07 September 2022

Movie Review: Thirteen Lives (2022)

“Fear is created in our minds.”

Sebuah tim sepakbola beranggotakan 12 orang anak laki-laki berusia 11 hingga 16 tahun bersama dengan asisten pelatih mereka yang berusia 25 tahun memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah gua bernama Tham Luang Nang Non usai sesi latihan mereka. Niatnya untuk bersenang-senang namun celakanya hujan dengan intensitas tinggi membanjiri gua dan menghalangi jalan keluar. Dilaporkan hilang beberapa jam kemudian operasi pencarian dimulai, upaya penyelamatan yang di tahun 2018 lalu itu menjadi sorotan banyak pasang mata selama kurang lebih 18 hari, baik itu dari berita hingga tentu bantuan teknis. Third projects about the rescue operation and after that moving documentary "The Rescue", film ini mencoba menyuntikkan drama tambahan ke dalam peristiwa heroic itu. ‘Thirteen Lives’: a war with water."


Tanggal 23 Juni 2018 sore hari, tim sepakbola the Wild Boars baru menyelesaikan sesi latihan mereka dan untuk melepas lelah mereka memutuskan menuju ke gua Tham Luang Nang Non sebelum menghadiri acara ulang tahun salah satu anggota mereka. Sebanyak 12 orang anak laki-laki ikut dalam rombongan yang ditemani oleh satu orang dewasa berusia 25 tahun, asisten pelatih mereka. Celakanya nasib nahas menimpa mereka, tidak lama setelah mereka masuk ke dalam gua hujan deras tiba dan menyebabkan mereka tidak bisa keluar dari dalam gua. Curiga dengan sang anak yang belum juga tiba di acara ulang tahun, Buahom (Pattarakorn Tangsupakul), Ibu dari salah satu anak melapor ke pihak kepolisian bahwa anaknya telah hilang.

Royal Thai Navy SEALs kesulitan mencoba masuk lebih jauh ke dalam gua yang telah banjir, dan atas saran dari seorang penjelajah gua bernama Vernon Unsworth (Lewis Fitz-Gerald), Governor Narongsak Osatanakorn (Sahajak Boonthanakit) kemudian meminta bantuan dari luar negeri, dan salah satunya kepada the British Cave Rescue Council. British cavers Rick Stanton (Viggo Mortensen) dan John Volanthen (Colin Farrell), dibantu Chris Jewell (Tom Bateman), Jason Mallinson (Paul Gleeson) dan seorang Anaesthetist bernama Richard Harris (Joel Edgerton) mencoba menyelam dan menyusun rencana penyelamatan dengan rute yang tidak mudah, posisi korban ditemukan adalah sekitar kurang lebih empat kilometer dari pintu masuk.

Penonton tentu akan terbagi menjadi dua kelompok di sini: mereka yang belum tahu peristiwa Tham Luang cave rescue dan satu lagi mereka tahu upaya penyelamatan yang melibatkan banyak pihak itu. Sebanyak 10.000 orang kabarnya ikut terlibat di antaranya ada 100 orang penyelam, begitupula 100 lembaga pemerintahan juga ikut serta dengan 900 Polisi dan 2000 Tentara turut ambil bagian. Upaya penyelamatan itu berlangsung 18 hari dan terhambat oleh naiknya permukaan air serta arus yang kuat, selama dua minggu tidak ada komunikasi yang dapat dilakukan dengan 13 orang yang terjebak. Terus berpacu dengan waktu upaya tersebut perlahan mulai berkembang menjadi sebuah operasi yang sangat besar sehingga mendapat sorotan publik dari berbagai belahan dunia. Saya salah satu di antaranya kala itu.


Tidak heran jika sejak awal saya langsung masuk ke dalam mode di mana menanti peristiwa nahas itu terjadi, menyaksikan karakter remaja dan satu orang dewasa itu bergerak riang gembira ke dalam gua sementara sebuah bencana di sisi lain bergerak mendekat ke arah mereka. Sutradara Ron Howard langsung membentuk elemen yang penting di sini, yakni atmosfir ganjil di awal yang lantas bergeser menjadi jauh lebih kelam, mungkin hanya sekitar lima menit saja dari garis start semua telah terbentuk dengan baik dan kuat. Tergolong sangat cepat sebenarnya tapi itu tadi saya terbantu mode sudah lebih dulu tahu kejadian nyata di tahun 2018 itu, tapi bukan berarti di sisi lain akan kesulitan. Karena tidak ada masalah yang rumit di awal, kompleksitas terbentuk di babak berikutnya saat kamu telah diikat semakin kencang oleh Howard.

Tugas utama Ron Howard adalah recreating the mission, dan ia salah satu Sutradara yang paling handal untuk urusan itu, ahlinya dalam membangun kembali sebuah drama berdasarkan peristiwa nyata in an exciting and responsible way. Sama seperti yang pernah ia lakukan di ‘Apollo 13’ misal, di sini peristiwa penyelamatan itu juga diceritakan dengan mahir oleh Ron Howard, menggunakan dengan baik script karya William Nicholson untuk menyajikan sebuah “manipulasi” sebuah kisah nyata. Betul, manipulasi tapi dalam konteks yang positif, membangun struktur utama berdasar pada kisah nyata dan kemudian membentuk beberapa bumbu tambahan yang belum menjadi spotlight pada dua produk yang juga mengangkat kisah nyata ini, salah satu di antaranya adalah ‘The Rescue’ tadi. Howard menarik penonton ke dalam sebuah misi penuh ketegangan, terus mencengkeram dan bermain di sana hingga akhir.


Di beberapa bagian narasi sesekali mencoba mengatur tensi untuk reda sejenak tapi di tiap menit durasinya yang gemuk itu suspense tidak pernah hilang sejak pertama kali ia hadir. Dan itu yang saya harapkan dari film ini sejak awal, yakni a nail-biting ride dengan dramatisasi yang ketat, and Howard pulls an extraordinary trick dengan membawamu ikut bermain dengan paranoia. Hasil akhir dari penyelamatan itu jelas bukan lagi sebuah rahasia, namun presentasi Howard sukses membuat penonton to hold their breath several times. Ada rasa keterlibatan di dalam proses penyelamatan itu yang juga berdampak pada misi lain film ini, yakni bukan hanya menjadi sebuah survival film yang banjir thrill and suspense saja namun juga sebagai sebuah human drama yang dipentaskan dengan kecerdasan yang menyengat.

Padahal sejak awal pula Ron Howard tampak tidak mau membuat penonton terlalu dekat dengan karakter meskipun membuatmu merasakan kesulitan mereka, dan di sisi lain cukup banyak karakter penting yang juga tidak punya depth yang sangat baik, bahkan terkesan seadanya. Tapi strategi itu membuat team value jadi bersinar terang, disajikan dengan oppressive atmosphere membuat cerita tidak menampilkan sebuah kepahlawanan yang terasa palsu, justru semangat komunitas yang berada di posisi teratas, baik itu penyelam, pemerintah, masyarakat, dan tentu saja orangtua. Howard dan tim sadar bahwa mereka wajib bermain dengan sentiment di sini, tanpa dipoles secara berlebihan and while still conforming that thing still manages to seem refreshingly honest. Dan membuat that powerful story terasa kuat.


Jelas ‘Thirteen Lives’ ada kekurangan, seperti tidak banyak penjelasan khusus untuk tantangan dan masalah yang dihadapi, sedangkan depth yang dangkal di beberapa karakter membuat hasil perjuangan mereka tidak punya emotional impact yang kuat dan memikat. But Howard brings a real sweetness to his subject sehingga meskipun tidak semuanya menonjol tapi ada kesan manis di balik perjuangan mereka. Justru bagus agar cerita tidak terasa terlalu sentimental, dan menghemat ruang pada cerita sehingga narasi dapat terus fokus mempertajam dramatisasi proses penyelamatan itu. Terasa stabil, bahkan di momen ketika tensi cerita sedikit “mereda” excitement tidak jatuh sehingga tidak seperti para karakter di sini narasi tidak pernah bertemu rintangan yang menghalanginya menuju dramatic format of a standard Hollywood hit.

Formula yang digunakan oleh Ron Howard di sini sebenarnya tidak spesial, namun caranya mengolah itu with such beautiful clarity berhasil memeras ketegangan dari kesimpulan yang sudah diketahui sebelumnya. Bukan hanya rute berat dengan isu atau masalah yang juga sama beratnya saja, tapi perkara tangan lepas dari tali saja bisa terasa menegangkan. Setiap kesalahan dihukum di sini, apalagi di sisi lain kamu juga melihat perjuangan dari banyak pihak untuk ikut serta membantu, seperti para petani itu misalnya. Beberapa konflik pendukung seperti itu juga banyak membantu Howard dan team untuk menciptakan suspense dan drama tambahan, yang lantas ditampilkan dengan visual yang manis, sama menariknya dengan informasi tentang waktu hingga guidelines jalur penyelamatan itu. And sound work also outstanding.


Ketika karakter melakukan diving, di situ momen terkuat ‘Thirteen Lives’ yang terasa sangat impresif berkat kualitas sound yang menawan. The underwater sequences juga disokong cinematography yang terampil dalam menangkap sempitnya lorong-lorong gua di bawah air, untuk menyuntikkan klaustrofobia dan menciptakan kesan disorientasi pada karakter dan penonton. Kepanikan menjadi nafas penting di dalam cerita dan visual bantu agar hal tersebut dapat exist di dalam perjuangan yang hadir layaknya sebuah balapan itu. Sebuah perlombaan berpacu dengan waktu bersama karakter, yang diperankan dengan baik oleh para Aktor. The Lord of the Rings star, Viggo Mortensen berhasil menjadi leader dengan pesona yang menarik, sedangkan Colin Farrell adalah menjalankan tugasnya sebagai penyeimbang sama baiknya. Joel Edgerton dan Tom Bateman tampil oke, begitupula Pattarakorn Tangsupakul dan Sahajak Boonthanakit.

Overall, ‘Thirteen Lives’ adalah film yang memuaskan. Sukses melaksanakan tugas utama yakni recreating the mission, Ron Howard membangun kembali sebuah drama berdasarkan peristiwa nyata in an exciting and responsible way, langsung menebar atmosfir ganjil sebelum terus mengikat penonton dengan ketegangan, with beautiful clarity berhasil memeras ketegangan dari kesimpulan yang sudah diketahui, tanpa dipoles secara berlebihan and while still conforming that thing still manages to seem refreshingly honest, membuat that powerful story terasa kuat. “Manipulasi” yang manis dari Ron Howard, berdasar pada kisah nyata dan dengan beberapa bumbu tambahan, ‘Thirteen Lives’ ia bentuk menjadi a nail-biting ride dengan dramatisasi ketat yang membawamu ikut bermain dengan paranoia, sebuah survival film yang banjir thrill and suspense tapi juga menjadi sebuah human drama yang dipentaskan dengan kecerdasan yang menyengat.





1 comment :