17 April 2022

Movie Review: Paris, 13th District (2021)

“You're in love. I'm not. This can’t go on.”

Cinta kadang bekerja di luar nalar dan logika, misterius dan membuatmu merasakan keindahannya lewat sebuah proses yang tidak kamu pernah duga. Memang ada yang jalannya lurus dari awal, tapi tidak sedikit pula yang bertemu jalan bergelombang, atau bahkan mengambil jalan memutar ketika sadar bahwa jalan yang sedang dirinya tempuh akan membawanya ke destinasi akhir yang tidak sesuai dengan harapannya. Apalagi di era modern seperti sekarang ini, era di mana komitmen kehilangan nilai dan kalah dari friends with benefits yang semakin populer karena tampak menarik dan menyenangkan. They have fun, but they're not a couple. Are friends with benefits a good idea? ‘Paris, 13th District’: a sneaky rom-com about millennial love.


Seperti namanya Emilie Wong (Lucie Zhang) bukan penduduk asli kota Paris, namun ia beruntung karena bisa menempati apartement milik sang nenek yang kini dirawat di tempat lain. Ada satu buah kamar kosong dan Émilie tidak ingin itu terbuang sia-sia, ia memasang iklan yang kemudian ditemukan Camille Germain (Makita Samba). Emilie tidak menyangka bahwa Camille adalah seorang pria, tapi sebuah hubungan seks lebih dari cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sosok asing tersebut layak jadi roommate. Camille akan ada saat Emilie “membutuhkannya”, begitu juga sebaliknya karena mereka sepakat untuk menjalani hubungan "friends with benefits", tanpa ada perasaan cinta dan komitmen di dalamnya.

Nora Ligier (Noémie Merlant) adalah wanita berusia 32 tahun yang mencoba untuk kembali kuliah, tapi sayangnya respon beberapa mahasiswa yang menjadi rekannya tidak positif. Nora tidak menyerah, ia mencoba untuk bersosialisasi dengan hadir di sebuah pesta mahasiswa, tapi datang dengan menggunakan wig blonde wanita itu justru disangka Amber Sweet (Jehnny Beth) oleh beberapa orang mahasiswa pria. Amber Sweet adalah seorang streamer yang menjual jasa nude private chat dengan menggunakan busana minim, di mana orang harus membayar menggunakan sistem token. Bukannya kesal Nora justru mencoba untuk melakukan private chat dengan Amber yang ternyata membuatnya belajar tentang apa yang inginkan dari cinta.

Film yang berjudul ‘Les Olympiades’ dalam bahasa negara asalnya ini merupakan kombinasi tiga buah short comic stories berjudul Amber Sweet, Killing and Dying, serta Hawaiian Getaway karya kartunis asal Amerika Serikat, Adrian Tomine. Loosely based memang dan disusun kembali oleh Sutradara Jacques Audiard bersama Léa Mysius dan Céline Sciamma menjadi sebuah romantic comedy dengan sedikit drama yang mencoba berbicara tentang nilai cinta. Terasa sedikit unik di bagian awal ketika bertemu dengan Émilie Wong dan Camille Germain untuk pertama kalinya di ruang tamu apartement mereka, Camille menemani Émilie bernyanyi dan mereka duduk santai bersama tanpa menggunakan busana. Itu bukan titik awal kisah mereka, dari sana kamu akan dibawa mundur ke momen pertemuan mereka.


Tidak banyak durasi digunakan untuk menjelaskan apa yang terjadi di antara Emilie dan Camille, sejak pertemuan pertama peran seks di dalam hubungan mereka terasa sangat kontras yang dengan cepat langsung pula langsung melangkah maju ke titik di mana perasaan mulai jadi kendala. Sangat mudah untuk memahami polemik yang terjadi di antara Camille dan Émilie, bagaimana status friends with benefits yang telah mereka sepakati justru melahirkan rasa suka, padahal salah satu aturan main paling penting dari Friends With Benefits (FWB) adalah tidak boleh ada komitmen di antara kedua belah pihak. They have fun, sex misalnya, but they're not a couple, sehingga akan jadi masalah ketika satu di antara mereka mulai terjebak dalam perasaan suka.

Dilema FWB itu yang dieksplorasi di babak pertama dan disajikan dengan sangat baik oleh Jacques Audiard, ia tidak menggali terlalu detail tapi kerumitan hubungan FWB tersebut berhasil membuat saya tersenyum, karena penggambarannya sendiri terasa authentic dan mirip seperti apa yang kini mudah ditemukan di kehidupanmu sehari-hari. Pria kerap kali lebih mudah untuk “mengatasi” masalah yang akan hadir di awal dengan menggunakan logika, sedangkan wanita cenderung lebih sulit untuk melupakan di fase awal kembali menjadi single. Apa yang awalnya tampak akan jadi kisah cinta berisikan tarik ulur perasaan suka itu ternyata menambah satu lagi karakter dan membuat sudut pandang terhadap cinta. Nora Ligier membawa konflik sendiri, tapi fungsinya terasa cantik setelah terkoneksi dengan Camille dan Emilie.


Dari sana ‘Paris, 13th District’ mulai sedikit bergeser menjadi sebuah drama dengan tone yang sedikit lebih dark. Sex scene memang tidak absen tapi sejak titik tengah narasi mulai lebih sering bermain-main dengan emosi yang harus dihadapi karakter. Ada yang berasal dari trauma di masa lalu, sedangkan yang lain berurusan dengan masalah yang berasa dari internal kehidupannya. Yang satunya lagi mungkin tampak seperti mengulangi kesalahan yang sama, tapi dari sana justru ia belajar tentang arti cinta yang paling menarik untuk dirinya sendiri. Kondisi yang juga dialami oleh Nora ketika ia akhirnya menyadari cinta dan hubungan macam apa yang bisa membuatnya merasa tidak takut akan terlukai. Itu pesona terbaik ‘Paris, 13th District’, bagaimana kisah yang awalnya tampak childish itu justru perlahan tumbuh semakin dewasa.

Dan puncaknya adalah ketika konklusi itu hadir ada perpaduan antara sisi hangat dan manis yang dimiliki oleh cinta, bahwa cara setiap orang dalam memaknai dan menempatkan cinta di dalam hidup mereka juga berbeda-beda. Solusinya memang seolah berbeda tapi saya suka cara Jacques Audiard dan tim menempatkan di kedua sisi tersebut sebuah inti yang sama, yakni mendorong karakter untuk bahagia dalam cinta yang membuat mereka merasa nyaman. Camille dan Émilie memang satu kasus yang unik, dan solusi bagi mereka juga mungkin terkesan terburu-buru, namun yang dibutuhkan sebenarnya cuma itu, kesiapan masing-masing untuk berkomitmen. Dan terkadang hal itu menemukan garis finish setelah melewati rute yang tidak mudah, harus memutar dan belajar, mempersilahkan cinta bekerja di luar nalar dan logika.


Setelah menyadari itu semua di penghujung film saya terdiam sembari tersenyum dan memberi tepuk tangan kecil, karena hasil akhirnya sungguh diluar dugaan saya, awalnya tampak “murah” tapi justru berakhir mewah. Jacques Audiard juga patut berterimakasih pada tim divisi teknisnya, seperti cinematography, score, dan editing karena kualitas mereka narasi dengan struktur episodik itu punya komposisi yang padat dan manis. Pun demikian dengan kinerja akting dari para aktor, mereka tidak selalu konsisten hadir di layar karena tatanan yang episodic tadi, tapi mereka sukses membuat pesona karakter masing-masing langsung mengikat atensi penonton dan menantikan apa yang akan terjadi. Noémie Merlant, Makita Samba, dan Lucie Zhang, mereka ciamik baik secara individual maupun tim.

Overall, ‘Paris, 13th District (Les Olympiades)’ adalah film yang sangat memuaskan. Bermain di kunci minor sejak awal, ditunjang script yang mumpuni Sutradara Jacques Audiard berhasil menyajikan sebuah ironi yang kini telah jadi bagian tak terlepaskan dari millennial love, modern life yang kini menggerus nilai serta peran dari komitmen di dalam sebuah kisah cinta. Visually compelling dengan kinerja akting memikat, ini adalah eksplorasi yang cantik terhadap cinta yang misterius itu, bagaimana dibutuhkan proses untuk belajar untuk bisa tiba di garis akhir di mana seseorang menentukan pilihan, tentang cinta seperti apa yang membuatnya merasa nyaman untuk hidup bahagia. Karena cinta dengan komitmen itu indah. Segmented.





1 comment :

  1. “You got it wrong. So did I. We both got it wrong.”

    ReplyDelete