24 February 2016

Review: The Survivalist [2015]


"How long have you been here?"

Pada awalnya saya mengira berdasarkan judulnya yang unik The Survivalist merupakan sajian bertahan hidup dari sekelompok orang dari bahaya yang datang mengancam dari luar. Zombie? Iya, dalam "wujud" manusia. Dengan tampilan minimalis dan lebih menitikberatkan keterlibatan penonton pada paranoia yang dialami oleh karakter, film yang disebut sebagai “Mad Max in the countryside” ini justru berhasil menjadi sebuah studi karakter tentang manusia yang tidak biasa, ia memberi penonton keheningan, ia memberi penonton kejutan yang menyegarkan, dan ketika dua hal itu bersatu tercipta sebuah thriller dengan permainan atmosfer cerita yang manis.

Setelah sebuah bencana ekonomi besar melanda Survivalist (Martin McCann) kini mencoba bertahan hidup di sebuah tempat terpencil di dalam sebuah hutan. Survivalist punya persediaan yang tipis untuk bertahan hidup, hal yang menjadi alasan mengapa ia menaruh rasa curiga ketika wanita tua bernama Kathryn (Olwen Fouere) datang meminta bantuan bersama dengan wanita muda yang ia sebut sebagai anak perempuannya, Milja (Mia Goth). Kathryn menawarkan Milja kepada Survivalist sebagai imbalan untuk memperoleh bantuan makanan dan tempat tinggal. Dengan enggan Survivalist menerima tawaran tersebut walaupun terus merasa curiga apakah dua orang asing itu benar-benar terdesak membutuhkan bantuan atau justru telah memiliki rencana lain. 



Kalau dilihat dari naskah memang The Survivalist terasa hening, dan itu menarik karena di awal ia menawarkan diri sebagai sebuah film sci-fi thriller, tapi nyatanya hal itu pula yang menjadi kelebihan dari film ini. Di debutnya sebagai sutradara keputusan Stephen Fingleton untuk menekan dialog dan lebih mengandalkan ekspresi serta suara alam dalam menebar thrill justru membuat The Survivalist sukses mencuri perhatian, terlebih dengan premis atau sinopsis yang terasa sederhana seperti cerita salah sebuah episode The Walking Dead. Karakter terisolasi dan tertutup dari dunia luar, narasi terus di set penuh misteri sementara konflik dimanfaatkan dengan efektif, dan yang terpenting satukan mereka dengan kesan “tertutup” sehingga terus melayang-layang tapi tetap menarik untuk dinanti.



Ya, itu pesona utama film ini, penonton tidak diberikan informasi yang gemuk baik itu dari latar belakang karakter, mengapa ia bisa terisolasi, kita hanya menangkap bahwa The Survivalist punya rasa cemas takut diserang dan dari sana muncul rasa ingin tahu tahu tentang karakter dan motivasi mereka. Cerita juga demikian, dari sebuah kejutan kecil di bagian awal kita dibawa menemukan ketegangan yang begitu fokus pada sebuah dunia kecil di masa apokaliptik tapi menariknya adalah perlahan film ini justru mengungkapkan isi dari cerita yang di awal tampak sederhana. The Survivalist ternyata usaha Stephen Fingleton untuk mengeksplorasi sifat manusia, menggabungkan pria dan wanita untuk bersama-sama mencoba menggambarkan dua sisi baik dan buruk yang dimiliki manusia.



Dibalik fokus yang menyorot kelelahan psikologis dan fisik di tengah kondisi buruk itu The Suvivalist ternyata mencoba membawa kamu melihat kehancuran yang dialami manusia sekarang ini. Karakter terus menciptakan kesan liar, setting mendukung citra “kotor” cerita, dicampur bersama rasa stress dan kecemasan karakter The Survivalist mencoba menjadi sebuah pemandangan brutal tentang peradaban manusia sekarang ini. Mengejutkan memang karena harus diingat kembali bahwa cerita berisikan dialog yang sangat minim, gerak karakter normal tapi selalu ada rasa tidak aman bagi karakter, ada ketegangan di mana seolah tiga karakter ini selalu siap untuk saling serang. Ya, keheningan membangun ketegangan dan kinerja visual dan tiga aktor memberikan emosi dengan resonansi yang untuk diamati selalu terasa menyenangkan.



The Survivalist ternyata merupakan sebuah kisah bertahan hidup penuh estetika tentang manusia, ada isu yang kaya dibalik keheningan dan permainan atmosfer cerita dengan sesekali kejutan brutal. The Survivalist dengan cara minimalis mencoba mengajak penonton melihat sisi buruk manusia menggunakan sifat dan hubungan antar manusia, berawal dari terisolasi hingga kedatangan dua orang asing yang menimbulkan pertanyaan dan membuat penonton menebak-nebak isi pikiran mereka. Materinya sederhana tapi Stephen Fingleton olah menjadi hal-hal menarik yang tidak monoton, ia dorong aksi menelisik sifat manusia seperti rasa percaya, sifat tertutup dan individualistis, kemurahan hati hingga empati bersama sebuah usaha bertahan hidup yang hening namun menghasilkan tensi dan paranoia yang manis. Stephen Fingleton, remember the name. Segmented.








0 komentar :

Post a Comment