29 January 2019

Movie Review: How to Train Your Dragon: The Hidden World (2019)


“It’s you and me, bud. Always.”

Sejak kemunculan mereka pertama kali di layar lebar pada tahun 2010 yang lalu, sosok Hiccup, Toothless, dan juga anggota lain the Vikings of Berk dengan sangat cepat hinggap dan menjadi favorit banyak orang. Pesona yang mereka punya sama impresifnya dengan kualitas visual yang memikat itu. Berkisah tentang tantangan dan perjuangan mewujudkan mimpi, petualangan telah tiba di babak akhir. How to Train Your Dragon: The Hidden World: a very compact and sensible goodbye.

Semenjak kehilangan sang Ayah, kini Hiccup (Jay Baruchel) menjadi pemimpin baru the Vikings of Berk. Bersama dengan sahabatnya seperti Astrid (America Ferrera), Gobber the Belch (Craig Ferguson), Snotlout (Jonah Hill), Eret (Kit Harington), Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishlegs Ingerman (Christopher Mintz-Plasse), serta sang Ibu Valka (Cate Blanchett), ditemani dengan sahabat setianya Toothless, Hiccup menjalankan misi untuk membebaskan para naga yang masih menjadi tawanan pada penangkap naga.

Celakanya hal tersebut membawa Hiccup dan teman-temannya bertemu masalah baru, yaitu Grimmel (F. Murray Abraham), seorang pemburu naga berdarah dingin yang cerdik. Sadar akan misi Hiccup yang ingin mencari jawaban atas mitos “Hidden World” yang dahulu diceritakan oleh sang Ayah, Grimmel juga paham bahwa Toothless memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan Hiccup. Grimmel menciptakan sebuah jebakan dengan menggunakan Light Fury, naga betina berwarna putih yang sukses membuat Toothless jatuh hati.


Pada chapter ketiga dari petualangan Hiccup untuk memimpin utopia di mana manusia dan naga dapat hidup bersama ini, sutradara Dean DeBlois tidak menghadirkan sebuah gebrakan baru yang besar. Perjuangan Hiccup ditemani Toothless dan juga teman-temannya kali ini sepintas akan tampak seolah tidak memiliki usaha untuk bergerak naik sangat jauh ke level yang lebih tinggi. Mengambil waktu satu tahun pasca film kedua yang penonton akan temukan secara garis besar memang masih sama, ditemani Toothless kini Hiccup yang masih gemar menyelamatkan para naga itu sekarang juga masih tampak ragu pada kemampuannya untuk memimpin kaumnya.

Ya, How to Train Your Dragon: The Hidden World dengan sangat mudah akan membuat penonton teringat kembali dengan dua film sebelumnya. Dari konflik di titik central cerita sebagai contoh, kita kembali menyaksikan Hiccup bertemu dengan villain utama yang seperti serupa namun tak sama dengan Drago Bludvist di How to Train Your Dragon 2, tokoh antagonis yang kemudian menempatkan Berk ke dalam situasi bahaya. Begitupula dengan elemen-elemen kecil lainnya, seperti humor yang seolah didaur ulang kembali dengan formula serupa untuk menemani narasi yang di terasa kurang inovatif.


How to Train Your Dragon 3 mendapat sedikit dampak negatif dari keputusan Dean DeBlois tadi, terasa similiar dan repetitif meskipun ada progress bagus pada karakter protagonis yang semakin dewasa begitupula dengan ambiance yang terasa lebih dark namun tidak “gloomy.” Tapi “setting” yang terasa familiar itu seolah seperti sebuah resiko yang diambil oleh Dean DeBlois. Dengan cepat dan mudah penonton merasa kembali “dekat” dengan Hiccup, Toothless, dan karakter lainnya. Dampak dari sana, ada kita merasa sayang dan peduli pada karakter dan juga konflik yang mereka hadapi, hingga pada akhirnya berbagai message itu hadir menyapa penonton.

Bersama humor yang subtle dengan berisikan aksi flirting yang oke, konflik dan goals pada cerita terasa jelas salah satunya ada sebuah kisah tentang tempat rahasia bagi para naga. Di sisi lain tantangan yang menghadang juga jelas, seperti love life antara Hiccup dan Astrid serta Toothless yang tertarik pada Light Fury. Dan dari sana Dean DeBlois kembali sukses menyajikan sebuah cerita dengan kualitas emosi yang cantik, bersama dengan flashback yang efektif berhasil membangun emosi penonton secara bertahap hingga bertemu puncak manis di akhir cerita. Uniknya, itu semua hadir dengan “appeal” untuk dikonsumsi oleh moviegoers semua golongan usia.


Itu hasil yang sangat baik mengingat cerita sendiri merupakan sebuah adult story dengan berbagai strong message. Ada isu tentang rasa takut kehilangan, sikap pantang menyerah, kisah Hiccup dan Toothless juga mencoba menggambarkan arti dari persahabatan dan juga cinta. Grimmel merupakan karakter antagonis yang oke namun spotlight justru tertuju pada persahabatan antara Hiccup dan Toothless yang sedang diuji, tersaji dengan depth emosi yang cantik namun ditemani dengan berbagai aksi gags yang tetap jenaka. Semua terasa padu, seperti sebuah tim yang kompak membentuk sebuah presentasi dengan komposisi yang terus menerus mendorong excitement naik, seperti halnya sektor visual.

Kualitas animasi dan visual How to Train Your Dragon: The Hidden World itu cantik. Scene pembuka merupakan sebuah aksi penyerangan bernuansa dark yang tersusun manis, kemudian penonton dibawa menyaksikan berbagai komposisi perpaduan warna yang memukau. Dari ketika karakter bermain dengan awan dan juga api dalam gerak cepat hingga detail ekspresi di saat mereka bahagia maupun sedih, ada rasa terjebak pada rasa kagum terhadap visual di layar, mereka terasa smooth dengan kualitas detail yang mampu menampilkan emosi karakter baik itu pada momen jenaka maupun momen bittersweet.


Overall, How to Train Your Dragon: The Hidden World adalah film yang memuaskan. Mengeksplorasi konflik antara cinta dan persahabatan dibumbui kisah kasih antara manusia dan juga para naga, How to Train Your Dragon: The Hidden World memang terasa seperti sebuah repetisi dari dua film sebelumnya. Namun itu keputusan yang tepat dari Dean DeBlois, seolah tampak tidak ambisius namun ia sukses mempertajam nilai-nilai penting yang selama ini menemani petualangan Hiccup, Toothless, dan the Vikings of Berk untuk kemudian menghadirkan sebuah finale yang terasa sangat kompak dan bijak, tentu saja kembali dengan ditemani breathtaking visual treat.








0 komentar :

Post a Comment