01 March 2022

Movie Review: Death on the Nile (2022)

“How many great stories are tragedies?”

Meskipun respon yang diterima memang mixed namun di tahun 2017 yang lalu film ‘Murder on the Orient Express’ sukses mencatatkan pencapaian box office yang jauh dari kata buruk: hampir tujuh kali lipat dari budget awalnya. Kenneth Branagh kala itu berhasil membuktikan bahwa kisah fiksi detektif penuh misteri yang sudah terkenal itu masih dapat menjangkau khalayak penonton yang lebih luas dan besar. Sekuel muncul namun sayangnya kisah diambil dari Agatha Christie's famous crime novels berjudul sama itu seperti bertemu beberapa rintangan, dijadwalkan rilis tahun 2020 yang lalu dan tertunda akibat beberapa hal, dari akuisisi Disney atas 20th Century Fox dan tentu saja, Corona. ‘Death on the Nile’: be careful when playing with spices.


Tujuan Hercule Poirot (Kenneth Branagh) datang ke Mesir sebenarnya untuk liburan, dan menikmati pemandangan indah, tapi justru di sana ia mendapat pekerjaan baru. Poirot diundang ke pernikahan keluarga kaya, Linnet Ridgeway-Doyle (Gal Gadot) dan Simon Doyle (Armie Hammer), acara yang mengejutkan banyak orang di sekitar Linnet tidak hanya karena ia tiba-tiba menikahi sosok bejat yang baru saja bangkrut tapi juga karena ia merebut Simon dari sahabatnya, Jacqueline de Bellefort (Emma Mackey) yang turut hadir di perayaan tersebut, terus menguntit Linnet dan Simon dengan tujuan untuk mendapatkan kembali Simon dari Linnet.

Merasa tidak aman dan tidak nyaman, Linnet meminta Poirot mengawasi Jacqueline, tapi tidak lama kemudian sebuah berita mengejutkan muncul. Acara berlangsung di sebuah kapal uap dan menjadi tempat sebuah masalah besar, yakni salah satu dari penumpang ditemukan tewas di dalam kapal bernama S.S. Karnak itu dan sebuah kalung berharga milik korban telah dicuri. Poirot, dibantu Bouc (Tom Bateman) dan Simon menginterogasi para tamu: Louise Bourget (Rose Leslie), Linus Windlesham (Russell Brand), Marie Van Schuyler (Jennifer Saunders), Andrew Katchadourian (Ali Fazal), Mrs. Bowers (Dawn French), Salome Otterbourne (Sophie Okonedo), dan juga Euphemia (Annette Bening).

Dikenal dengan gayanya yang eksentrik serta tentu saja kumisnya itu, Hercule Poirot mencoba melanjutkan screen success dari novel milik Agatha Christie, para penonton sekarang dibawa menuju ke Sungai Nil. Kembali mendorong visual cantik dengan ensemble cast yang penuh bintang seperti di ‘Murder on the Orient Express’, Kenneth Branagh bersama Screenwriter Michael Green menggunakan film ini untuk mencoba memberi sedikit penjelasan masa muda Piorot, a kind of origin story namun dengan tambahan bumbu romance, seperti ada upaya untuk membuat sosok penyelidik yang brilian itu agar terasa semakin “manusia” sehingga memberi akses kepada penonton untuk semakin mudah merasa dekat dengannya, someone more approachable. But, the decision is not particularly good.


Agatha Christie sendiri cenderung tidak terlalu menaruh fokus pada karakter tapi bagaimana agar whodunit culprit search terasa menarik, sehingga mengubah terlalu “banyak” karakter yang sudah terkenal merupakan sebuah perjudian, hal tersebut memberi dampak yang kurang positif di sini. Idenya sendiri terhitung oke sayangnya tidak ditangani dengan baik oleh Michael Green. Tidak hanya perubahan karakternya saja tapi ada beberapa penambahan adegan aksi dengan motif yang baru punya pada tugas yang diemban oleh Poirot, tujuannya tentu baik yakni agar tone tidak terlalu berat dan mudah dinikmati meski jualan utamanya tetap misteri. But those things don't really fit, apalagi sebagai add-on mereka justru membuat pesona pusat cerita jadi terasa kacau kualitasnya.

Sebenarnya sejak ‘Murder on the Orient Express’ Kenneth Branagh bersama Michael Green sudah mencoba untuk membuat kisah Poirot agar lebih mudah untuk diakses, kala itu tergolong cukup berhasil di mana mereka sedikit memotong porsi bagi aksi investigasi Poirot dan lantas mendorong penekanan terhadap dampak emosi yang dialami oleh Poirot dari kriminal yang rumit. Moral memang coba dipoles dan di sini pola tersebut bukan sekedar diterapkan kembali saja namun juga lebih diintensifkan lagi. Narasi kini punya porsi lebih besar bagi kehidupan pribadi Poirot, contohnya pada bagaimana kemampuannya dalam menganalisa dan memecahkan masalah dengan cepat bertujuan untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari bahaya. A hero in the making, mereka ingin Poirot lebih dari sekedar seorang detektif.


Dan tidak hanya itu, secara implisit kamu juga dapat merasakan bahwa peristiwa yang bergejolak telah membuat Poirot semakin haus akan ketenangan dalam pikiran miliknya, to find peace of mind sehingga kasus kriminal di pusat cerita berjalan dengan dipenuhi kesedihan dan rasa bersalah di dalam diri Poirot. Komponen yang lebih sentimental ketimbang puzzle penuh teka-teki dan misteri jelas bukan sesuatu yang salah naming saya menyayangkan porsi dan pendekatannya justru membuat kenikmatan hal terakhir tadi jadi terasa tergerus. Tidak ada yang sukses tampil utuh di antara dua hal tadi, sketsa whodunit culprit search masih menguasai jalur utama tapi character development kerap kali terasa berlebihan dan mencuri ruang bagi cerita kejahatan untuk berkembang.

Beberapa bagian narasi terkesan terburu-buru dalam menyajikan proses interogasi, mendorong alasan yang masuk akal ke hadapan para penonton sehingga membuka banyak celah yang membuat motif dan alibi dapat terus bermain. Lagi, strategi yang tidak salah tapi alih-alih menjaga keseimbangan justru blunder dan membuat events yang sedang bergulir terasa seperti staging with gimmicks. Apalagi visual, bertumpu pada estetika yang terasa overexposed dengan animasi komputer setengah matang, kurang berhasil menyokong narasi dengan cara membentuk atmosfir tidak hanya pada cerita tapi juga karakter. Novelnya sendiri ditulis Agatha Christie menghibur dengan cara menunggu jawaban yang terungkap lewat proses investigasi, excitement terbesarnya itu, dan hal tersebut absen di sini.


Sangat jauh dari kata buruk sebenarnya tapi mengapa dari tadi kalimat saya seperti didominasi nilai minus karena memang mereka lahir dari blunder ide di awal tadi. Tentu saja film ini punya kekuatan dan nilai plus, struktur cerita sendiri terasa well-constructed termasuk ensemble cast yang tergolong masih cukup berhasil membuat karakter mereka tampak menonjol di balik kesempatan terbatas yang dimiliki oleh beberapa dari mereka, seperti Dawn French dan Jennifer Saunders misalnya. Kamu dapat merasakan pesona mereka meski kualitasnya sama seperti visual effect yang seringkali terlihat terlalu artifisial dan merusak mood. Para aktor punya kesempatan yang terbatas, karakterisasi mereka juga kerap dibantu oleh design seperti kostum dan produksi, dua jam durasi seharusnya kesempatan mereka lebih besar lagi.

Overall, ‘Death on the Nile’ adalah film yang kurang memuaskan. Saya frustasi pada film ini bukan karena ia buruk melainkan karena kualitasnya yang ternyata kurang berhasil melanjutkan start oke dari ‘Murder on the Orient Express’ akibat blunder yang sudah exist sejak awal. Pendekatan yang coba diterapkan memang terasa lebih segar tapi fokus pada naratif yang tidak tegas serta presentasi visual yang terasa lacking membuat whodunit culprit search itu terasa too artificial. Kasusnya sendiri menarik dan resolusinya juga tidak buruk, tapi bumbu yang dimasukkan membuat hasil akhir film ini terasa salah buat saya, atau kurang tepat. Segmented.






1 comment :

  1. “The crime is murder. The murderer is one of you.”

    ReplyDelete