16 January 2019

Movie Review: Crazy Rich Asians (2018)


“Only a fool folds a winning hand.”

Rumit mungkin adalah satu dari banyak kalimat yang dapat digunakan untuk mengartikan makna dari kata cinta. Dari individu, sesama, kemudian jalinan asmara, bahkan ketika akan melangkah ke jenjang selanjutnya yaitu pernikahan, cinta seperti menjadi “spotlight” yang sulit untuk digeser dari barisan terdepan. Dibalik harta dan juga tahta, masihkah kekuatan “cinta” berada di posisi pertama? ‘Crazy Rich Asians’: a lovely and light-hearted love story.

Rachel Chu (Constance Wu), seorang Profesor ekonomi di New York University, merupakan wanita berdarah campuran Chinese dan America dan kini menetap di USA bersama ibunya. Suatu ketika ia akhirnya tiba di fase yang menjadi dambaan setiap wanita di dunia, perkenalan pertama dengan keluarga sang kekasih. Kekasih Rachel, Nicholas Young (Henry Golding) mengajak Rachel terbang ke Singapura untuk menghadiri acara pernihakan sahabatnya, Colin Khoo (Chris Pang) dan Araminta Lee (Sonoya Mizuno).

Menjalani kehidupan normal bersama di USA, Rachel dibuat terkejut ketika ia menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah sahabatnya di Singapura, Goh Peik Lin (Awkwafina). Bahwa pria dengan panggilan Nick yang selama ini menjadi kekasihnya ternyata merupakan anak dari salah satu keluarga kaya raya di seantero Singapura. Rachel tidak percaya bahwa selama ini ia menjalin kasih dengan pria dari high-society family, hingga ketika ia melihat langsung fakta tersebut, dan bertemu Ibu dari Nick, Eleanor Sung-Young (Michelle Yeoh).


Sangat mudah untuk menebak kemana cerita ini akan berakhir meskipun belum membaca novel dari Kevin Kwan yang menjadi sumber materi utama cerita. Script yang ditulis oleh Peter Chiarelli dan Adele Lim juga tidak mencoba menciptakan sebuah penceritaan yang rumit, tidak mencoba menghadirkan berbagai konflik polemik skala besar yang terasa berat. Mereka justru menciptakan sebuah arena bermain yang dapat dikatakan sangat predictable, namun dengan memanfaatkan “perbedaan” yang tercipta di antara dua karakter utama justru hadir sebuah kisah Cinderella dalam romantic comedy generic yang terasa asyik.

Sutradara Jon M. Chu membentuk sebuah kombinasi antara kisah klasik Cinderella bersama dengan feel dari Pretty Woman, premis yang klasik berhasil ia bumbui dengan baik bersama berbagai eksekusi yang terasa charming. Kisah yang tersimpan di dalam cerita ‘Crazy Rich Asians’ tidak sulit untuk ditemukan di berbagai film rom-com lainnya, namun yang membedakannya adalah di sini kisah yang klasik, klise, dan stereotip itu disajikan dengan semangat cheerful dalam kuantitas dan kualitas yang tepat. Hasilnya rom-com yang konvensional ini tidak hanya terasa segar, namun juga konsisten keeps engaging us.

Efek domino dari hal tersebut adalah penonton merasa seolah terlibat di dalam perjuangan yang harus dihadapi oleh Rachel, Nick, hingga Eleanor. Momen ketika mereka berdua bertemu atau berhadapan dengan berbagai isu yang datang menghampiri tidak hanya menjadi sebuah masalah yang sekedar harus dipecahkan, namun juga menjadi sebuah examination yang manis. Dari masalah kelas, lalu culture, hingga bagaimana proses mendapat “restu” dari calon mertua dan meyakinkan mereka bahwa dirimu adalah sosok yang tepat untuk anak mereka, itu semua dikemas dengan pendekatan yang jenaka namun tetap membuat pesona dari berbagai isu tadi bersinar dan mencuri perhatian.
Berisikan berbagai busana hingga perhiasan mahal, ‘Crazy Rich Asians’ memang memiliki beberapa bagian yang terasa sedikit “longgar”, namun bagian tersebut dapat ditutupi oleh berbagai momen penuh kegaduhan yang di sisi lain secara perlahan terus mempertajam berbagai pesan yang hendak ia sampaikan. Itu kejutan dari ‘Crazy Rich Asians’, dari cara kita memandang sesama manusia, sudut pandang yang tidak sama, perbedaan modern dan pola pikir konvensional, hingga bagaimana power yang dimiliki oleh sikap percaya, berusaha, dan tidak pantang menyerah, mereka “menggigit” dengan sangat cantik.


Ada konflik eksternal, ada konflik internal, dan dua hal tersebut berhasil dikombinasikan dengan baik oleh Jon M. Chu. Unsur budaya terasa kental di sini tapi tidak serta merta membatasi ruang bagi berbagai humor untuk beraksi, begitupula dengan berbagai momen lucu yang tidak membuat transisi tone cerita terasa kasar ketika kita bertemu dengan hal-hal yang lebih “dark” seperti heartbreak misalnya. Perpaduan ini yang membuat ‘Crazy Rich Asians’ terasa segar, kemampuannya untuk membuat penonton tertawa bahagia namun juga membawa penonton bermain dengan emosi dalam kadar yang pas.

Terlepas dari bagian directing, kinerja cast ‘Crazy Rich Asians’ juga punya andil sangat penting. Constance Wu membuktikan bahwa ia aktris yang capable dalam hal kontrol, Rachel terasa jenaka namun juga punya aura heroine yang aspiratif, membuat Rachel yang humble itu terasa sangat relatable. Henry Golding tampil oke sebagai Nick yang charming, sementara Michelle Yeoh berhasil membuat kesempatan yang ia miliki menjadi berbagai momen “juicy” yang memikat. Scene stealer ada pada Ken Jeong yang berperan sebagai Goh Wye Mun dan tentu saja Awkwafina yang sukses besar membuat setiap kehadiran Goh Peik Lin di layar merupakan momen yang sangat dinantikan. 


Overall, ‘Crazy Rich Asians’ adalah film yang memuaskan. It’s not “big”, namun Jon M. Chu dan tim berhasil menghadirkan sebuah update segar pada plot Cinderella ke dalam sebuah rom-com yang charming dan entertaining. Kombinasi seimbang antara humor dan heartbreak, ‘Crazy Rich Asians’ merupakan sebuah modern fairytale tentang bagaimana dibalik harta dan juga tahta masih cinta yang berada di posisi pertama. A lovely and light-hearted love story, yes, this movie will make you fall in love with romantic comedies again.








0 komentar :

Post a Comment