23 April 2013

Movie Review: In the House (Dans la maison) (2012)

 

Imajinasi punya dua warna yang berbeda. Ia seperti sebuah wahana bermain yang sangat indah bagi manusia, dimana mereka bebas merangkai semua hal yang mereka inginkan, dari apa yang mereka pikirkan, lihat, dan juga apa yang mereka dengar. Namun tiga elemen tadi juga dapat menjadi sumber masalah, yang bahkan mampu membuat kita tersesat dan terjebak dalam imajinasi yang kita ciptakan, dan perlahan membawa kita menuju sebuah kehancuran.  

Germain (Fabrice Luchini), seorang pria lanjut usia, berprofesi sebagai guru bahasa prancis di sebuah high school. Suatu ketika Germain memberikan tugas kepada muridnya, menuliskan semua hal yang mereka lakukan di akhir pekan pada selembar kertas. Hasil yang ia temukan cukup mengecewakan, dimana bahkan ada diantara mereka yang hanya menuliskan dua baris kalimat. Ini seolah menjadi sebuah bukti bahwa ia gagal menarik perhatian para muridnya pada sastra Perancis. Namun seorang murid justru menarik perhatian Germain.

Dia adalah Claude Garcia (Ernst Umhauer), pria cerdas yang pemalu, berusia 16 tahun, selalu duduk di baris paling belakang kelas. Claude menuliskan pengalamannya sepanjang dua halaman pada selembar kertas, berisikan pengalaman yang ia alami di akhir pekan bersama Rapha Artole (Bastien Ughetto), ketika mengajarinya pelajaran Matematika. Anehnya, di akhir tulisan ia memberikan kalimat "to be continued", dan selang beberapa hari memberikan lanjutan cerita tersebut kepada Germain. Hal yang tidak biasa dilakukan seorang murid itu mengundang pertanyaan di benak Germain, terlebih inti tulisan Claude yang ternyata hanya menggunakan Rapha sebagai jalan untuk masuk ke rumahnya, karena objek utama cerita tersebut adalah ibu Rapha, Esther Artole (Emmanuelle Seigner).


François Ozon sangat berhasil dalam menciptakan sebuah screenplay yang ia adaptasi dari The Boy in the Last Row karya Juan Mayorga, mampu menebar daya tarik kepada penontonnya sejak awal. Ketika ia mulai, In the House seperti tidak menjanjikan sesuatu yang megah, meskipun di buka dengan baik lewat timelapse scene yang ia berikan. Tapi kemunculan Claude menjadi titik start, dimana hanya dengan tiga surat dan dalam durasi yang belum menyentuh 20 menit, In the House langsung berubah menjadi sebuah cerita yang misterius berkat suksesnya pertanyaan yang ia lempar menarik penonton, semua berkat premis yang dikemas dalam screenplay yang kuat dan punya struktur yang rapi.

Ada sedikit nafas Hitchcock di film ini, dimana manipulasi bercampur dengan obsesi pada sebuah cerita yang masih berada di zona tanda tanya. Punya karakter yang sedikit psycho, memberikan nuansa thriller untuk menemani misteri, sedikit komedi-komedi yang gelap, digerakkan dengan sangat bebas, In the House sukses menjebak penontonnya dalam sebuah perangkap dan ikut memanipulasi mereka. Tapi disini letak kenikmatan yang ia punya, menggunakan narasi yang sangat ringan dan efektif, membuat anda ikut berpartisipasi dalam kisah yang semakin lama semakin menghancurkan, yang meskipun telah ia kupas sedikit demi sedikit namun masih mampu mempertahankan pace serta ikatan yang telah ia berikan kepada penontonnya.

Ya, In the House bertahan hingga akhir berkat misteri yang ia punya, dan itu sukses dipertahankan oleh Ozon dengan menggunakan pertanyaan dibalik fakta yang sebenarnya. Apakah yang dituliskan Claude benar terjadi? Tapi mengapa di beberapa bagian ia justru merubah cerita menjadi lebih halus ketika atas permintaan dari Germain? Jika itu hanya fantasi, mengapa Germain dan istrinya Jeanne (Kristin Scott Thomas) bisa ikut terlibat di dalam cerita? Hal-hal tadi berpadu dengan sebuah potensi yang dapat menghadirkan lebih banyak peristiwa yang tidak terduga. Di sini letak kecerdikan François Ozon, dimana ia pintar membagi dua dunia, fiksi dan realita, dan mampu memberikan kadar daya tarik yang sama besarnya.

Ini seperti menyaksikan Ruby Sparks dalam kemasan yang sedikit lebih kompleks, dengan tema manipulasi yang sama, namun berisikan lebih banyak fantasy dengan arah cerita yang lebih variatif. Dan uniknya In the House adalah ia dengan berani menempatkan konflik utamanya hanya pada aktifitas didalam sebuah rumah. Ini pada awalnya menjadi sebuah keunikan yang menghasilkan sebuah objek observasi yang fokus. Nilai negative hadir ketika ia mulai sedikit mengingkari hal tersebut, menghadirkan beberapa konflik pendukung yang justru membelokkan cerita ke bagian akhir yang terasa kurang memuaskan.

Bintang di film ini adalah Fabrice Luchini. Selain mampu menangani tiga konflik yang hinggap di karakter Germain, Luchini juga yang menjadikan permasalahan yang dimiliki oleh Ernst Umhauer menjadi sebuah kisah yang menarik, Kristin Scott Thomas yang terus tertekan dengan problem galeri seni miliknya, hingga kasus yang sedang terjadi di keluarga Artole. Umhauer juga sukses mencuri perhatian, sanggup tampil dingin layaknya seorang psycho dengan sangat natural. Yang mengejutkan justru bukan Kristin Scott Thomas yang masih tampil baik sesuai standar yang ia miliki, melainkan Emmanuelle Seigner, yang dengan tenang sanggup menjadi objek observasi yang menarik.


Overall, In the House adalah film yang memuaskan. Dia punya kunci pada narasi yang sanggup membawa penontonnya kedalam cerita, yang terus berkombinasi dengan baik bersama para pemeran yang solid dan natural. Memang tidak berakhir seperti apa yang saya harapkan, namun perjalanan yang berisikan permainan pikiran yang manipulative sudah cukup untuk memberikan predikat sebuah film yang menghibur pada In the House, terlebih pesan yang ia bawa tersampaikan dengan baik. Well, hanya satu film François Ozon yang saya saksikan sebelumnya, 8 Women (8 Femmes), dan In the House seperti membangkitkan daya tarik akan film-film karya Ozon lainnya.



0 komentar :

Post a Comment