16 February 2017

Review: 20th Century Women (2016)


"Wondering if you're happy is a great shortcut to just being depressed."

Karakter utama film ini, Dorothea Fields, mengatakan bahwa dirinya akan mati akibat kanker pada usia 74 tahun. Yang menarik dari sana adalah alasan bahwa hal tersebut berlandaskan dari rasa sulit atau elusive yang Dorothea alami dalam mengikuti perputaran waktu dan perkembangan era yang semakin modern, sesuatu yang tentunya membawa banyak perubahan, dari manusia, inovasi, hingga berbagai “penyakit” di dalamnya. Perasaan “terancam” dari karakter itu merupakan dasar yang digunakan dengan baik oleh Mike Mills di '20th Century Women', sebuah comedy-drama yang menjadi sebuah ode bagi time, people, youth, and also human spirit. It’s an endearing and soulful dramedy.

Pada tahun 1979 di Santa Barbara, single mother bernama Dorothea (Annette Bening) hidup bersama anaknya Jamie (Lucas Jade Zumann), mereka hidup di sebuah rumah yang dapat terus “hidup” berkat bantuan William (Billy Crudup). Juga tinggal di sana adalah Abbie (Greta Gerwig), seorang photographer. Teman Jamie yang bernama Julie (Elle Fanning) juga telah "akrab" dengan rumah tersebut. Suatu ketika Jamie mulai mempertanyakan perihal sang ayah, hal yang berhasil “mengganggu” dirinya. Dorothea memutuskan meminta bantuan pada William, Abbie, dan juga Julie untuk membantunya memberikan “jawaban” pada Jamie.  


Sutradara Mike Mills (Beginners) mengatakan bahwa ia menggunakan pengalamannya ketika masih remaja sebagai dasar atau basic bagi cerita film ini, hal yang kemudian dengan piawai ia bentuk menjadi sebuah “dunia” kecil yang menarik untuk diamati dan dinikmati. Ruang bermain bagi lima karakter memang tidak terasa sangat luas tapi di dalam dunia kecil itu Mills dengan terampil menghadirkan berbagai hal yang kemudian membawa kamu untuk bertemu dengan berbagai “wisdom” yang terasa ringan namun tajam. Dari tentang waktu, manusia, youth, hingga juga human spirit, mereka berpadu dengan manis bersama sentuhan comedy yang tidak kalah bersinar di samping mereka. Storytelling memang terasa casual tapi dari sana apa yang Dorothea dan gang yang ia punya itu lakukan berhasil meninggalkan something yang jauh lebih dalam, something yang sukses membuat penonton merasa mereka seolah telah”berbagi” bersama dengan karakter di dalam cerita. 


Pencapaian itu tidak lepas dari kesan authentic dan juga real yang berhasil karakter dan juga cerita ciptakan. Berpusat pada Jamie dan juga para wanita yang ada di sekitarnya ‘20th Century Women’ berhasil menyajikan esensi yang kita harapkan dari humanity dengan menggunakan hal-hal klasik seperti “pendapat” misalnya hingga perbedaan generasi. Comedy tidak pernah lupa melakukan pekerjaannya dengan sangat baik namun di sisi lain Mike Mills tetap menjaga agar hal-hal terkait life yang terkandung di dalam cerita terus mengisi center atau pusat di panggung utama cerita. ‘20th Century Women’ is about life, sebuah kisah tentang bagaimana belajar tentang cinta begitu juga dengan benci hingga putus asa, hal tersebut dengan proses finding out serta discover sebagai penggerak utama. Mike Mills mencoba mengajak penontonnya untuk merasakan tentang hidup di film ini, dan dia berhasil melakukan itu dengan baik lengkap bersama emosi yang sukses memelintir penontonnya. 


‘20th Century Women’ pada dasarnya merupakan sebuah kisah coming of age namun dibentuk sedemikian rupa oleh Mike Mills sehingga menciptakan kesan segar yang menyenangkan. Salah satunya adalah dengan menggunakan permainan perspektif di mana di sini kita bertemu dengan tiga wanita yang menjadi “teman” Jamie. Tidak hanya membuat kemunculan feminist perspective yang terasa oke saja namun hal tadi juga menciptakan kesan quirky kental di dalam narasi ‘20th Century Women’ yang diartikulasi dengan baik oleh Mills. Terdapat isu terkait evolving di dalam pertanyaan yang sedang “mengganggu” Jamie tadi dan hal tersebut menarik masuk berbagai hal lain yang memiliki keterkaitan dengan proses berkembang tadi secara slick dan cantik ke dalam cerita. Dari family misalnya, hingga culture, mereka menemani penonton dengan kesan natural dan intim namun tetap ringan, berbagai tawa eksis di dalam cerita bersama emosi dan kehangatan yang dipancarkan oleh isu lain seperti cinta yang berhasil menarik empati. 


Tidak heran Mike Mills mendapat nominasi pada kategori ‘Best Original Screenplay’ pada pagelaran The 89th Academy Awards karena script yang ia ciptakan memang terasa sharp dan juga clever. Script berhasil menampilkan kisah yang klasik itu menjadi sebuah sajian yang segar dan juga menggambarkan life dengan cara yang unik. Narasi memang terasa cukup loose tapi tetap terdapat irama dan juga punch yang konsisten memikat di dalam story lines, berbagai kalimat yang dilontarkan oleh karakter bahkan sangat quotable. Penggunaan visual dengan Sean Porter sebagai cinematographer juga tidak kalah menariknya terutama pada atmosfir cerita dibantu kontribusi dari bagian design baik itu production maupun costume serta musik dari Roger Neill. Namun disamping berbagai elemen teknis tadi elemen yang dapat dikatakan berdiri sejajar dengan pengarahan dan script dari Mike Mills adalah kualitas kinerja akting dari para aktor dan aktrisnya. 


Ensemble cast 20th Century Women merupakan salah satu yang terbaik dari film rilisan tahun lalu, mereka tidak hanya sukses menciptakan sebuah “team” yang terasa fit satu dengan yang lainnya namun secara individual mereka juga sukses memancarkan pesona dari karakter mereka masing-masing. Bintang utamanya tentu saja Annette Bening, tidak hanya berhasil membuat Dorothea menjadi wanita yang worrisome dan vulnerable namun ia juga berhasil “mengundang” masuk penonton ke dalam kehidupannya. Kinerja terbaik dari Bening sejak penampilannya di American Beauty. Bening was great namun kinerja akting Greta Gerwig dan Elle Fanning juga sama kuatnya di sini. Berperan sebagai wanita “aneh” Gerwig berhasil menyuntikkan kontras yang pas bagi Abbie, her finest work to date, sedangkan Fanning tampil baik sebagai remaja dengan masa remaja yang membingungkan itu. Dua pemeran pria berhasil menjadi pelengkap yang baik, Zumann dalam menampilkan pain yang dirasakan Jamie, sedangkan Billy Crudup selalu sukses mencuri atensi sebagai pria sensitive bernama William. 


Sebuah perpaduan coming of age bersama dengan motherhood maupun womanhood ‘20th Century Women’ merupakan sebuah kombinasi drama dan comedy yang terasa menawan, terasa offbeat dengan rhythms yang terasa unik selalu sukses menghadirkan senyum dan tawa ketika komedi menjalankan tugasnya tapi di sisi lain juga memiliki emosi dengan pesona yang kuat untuk membawa penonton masuk ke dalam sisi dramatic di dalam cerita. Dari filosofi dan konsekuensi ini memang merupakan sebuah dramedy yang tampak kecil namun memiliki isi yang membuatnya terasa besar, and if you chained to the rhythm in the end you’ll be feeling changed after spent time with Dorothea and other interesting characters. Such a soulful dramedy. Segmented. 










Cowritten with rorypnm

0 komentar :

Post a Comment