09 September 2016

Review: Morgan (2016)


"I’m starting to feel like myself."

Sebuah science fiction psychological thriller berjudul Ex Machina berhasil menjadi salah satu kejutan terbesar di industri film tahun lalu, memainkan isu klasik tentang teknologi yang digunakan untuk mencoba memprovokasi dan “mempermainkan” penontonnya lalu in the end will leave you breathless. Isu yang sama coba dihadirkan kembali oleh film ini, Morgan, sebuah science fiction horror dengan fokus utama pada sebuah eksperimen “manusia menciptakan manusia” yang sedang terancam gagal. It’s an alike-but-not-alike imitation and an action-horror version of Ex Machina.

Morgan (Anya Taylor-Joy) “diciptakan” dan dibesarkan oleh Dr. Chen (Michelle Yeoh) dan timnya dengan tujuan utama untuk dapat tumbuh dan berkembang seperti yang manusia lakukan. Tumbuh dengan cepat dan mulai memperoleh beberapa kemampuan super suatu ketika Morgan menciptakan sebuah insiden yang melibatkan salah satu peneliti bernama Dr. Kathy Grieff (Jennifer Jason Leigh). Meskipun mendapat perlindungan dari dokter dan peneliti lainnya aksi Morgan tersebut membuat petugas manajemen resiko bernama Lee Weathers (Kate Mara) tiba di kompleks sains yang terpencil itu. Tujuan utama kedatangan Lee Weathers adalah untuk melakukan investigasi dan uji kelayakan terhadap research yang selama ini dilakukan terhadap Morgan. 


Dari sinopsis di atas mungkin kamu akan dengan mudah mendapat impresi yang serupa dengan apa yang saya peroleh: 2016’s Ex Machina? Ya, tahun lalu Alex Garland sudah melakukan hal serupa bahkan dapat dikatakan juga dengan konsep, formula, dan konflik yang sama yaitu manusia menciptakan sesosok makhluk artificial intelligence dengan tempat penelitian terletak di lokasi terpencil lalu suatu ketika makhluk tersebut mulai mencoba memberontak. Di tangan Luke Scott (anak Ridley Scott) film ini mencoba melakukan hal serupa tapi bisa dikatakan sejak awal seluruh elemen di dalam ‘Morgan’ seperti sudah sepakat untuk tidak tertarik dengan berbagai isu provokatif seperti yang dimiliki Ex Machina, meskipun memang masih terdapat isu thought-provoking di dalam cerita tapi perannya sangat kecil. 


Apa yang dilakukan ‘Morgan’ di sini terasa seperti apa yang The Machine lakukan tiga tahun yang lalu, tidak mau mencoba tampak rumit dan kompleks, terus mencoba menampilkan kesan horror dari bahaya yang mengancam manusia dari makhluk yang mereka ciptakan. Bicara setting awal hal tadi dibentuk dengan cukup oke, kesan “terisolasi” dari proyek terhadap Morgan tidak terasa buruk dan misteri di dalam cerita at least mampu mengundang rasa penasaran penonton di awal. Tapi sayang start yang sebenarnya lumayan oke tersebut perlahan mulai menghilang akibat berbagai hal, dari screenplay yang menggelikan hingga editing yang bergelombang excitement yang diberikan oleh ‘Morgan’ mulai terasa lemah dan ia mulai tampak bingung menggambarkan kisah tentang manusia melawan “robot” itu, dan itu hadir dari attempt yang sejak awal tidak ingin tampak rumit dan kompleks. 


Niat ‘Morgan’ ini sebenarnya sederhana, dari proses membesarkan Morgan yang dilakukan tim peneliti hingga ketika mereka mencoba melindungi ketika Morgan sedang berada dalam bahaya jelas inti yang ingin dijual film ini adalah koneksi antara manusia dan “robot” ciptaan mereka. Sayangnya kedalaman di cerita terasa minim, being predictable bukan masalah tapi Luke Scott kurang berhasil mempermainkan materi cerita untuk menjaga minat penonton terhadap Morgan dan seluruh tim peneliti yang “lucu” itu. Feel engaging yang dimiliki cerita tidak buruk tapi terasa terlalu vanilla, emosi di dalam cerita dan yang dimiliki karakter tidak mengikat penonton untuk rooting pada salah satu dari mereka. Alhasil karakter tidak berkembang dan motivasi mereka jadi tidak kuat dan semakin lengkap karena mereka harus berjalan dengan pacing yang slow dan terasa monoton, bahkan fight sequences miskin tensi.  


Dijual sebagai sebuah science fiction horror ‘Morgan’ punya kesan menakutkan yang cukup oke di bagian awal tapi sayangnya tidak tumbuh dengan baik. Memiliki kinerja akting yang oke dari Anya Taylor-Joy dan Kate Mara ‘Morgan’ tidak punya banyak hal yang ingin disampaikan dan perlahan mulai berjalan dengan rasa bingung, mencoba menyuntikkan "cheap thrills" tapi hasilnya lebih banyak yang terasa cheap, mencoba tampak eerie tapi perlahan kehilangan fokus dan menjadi sloppy. Seandainya cerita dapat “bermain” lebih baik lagi tidak hanya sekedar mencoba tampak misterius lalu di akhir memberi kejutan mungkin ‘Morgan’ dapat menjadi sebuah science fiction horror yang at least memorable, bukan too vanilla and easily forgotten seperti ini. Segmented.










0 komentar :

Post a Comment