17 April 2022

Movie Review: X (2022)

“Everybody likes sex. It's a gas. It's all disco.”

Di antara beberapa sub-genre horror maka slasher dapat dikategorikan merupakan satu di antaranya yang tidak ribet atau rumit dari segi konflik. Cerita biasanya akan langsung mempertemukan para penonton dengan sekelompok orang, baik itu secara langsung maupun lewat informasi koneksi di antara mereka, lalu setelah itu muncul sosok misterius dengan motif utama yang kerap mengundang tanya. Dari sana cerita akan bermain dengan formula hide and seek di mana sosok misterius tadi akan coba terus menguntit kelompok tersebut, sebelum pada akhirnya menghabisi mereka satu per satu, biasanya dengan menggunakan alat tajam dan berbilah. Terlihat sederhana memang, tapi pekerjaan yang harus dilakukan oleh sebuah slasher film sebenarnya tidak mudah. ‘X’: a fresh spin on the classic slasher formula with porn and torn.


Produser bernama Wayne Gilroy (Martin Henderson) tidak mau membuang waktu dan kehilangan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi film porno yang tengah populer di tahun 1979, fase awal Golden Age of Porn di mana film porno yang dibuat secara amatir saja bisa menghasilkan keuntungan finansial yang besar. Wayne ingin menciptakan gebrakan, itu mengapa ia merekrut filmmaker yang sedang naik daun, RJ Nichols (Owen Campbell) sebagai Sutradara dan Cameraman bagi film terbarunya, ‘The Farmer's Daughters’. Bersama RJ ikut serta kekasihnya, Lorraine (Jenna Ortega) yang bertugas mengawasi alat. Wayne Gilroy memang punya ambisi besar di film terbarunya tersebut, yang ia prediksi akan membuat popularitas Maxine Minx (Mia Goth) melambung tinggi.

Maxine merasa bahwa ia layak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi, tidak heran ia percaya sepenuhnya pada Wayne, kekasihnya. Di dalam rombongan itu ada pula Bobby-Lynne (Brittany Snow) dan Jackson Hole (Scott Mescudi), bintang porno yang juga sepasang kekasih. Destinasi mereka adalah kota Texas dan menuju sebuah peternakan milik Howard (Stephen Ure) dan Pearl, pasangan berusia lanjut yang menyewakan sebuah pondok dekat peternakan mereka kepada Wayne bersama rombongannya itu. Rencana yang Wayne susun tampak berjalan tanpa hambatan, hingga suatu ketika Pearl akhirnya bertemu dengan Maxine.

Sulit untuk tidak tersenyum ketika pertama kali membaca sinopsis film ini, karena ide yang coba disajikan oleh Sutradara dan Screenwriter Ti West di sini seperti tidak malu untuk bermain materi-materi klasik dan klise. Terlebih bagi mereka yang telah kenal lebih dekat dengan genre horor yang satu ini, beberapa judul film kemudian terlintas di mana posisi puncak jelas ditempati oleh Texas Chainsaw Massacre, one of the best and most influential horror films. Ekspektasi pun demikian, pada awalnya saya berharap setidaknya berbagai aksi pembunuhan yang jelas akan menjadi main dish itu hadir dengan dasar cerita yang menarik. Tidak perlu super kuat, tidak perlu pula ada emosi yang mumpuni di dalamnya, yang penting punya hubungan sebab dan akibat yang jelas dan tertata rapi sebelum babak eksekusi.


Itu mengapa saya terpukau dengan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh Ti West dan timnya di sini, ekspektasi saya tidak hanya sekedar tercapai saja tapi juga berhasil dilampui. Di luar dugaan saya Ti West sukses menyajikan kisah dengan staging yang tergolong kokoh untuk sub-genre ini, materi utama yang menjauh dari kerumitan justru membuat cerita jadi punya pondasi yang terasa kuat. Sederhana, para anak muda itu ingin membuat film porno di sebuah daerah terpencil tapi sayangnya tidak mengantongi "ijin" dari tuan rumah, and Ti West subtly manipulated circumstances in the environment with a design yang sangat kental dengan rumus khusus slasher film saat Golden Age mereka di tahun 1978 sampai 1984 yang lalu. Sexual pleasure terasa paling mencolok, menjadi pusat bagi stalk-and-murder sequences.

Tapi untuk tiba di sana Ti West membekali karakter antagonis dengan baik, memakai penyesalan akibat past wrongful action yang “menghidupkan” kembali antagonis untuk kembali beraksi. Bagian itu terselip manis di samping proses pembuatan film porno di posisi terdepan dan menjadi semacam homage kepada retro horror, begitu pula dengan visual yang grainy and calm dengan variasi format dari 4:3 ke 1.90:1. Score and sound juga oke, minimalis tapi sukses membentuk atmosfir creepy yang menarik, termasuk saat berurusan dengan usaha membuat penonton terkejut, jump scare klasik yang tidak terkesan murahan. Justru Ti West terus membuat penonton tenggelam dalam antisipasi, sejak awal bertemu peristiwa ganjil membuatmu excited menantikan apa yang akan terjadi atau menimpa enam orang anak muda itu.


Ada permainan tarik dan ulur yang dikemas rapi, seperti contohnya ketika Maxine Minx berkunjung ke rumah owner dan bertemu wanita tua tersebut. Adegan itu bisa saja digunakan oleh Ti West untuk mengeskalasi konflik sedikit lebih cepat, tapi ia justru mempertahankan tempo dan memilih bermain-main terlebih dahulu dengan upaya menggoda penonton. Menariknya tidak ada yang terasa mengganggu, justru dengan berjalan slowburn saya dibuat semakin penasaran dengan “ledakan” macam apa yang sudah dipersiapkan di babak selanjutnya. Ti West berhasil meramu kembali formula klasik itu jadi sebuah permainan dengan pola yang menyenangkan, terlebih dengan kemampuannya membuat saya merasa peduli dengan eksistensi beberapa karakter menggunakan kiasan visual, salah satunya karakter utama Maxine Minx.

Momen antara Maxine, danau, dan buaya itu adalah salah satu bagian dari film yang sukses membuat detak jantung saya berdetak sedikit lebih kencang. Begitupula saat Maxine Minx berlari dari rumah Howard dan kemudian disambut oleh suara kencang, padahal tidak ada ledakan di sana. Ti West piawai dalam membagi komposisi fokus di dalam cerita, kisah yang sejak awal didorong ke hadapanmu sebagai kegiatan produksi film porno itu justru menciptakan perpaduan yang menarik dengan misteri utama. Yang mereka produksi memang film porno, dan seperti jenis film tersebut pada umumnya maka line dialog berisikan berbagai kalimat dewasa tentang seks. Tapi entah mengapa tiap kali proses produksi itu maju satu langkah yang terngiang di dalam pikiran saya justru potensi ledakan yang berasal dari Howard.


Ti West cerdik, ia memisahkan dua bagian tersebut dari jenis visual tapi koneksi di antara mereka adalah yang satu melengkapi yang lain, di mana Daddy seolah-olah adalah Howard, si pria tua. Yang kemudian diselesaikan oleh slasher kills di babak kedua, tidak merata tapi jelas Ti West tahu apa yang penonton harapkan sejak awal. Ia juga mendapat keuntungan lebih dari upaya membangun karakter yang kuat di awal, antagonist cruel but also touching at the same time. Itu juga berpengaruh pada kualitas humor dari kru porno, sometimes nasty tapi tidak jatuh annoying, sebagai sebuah tim mereka terasa padat dan saling mengisi satu sama lain. Brittany Snow, Martin Henderson, Scott Mescudi, dan Owen Campbell membentuk karakter mereka dengan baik, Jenna Ortega bawa emosi yang cukup, sedangkan Mia Goth terasa kuat baik sebagai Final girl maupun Pearl lewat bantuan prosthetic makeup.

Overall, ‘X’ adalah film yang memuaskan. Menggabungkan beberapa elemen umum dari slasher film, dari pola, alat, dibantu karakterisasi yang oke serta pondasi utama cerita yang menarik, Ti West menyajikan kesan ganjil sejak awal dan lalu kemudian bermain “petak umpet” bersama para penonton. Klise? Murahan? Tapi demikianlah formula klasik slasher film dan alasan mengapa ‘X’ terasa impresif, karena Ti West berhasil meramu kembali formula klasik itu agar menghasilkan sebuah permainan dengan pola yang terasa menyenangkan untuk diikuti, sebuah tragedi yang berawal dari produksi sebuah film porno. A very well made love letter to the 70s/80s slasher film. Segmented.





1 comment :