit durasi, membuat cerita yang sangat sederhana berkembang secara santai dan tentu saja memberikan apa yang mayoritas penonton harapkan dari rom-com seperti ini, yakni leisure time entertainment. Cerita maupun karakter tidak punya banyak perkembangan yang menarik, kesan “palsu” juga tidak terhindarkan sedangkan pada beberapa bagian kecil, termasuk kesan sluggish pada narasi yang sejak awal memang tidak punya arena yang luas dan super menarik untuk bermain. Parker fokus pada good mood holiday, untungnya di sini dia punya dramaturgi yang oke.
Emosi, pace, dan juga eskalasi konflik tidak terasa padat, mereka seperti potongan kecil yang dicomot lalu ditata secara sederhana, tidak mengincar sesuatu yang terasa besar dan megah, tapi justru menghasilkan komposisi yang cukup menyenangkan untuk diikuti. Bahkan di balik kekurangan tadi pesona dari cerita dan juga karakter terasa konsisten, ledakan besar di awal hingga ketika mereka menyelesaikan konflik dengan cara simple dan aman. Berbagai macam filler memang punya potensi untuk terasa mengganggu bagi beberapa kalangan penonton, tapi jika ditelisik lebih jauh terdapat intensi yang tidak buruk di sana, seperti contohnya drinking session di bar itu. Predictable memang, some people might think it's too lame, tapi overall struktur cerita mampu bertahan dengan baik hingga akhir dan yang terpenting ialah berhasil bekerja dengan baik.
Terutama dalam membentuk arena bermain bagi karakter yang diperankan dengan baik oleh para Aktor. Karakter mereka memang perlahan mulai terdorong ke pinggir baik dalam hal peran dan pesona, tapi Kaitlyn Dever dan Maxime Bouttier cukup oke menjalankan tugasnya sebagai fokus utama, yakni the daughter's wedding, mereka bahkan sejajar dengan dua pemeran pembantu yang dieksekusi secara ringkas oleh Billie Lourd dan Lucas Bravo. Tapi “jualan” utamanya tentu saja George Clooney dan Julia Roberts, di balik keterbatasan materi dan juga kesempatan berkembang yang dimiliki karakter mereka keduanya membentuk pasangan suami istri yang menarik untuk diikuti, their exaggeration always entertaining, and their verbal battles are amusing ditemani backdrop Pulau Bali yang ditampilkan sangat dreamlike itu.
Overall, ‘Ticket to Paradise’ adalah film yang cukup memuaskan. Ditunjang kinerja akting yang oke dari para Aktor, Sutradara Ol Parker berhasil mendaur ulang serta menata tradisi dan juga formula dari varian screwball comedy di fabricated Bali yang oke itu, menggunakan konflik yang sederhana lewat pertengkaran orangtua di mana hadir permainan antara ego, cinta, hati, serta parenthood dalam narasi yang berjalan ringan. Put its audience in an appropriate good mood, ‘Ticket to Paradise’ shallow but also harmless, with a bit of fairytale becomes a quite good and heartwarming family drama.
“See you again. Never.”
ReplyDelete