06 September 2022

Movie Review: Crimes of the Future (2022)

“Surgery is the new sex.”

Berjoget tipis-tipis sendiri di dalam kamar bisa menghasilkan banyak uang mungkin sebuah ide yang tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang di beberapa dekade lalu, sekalipun kala itu mereka juga punya imajinasi bahwa di masa depan segala sesuatu mungkin akan lebih canggih. Hal yang sama juga kita alami kini, definisi masa depan kelak seperti apa masih tidak pasti walaupun sama seperti orang-orang tadi bahwa kita juga memiliki imajinasi, kini bahkan dengan analisa data jadi semakin mudah bagi beberapa orang untuk diprediksi. Film mengeksplorasi potensi masa depan yang masih jadi misteri, menggunakan premis yang terasa aneh yakni bagaimana jika kelak rasa sakit merupakan cara baru untuk merasakan sensasi bahagia? ‘Crimes of the Future’: a medium rare body horror.


Seorang anak kecil yang gemar makan barang-barang berbahan baku dari plastic satu hari mengalami kejadian nahas. Ia meninggal dunia namun jasadnya tidak langsung dikubur oleh sang Ayah, Lang Dotrice (Scott Speedman) yang percaya bahwa anaknya yang berusia delapan tahun dan tewas karena dianggap bukan manusia normal itu bisa dihidupkan kembali dengan menggunakan teknologi canggih. Manusia memang mengalami banyak perubahan di masa depan, salah satunya bioteknologi yang telah menghasilkan sebuah mesin dan komputer yang dapat secara langsung mengontrol fungsi organ tubuh bagian dalam manusia. Rasa sakit fisik juga telah tiada begitu pula dengan penyakit menular, tidak heran jika operasi kini bisa dilakukan dengan mudah, even on conscious people.

Mimpi Lang untuk menghidupkan kembali anaknya yang bernama Brecken itu suatu hari seperti menemukan cahaya terang. Sumbernya Saul Tenser (Viggo Mortensen) dan Caprice (Léa Seydoux), pasangan yang berprofesi sebagai performance artist itu memanfaatkan kondisi Tenser yang mengalami "accelerated evolution syndrome" di mana organ tubuhnya berkembang cepat menjadi organ vestigial baru. Keduanya mempertontonkan proses pembedahan "membuang" organ baru tersebut secara live, ditonton dan membuat kagum banyak orang. Salah satunya adalah Timlin (Kristen Stewart), birokrat di National Organ Registry yang terpikat oleh tujuan artistik yang Tenser usung. Dan tentu saja aksi Tenser bersama Caprice menarik perhatian Lang.

Mengikuti babak pertama dari karya terbaru Sutradara David Cronenberg ini seperti masuk ke dalam sebuah dunia baru di mana sebagai penonton saya tidak diberikan akses yang membangun koneksi dengan karakter dan juga cerita. Seperti ada sebuah batasan yang dibentuk oleh Cronenberg sehingga para penonton tetap berada pada posisi menyaksikan saja, sedangkan di sisi lainnya karakter menampilkan sandiwara yang tidak berhenti membuat saya mengernyitkan dahi. Apa sebenarnya yang coba Cronenberg sampaikan di sini? Apa yang telah dan sedang terjadi di bumi? Itu dua dari beberapa pertanyaan yang hadir di dalam pikiran saya yang walaupun hanyut di dalam rasa penasaran tapi di sisi lain secara bertahap juga dituntun oleh David Cronenberg untuk menemukan apa yang sebenarnya film ini ingin sampaikan.


Ya, babak pertama yang terasa ganjil itu kemudian berkembang dengan baik, tanpa menanggalkan kesan misterius yang telah terbentuk, oleh David Cronenberg secara perlahan mulai menunjukkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam cerita. Seperti judulnya penonton memang bertemu dengan bentuk aksi “kejahatan” yang terjadi di masa depan, yang dilakukan oleh Saul Tenser dan Caprice pun telah jadi sesuatu yang normal bahkan dikemas dalam bentuk sebuah pertunjukkan, menjadi arena di mana berbagai hal yang dahulu dianggap tabu kini justru menjadi sesuatu yang menarik untuk dipertontonkan ke masyarakat luas, dan malah justru dikemas menjadi sebuah performance art. Cronenberg mencoba untuk berbicara tentang seni dan isi di dalamnya, tapi yang saya rasakan justru lebih luas dari itu.

Di balik presentasi penuh kesan aneh yang mengingatkan saya pada film ‘Titane’ itu, film yang ternyata tahap produksi-nya telah dimulai sejak tahun 2003 ini berhasil menjadi sebuah penggambaran kondisi sosial manusia yang semakin miris. Creation of art is often associated with pain, dan rasa sakit itu yang menjadi hiburan penuh kenikmatan oleh banyak orang, sesuatu yang sebenarnya juga sudah terjadi di masa lalu hingga sekarang tapi tidak dalam tampilan yang eksplisit. Di sini pertumbuhan tumor dianggap sebuah seni, bahkan ada lembaga yang mengkhususkan diri dalam memanipulasi dan memodulasi rasa sakit! Cronenberg tidak mencoba menunjukkan itu secara jelas di dalam narasinya tapi strateginya itu justru berhasil menempatkan ide, isu dan pesan yang coba diusung menjadi sebuah bom dengan daya ledak oke, dan mereka mencapai targetnya dengan baik.


Meskipun caranya tidak selalu “baik” memang. Dimulai dengan sangat misterius saat seorang bocah berusia enam tahun memakan benda berbahan plastik, ‘Crimes of the Future’ kemudian fokus menampilkan Saul yang mencoba melawan “rasa sakitnya” itu. Pada bagian ini excitement terasa stagnan dan berpotensi terasa membosankan bagi penonton yang impresi awalnya pada premis tidak terlalu kuat, karena shock factor provokatif yang di bagian awal berhasil mengejutkan juga mulai meredup. Untung saja kesan ganjil itu tidak hilang, narasi mulai menunjukkan bagaimana sexual interest atau fetish dari beberapa karakter tampak semakin mekar, berbagai elemen klasik sebuah body horror ditampilkan dengan baik. Sensually disturbing, like his earlier works Cronenberg terus membuatmu hanyut dalam ide-ide menarik.

Ya, menarik untuk beberapa kalangan saja, saya salah satunya. Saya sendiri banyak terbantu oleh elemen science fiction di mana digambarkan kisah itu terjadi di sebuah dystopia, dari ketika organ harus diregistrasi hingga kontes kecantikan, Cronenberg membentuk idenya itu thoroughly fetishized vision of the future. Setting itu sangat membantu presentasi ide di dalam cerita untuk menghindar dari kesan konyol dan aneh, karena otomatis sejak awal Cronenberg meminta penonton untuk ikut bermain bersama imajinasi milik mereka pula. Dan jika kamu tidak hanya mampu tapi juga bersedia untuk melakukan itu maka akan semakin “mudah” pula untuk menikmati ‘Crimes of the Future’ ini, sebuah dunia fantasi bentukan Cronenberg, seksualisasi tindakan operasi yang mendorong banyak misteri ketimbang konklusi sederhana.


Tidak heran jika hasil akhir akan terasa cheap bagi beberapa penonton, sama seperti kualitas design. Namun demikian dunia yang dominan dipenuhi ocehan karakternya itu berhasil menjadi sebuah chamber drama yang mengikat atensi hingga akhir, visi tentang masa depan memang tidak terbentuk penuh dan dieksplorasi lebih jauh tapi play in a small space David Cronenberg sukses membentuk premis yang absurd jadi sebuah presentasi yang provokatif dengan beberapa ide yang exciting. Pencapaian yang juga tidak lepas dari kinerja para Aktor, terutama big three: Viggo Mortensen, Léa Seydoux, dan Kristen Stewart. Dua nama pertama berhasil membawa penonton merasa terikat dengan ide seni yang aneh itu, tapi performance Kristen Stewart yang “membungkus” semua, secara efektif menampilkan investigator yang terperangkap dalam delusi fetish.

Overall, ‘Crimes of the Future’ adalah film yang cukup memuaskan. Cronenberg tidak memberi akses bagi penonton untuk membangun koneksi dengan karakter dan juga cerita terlalu jauh, seolah ia hanya ingin kamu hanyut dalam fantasi penuh imajinasi liar tentang masa depan di mana tindakan operasi justru menjadi sumber sensasi seks yang tampak menjanjikan. Sensually disturbing, terus membuatmu hanyut dalam ide-ide menarik tanpa menanggalkan kesan misterius yang di bentuk dengan baik, menampilkan "provokasi" menggunakan cerita yang tampak aneh. Ya, seperti ‘Crash’ menggunakan premis ganjil serta bumbu graphic violence, Cronenberg mencoba untuk berbicara tentang penciptaaan seni dan isi di dalamnya, rebellion and acceptance, serta menjadi sebuah penggambaran kondisi sosial manusia yang semakin miris di masa depan. With his unsettling flair. Segmented.






1 comment :

  1. “The creation of inner beauty cannot be an accident.”

    ReplyDelete