18 May 2014

Movie Review: Nymphomaniac: Volume II (2014)


"Human qualities can be expressed in one word: Hypocrisy."

Sebut saja film ini merupakan korban yang tercipta dari hasrat luar biasa milik Lars von Trier pada topik kecanduan seks yang ingin ia angkat, begitu banyaknya materi yang ingin disampaikan hingga harus memecahnya menjadi dua bagian untuk menghindar dari salah satu kemungkinan terburuk yang dihasilkan oleh durasinya yang sangat gemuk. Yap, sebuah kisah berisikan tragedi pada seks ini masih bermain di pattern yang sama dengan babak pertamanya, lebih eksplisit, namun sayangnya tidak lebih baik. Nymphomaniac: Volume II, a frustrating sexual frustration(Warning: review contains (probably) strong image).

Babak kedua ini dimulai dengan Joe (Charlotte Gainsbourg) yang menceritakan kondisi dimana ketika muda ia (Stacy Martin) pernah merasakan frustasi karena tidak dapat memperoleh orgasme dari sosok yang ia cintai, Jerome (Shia LaBeouf). Hal tersebut semakin bertambah parah setelah ia melahirkan putra mereka, berupaya untuk membangun kembali kehidupan seks mereka seperti dahulu namun sayangnya ditolak oleh suaminya itu. Celakanya hasrat seks milik Joe jauh lebih besar ketimbang rasa cintanya pada Jerome, hal yang menjadikan ia mulai bergerak mencari solusi dari masalahnya tersebut.

Berbagai langkah berani diambil oleh Joe, dari seks random dengan seorang pria kulit hitam di tepi jalan yang tidak ia kenal sama sekali, kemudian mencoba terapi yang mengandalkan kekerasan milik pria bernama K (Jamie Bell), bergabung dengan sebuah grup yang beranggotakan para sex addict untuk bertukar pikiran, menjadi rentenir dibawah pimpinan L (Willem Dafoe), hingga menjadi mentor bagi wanita muda bernama P (Mia Goth), sebuah kombinasi yang memberikan ia rasa frustasi kumulatif, alasan dari bertemunya ia dengan Seligman (Stellan Skarsgård), pria yang duduk mendengarkan cerita miliknya.


Apa yang menjadikan babak pertama terasa menarik adalah bagaimana Lars von Trier mampu menyatukan berbagai misi yang ia miliki dalam sebuah penceritaan yang cukup mumpuni. Obsesi pada seks itu digambarkan dengan tepat, ada kekejaman yang dibentuk dengan rasa manis dan pahit yang pas, sisi erotis yang bergairah dengan sedikit bantuan emosi yang baik mampu mengajak penontonnya bermain-main dalam proses observasi pada salah satu sisi kelam yang dimiliki oleh manusia. Ya, pada babak pertamanya itu Lars von Trier berhasil menciptakan sebuah eksplorasi pada cinta dan seks yang lucu namun juga ekpresif. Nah, segala nilai plus itu tadi yang tidak memperoleh tempat di babak kedua ini.

Hasilnya, ini sedikit monoton. Berpindah dari karakter muda untuk kemudian dikendalikan oleh karakter tua, celakanya Lars von Trier tidak membawa hal baru kedalamnya, ia hanya mengulangi struktur pada babak pertama untuk membangun karakter tua menuju garis akhir yang telah ia tetapkan sejak awal. Obsesi pada seks itu memang ada, namun disamping itu tidak ada sebuah gerakan kompulsif yang menarik disini, sebuah aksi yang menjadikan penontonnya tertarik dan terus tertarik pada sebuah proses destruktif yang dialami karakter utama. Joe yang diperankan oleh Charlotte Gainsbourg disini tidak tampak seperti seorang wanita yang mendekat pada neraka yang menawarkan ia sebuah kehancuran karena frustasi pada seks, ia lebih seperti sebuah boneka kebingungan yang bergerak random.

Jika digabungkan menjadi satu kesatuan Nymphomaniac dapat dijabarkan sebagai sebuah bangunan yang harus selesai dalam durasi empat jam, berdiri kuat dan tampak manis dari luar ketika ia telah selesai setengah, namun kemudian mulai goyah oleh angin topan, tetap selesai dibangun namun hasil di separuh atas tidak sama manisnya dengan separuh dibawahnya. Di babak kedua ini Lars von Trier hilang dalam fantasinya, memang masih ada beberapa aksi filosofis yang menarik contohnya seperti “The Silent Duck”, namun selain itu tidak ada materi lain yang memberikan penjelasan menarik pada tema kecanduan seks yang ia bawa. Mayoritas kosong, seperti melayang-layang tanpa sensasi yang mampu membawa masuk provokasi kedalam cerita, manipulatif yang sayangnya dilakukan dalam sebuah kekosongan.


Yap, fokus yang kuat pada babak pertama pecah begitu saja di bagian kedua ini. Lars von Trier kehilangan sihirnya, ia tidak lagi menjadikan kecanduan pada seks itu sebagai sebuah misteri yang disetiap kemunculannya mampu mencuri atensi dan mulai menggantinya dengan melanjutkan proses analisis, dalam gerak liar bermain-main dengan cerita-cerita umum yang bergerak terlalu tenang tanpa kegelisahan yang memikat. Ia seperti ingin penontonnya mulai lebih fokus untuk mengamati dampak dan akibat pada moral terkait seksualitas yang telah dibangun dengan baik oleh babak pertamanya. Sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan kekuatan empati dan simpati yang mumpuni dari karakter kepada penontonnya sehingga sedikit sulit untuk klik dengan proses suram dari penyimpangan erotisme ini.

Mungkin saja ini memang telah di set oleh Lars von Trier untuk menjadi sebuah kesatuan utuh yang tidak terpecah, babak pertama sebagai build-up, dan babak kedua sebagai arena mengurai menuju konklusi, tapi sekalipun tidak dipecah menjadi dua tidak ada jembatan kokoh yang dapat menyatukan dua bagian itu, sehingga ada yang tertinggal di babak pertama. Salah satunya adalah kinerja divisi akting, Charlotte Gainsbourg mengambil kendali namun satu-satunya yang patut diapresiasi disini adalah sikap berani yang ia lakukan pada sisi “nudity”, dari emosi ia lemah. Bahkan ia kalah jika dibandingkan dengan Jamie Bell yang punya porsi lebih sedikit, sebuah kinerja yang mampu menggambarkan sosok sadis dan menyuntikkan sedikit rasa ngeri kedalam cerita.


Overall, Nymphomaniac: Volume II adalah film yang kurang memuaskan. Hal-hal yang menjadikan babak pertamanya terasa menarik hadir dalam kapasitas yang jauh lebih kecil bahkan beberapa diantaranya menghilang. Obsesi pada seks itu masih ada namun cara ia dibangun yang tidak mampu menyajikan sebuah hiburan yang sama baiknya dengan apa yang diberikan babak pertama. Kurang menyenangkan, terlalu tenang, minim emosi yang mampu membangun koneksi penonton dengan karakter lewat ironi, terus bergerak liar tapi dalam sebuah struktur yang tidak berhasil menciptakan sensasi yang kuat. Sedikit monoton.







2 comments :

  1. Wanita pecandu seks "nymphomaniac" .. ngeri juga yaah.. Ada gak film yang membahas tentang cara mengobati ejakulasi dini atau yang semacamnya gitu.

    ReplyDelete