23 May 2014

Review: The Grand Budapest Hotel (2014)


"There are still faint glimmers of civilization left in this barbaric slaughterhouse that was once known as humanity."

Ketika selesai menyaksikan film ini ada satu pertanyaan aneh yang terlintas di pikiran saya, apa jadinya ya kalau Wes Anderson diminta untuk jadi sutradara film horror? Bisa atau tidak? Dia seperti punya aturan main bahwa filmnya harus colorful tentu saja dengan keunikan gambar simetris miliknya itu, tapi disisi lain ia juga ahli dalam menciptakan narasi yang tampak rumit bahkan kacau dan bergerak gegabah tapi dengan cepat mampu menjerumuskan penontonnya untuk terbuai kedalam mood dari imajinasi miliknya tersebut. Sebagai imajinasi terbarunya The Grand Budapest Hotel masih punya hal-hal tadi, keindahan yang rumit dalam petualangan yang bergerak cepat, super sweet and eye-catching a box of cakes. Two thumbs up.  

The Grand Budapest merupakan hotel megah di Republik Zubrowka, sebuah hotel yang menjadi kebanggaan negeri karena kualitas pelayanannya yang memuaskan, hal yang dapat terlihat dari kepala pengelola bernama Gustave (Ralph Fiennes) yang punya sikap ramah tingkat tinggi, bahkan bersedia melakukan hal ekstrim dengan melakukan hubungan yang lebih intim bersama tamunya semata-mata untuk menjaga koneksi. Hal itu suatu ketika membawa bencana bagi Gustave yang berasal dari pacarnya Madame D. (Tilda Swinton) yang mewariskan lukisan langka miliknya kepada Gustave. Hal itu membuat anak Madame D, Dmitri (Adrien Brody), marah dan kemudian mengirimkan J.G. Jopling (Willem Dafoe) untuk menangkap Gustave. Gustave meninggalkan kontrol hotel pada orang kepercayaannya, yang celakanya merupakan seorang lobby boy bernama Young Zero Moustafa (Tony Revolori).

Ini mungkin terasa membosankan bagi penonton yang mengharapkan sesuatu yang baru dari Wes Anderson. Ceritanya memang baru sih, tapi polanya itu yang tetap saja sama, namun apakah itu salah? Tidak, karena Wes Anderson kembali sukses menciptakan negeri dongeng miliknya yang sekarang mencoba untuk sedikit lebih dewasa meski tetap memakai karakter muda di pusat cerita, masih dengan memberikan sebuah kekacauan yang langsung menghampiri karakter utama, terbagi dalam tiga narasi dengan sedikit unsur caper didalamnya. Dari awal kita sudah dihajar olehnya, obsesi dengan gaya dan nada yang sama itu terus menyengat dan ia memberikan kecepatan dan ritme yang manis dengan kombinasi komedi, drama, romance, sampai tragedi yang menyenangkan. 

The Grand Budapest Hotel ini bukan cuma membuat penontonnya senyum-senyum sendiri karena warna-warna cantik dari set, kostum, dan juga sinematografi dengan gambar-gambar yang manis, tapi kita juga dibuat seolah sedang naik rollercoaster, cepat dan lambat, naik dan turun, ada sensasi yang menyenangkan. Mungkin kalau tidak dikendalikan akan banyak kata menyenangkan pada tulisan ini karena kalau di jabarkan secara sederhana selain rumit, mewah, manis, unik, aneh, berani, menyenangkan juga menjadi bagian besarnya, kenakalan sebuah fantasi yang liar dan penuh kejutan. Bukan cuma mata kita yang dibuat sibuk oleh Wes Anderson, ia juga menggunakan sedikit mindplay dalam cerita, cerita yang ditemani cerita lainnya yang tidak begitu rumit untuk memberi kesempatan dari banyak cameo hadir, seperti Bill Murray, Léa Seydoux, Jason Schwartzman, Owen Wilson, Bob Balaban, Tom Wilkinson, Tilda Swinton, dan Mathieu Amalric. 

Banyak sekali memang karakter didalam The Grand Budapest Hotel yang dapat mencuri perhatian, penuh sesak tapi ya tidak sampai mengganggu karena Wes Anderson berhasil menyusunnya dengan baik. Coba saja lihat posternya, ada sebuah bangunan seperti istana disana, seperti itulah kira-kira The Grand Budapest Hotel seolah menjadi rumah miniatur tempat dimana Wes Anderson mempermainkan karakternya seperti sedang bermain dengan boneka. Tidak semua karakter menarik jujur saja, beberapa seperti punya jiwa dan emosi yang seadanya saja, belum lagi beberapa dialognya ada yang terasa canggung, tapi hal minor seperti itu sulit sih untuk sampai terasa begitu mengganggu terlebih ketika mata dan pikiran kita sebagai penonton sudah sibuk dalam buaian petualangan sinematik yang cantik itu. 

Cantik adalah jawaban sederhana dari betapa bagusnya The Grand Budapest Hotel, membuat penonton terasa terombang-ambing, terbuai, dan pasrah tanpa perlawanan untuk terus ikut arus cerita. Bagian-bagian film seperti kompak untuk tampil cekatan, dari cerita, visual, hingga score Alexandre Desplat, akan tampak kompleks dan sesak namun terasa seimbang yang memberikan komposisi yang terasa pas untuk dinikmati penontonnya.

The Grand Budapest Hotel adalah kemasan campur aduk yang memukau dari Wes Anderson, imajinasi yang mampu membuat kita bertanya-tanya, visual yang terus memanjakan mata, akting yang efektif, humor off-beat liar yang memikat dan drama yang mudah dicerna, semua bersatu untuk menjadi sebuah petualangan rumit dan santai yang aneh, unik, cantik, manis, dan menyenangkan. Menyaksikannya ibarat sedang memakan beberapa kue berbentuk unik yang rasanya luar biasa nikmat sembari terus bergumam kata "enak". Can we call him Fantastic Mr. Wes A? 







0 komentar :

Post a Comment