10 February 2022

Movie Review: Moonfall (2022)

“We're not prepared for this.”

Masih ingatkah kamu dengan film ‘2012’? Rilis di tahun 2009 dan sukses memoles semakin mengkilap lagi fenomena 2012 yang ramai diperbincangkan kala itu, ‘2012’ mencatatkan kesuksesan komersial. Tidak heran memang karena saat itu isu bahwa pada tanggal 21 Desember 2012 akan terjadi kiamat akibat disebut sebagai tanggal akhir Kalender Hitung Panjang bangsa Maya sukses menghebohkan banyak orang. Seolah melihat celah, the master of disaster Roland Emmerich menciptakan ‘2012’ dan menstimulasi sudut pandang penonton terhadap penggambaran hari kiamat, rangkaian peristiwa seperti megatsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan banjir global. Kali ini dia kembali dan melibatkan salah satu teman baik bumi, yakni bulan. ‘Moonfall’: it’s on airplane mode.


Di tahun 2011 seorang Astronaut bernama Brian Harper (Patrick Wilson) bekerja di satelit dalam misi pesawat ulang-alik ketika segerombolan kawanan hitam misterius menyerang misi dan membunuh rekan satu kru-nya. Investigasi dijalankan dan tidak ada yang percaya pada penjelasan yang Harper berikan. Harper kemudian dipecat dan mulai kehilangan arah dalam hidupnya. Sepuluh tahun kemudian seorang ahli astronomi dan juga conspiracy theorist, K.C. Houseman (John Bradley) mendatangi Harper, sosok yang percaya bahwa bulan merupakan megastruktur buatan itu lantas menyampaikan sebuah berita mengejutkan.

Bahwa orbit bulan semakin mendekat ke bumi oleh kekuatan misterius dan sekarang mengancam akan menabrak bumi! Pada awalnya Harper tidak percaya dengan kabar dari Houseman tersebut sampai sebuah potongan raksasa dari bulan jatuh ke bumi, menciptakan gelombang pasang yang besar dan mengubur sebuah kota. Peristiwa tersebut membuat semua pihak mulai bergerak cepat, termasuk mantan kolega Harper, Jocinda "Jo" Fowler (Halle Berry) yang kini menjabat sebagai Deputy Director of NASA. Goals mereka adalah untuk mengembalikan orbit bulan ke posisi semula.

He strikes again! Di film terbarunya ini spesialis film bencana, Roland Emmerich kembali bermain dengan subject favoritnya yakni kehancuran bumi, sesuatu yang sebenarnya sukses membuat saya tersenyum saat tahu film ini akan eksis di tahun 2022, kerena otomatis ia akan rilis di masa pandemi COVID-19. Tidak bisa dipungkiri bahwa keterbatasan hiburan membuat banyak penonton sangat haus akan hiburan bioskop yang mampu memberikan mereka semacam “sweet and short escape” dari kesehariannya mereka, sebuah film yang menyajikan cinematic experience yang wow dan mengelegar. Tahun lalu ada ‘Dune’ dan contoh termudahnya tentu saja ‘Spider-Man: No Way Home’, tidak heran ketika tahu bahwa film Roland Emmerich akan rilis di bioskop maka antisipasi pun saya pasang. Meski saya sadar itu tidak boleh tinggi.


Untung itu yang saya lakukan karena kali ini Roland Emmerich simply got it wrong. Mungkin karena selama ini film-filmnya dianggap tidak punya script yang mumpuni sehingga bersama dengan Harald Kloser dan Spenser Cohen kali ini Emmerich coba mendorong ke hadapan penonton sebuah kisah yang proper, langkah yang mereka ambil adalah dengan menggabungkan bencana dengan konspirasi bernafas thriller. Tidak berhenti di situ, juga terselip family drama di dalam petualangan luar angkasa yang seolah ditempatkan untuk menambah kadar emosi cerita yang di sisi lain juga tidak lupa misi lain yang ia usung, yakni menjadi perpaduan survival thrillers dengan sci-fi epics. Sungguh komposisi yang terasa sangat potensial sebenarnya andai saja pengemasannya juga oke, sayangnya yang terjadi justru sebaliknya.

Di awal sebenarnya oke, Emmerich cukup oke membentuk komposisi dan bahan dari sebuah disaster film, template klasik yang berhasil menarik perhatian, yakni Ayah, anak, penyelamatan, dan malapetaka tiba. Sebuah temuan terkait bulan di sisi lain menjadi bahaya utama, memaksa karakter kemudian harus berpacu dengan waktu, apalagi di sini waktu yang tersisa bukan enam bulan melainkan hanyalah tiga bulan sebelum “tabrakan” itu terjadi. Jika arena bermain bagi cerita berhenti di sana maka presentasi film ini mungkin akan mampu tampil lebih baik, karena dengan demikian ada kesempatan bagi family drama dan sci-fi action itu untuk mengembangkan diri masing-masing dan menunjukkan kompetensi yang mereka miliki. Tapi sayangnya Roland Emmerich dan tim penulis tidak puas akan hal itu, bumbu lain pun masuk.


Sebuah fenomena luar angkasa yang misterius muncul dan membuat narasi menjadi semakin sesak, menemani beberapa konspirasi tentang bulan serta bumbu masalah di NASA. Tidak terbentuk koneksi yang menarik antara bumbu-bumbu tadi dengan fokus utama, yakni ancaman bulan yang akan menghantam bumi. The story takes a different path dan tiba di titik ketika mereka menjadi absurd dan tidak masuk akal, mungkin bisa diputar menjadi satire tapi celakanya Emmerich terus berupaya agar konflik yang bertebaran itu tampil dengan wajah serius sembari ia sibuk squeeze out as many emotional moments as possible. And there is a long wait for the moon. Semakin lengkap karena Emmerich sibuk membentuk berbagai potongan cerita di luar main threat dan lupa memoles tekanan dari senjata utamanya.

Kekurangan tersebut sebenarnya bagian tak terlepaskan dari popcorn cinema namun sangat disayangkan Emmerich tidak mampu menempatkan konsekuensi akhir yang menakutkan secara konsisten berada di posisi terdepan, at least seperti yang pernah ia sajikan di ‘2012’ misalnya. Tidak ada “clear line” pula di narasi dan membuat saya merasa bingung, bukan pada ekposisi cerita tapi pada apa yang diinginkan Emmerich untuk penonton rasakan. If no sense of threat arises, why should I be emotionally involved and even worry about the characters? Like nobody is seriously endangered here. Untung saja entertainment value ‘Moonfall’ mampu sedikit bergerak naik saat cerita telah berangkat ke luar angkasa, meskipun memang CGI kualitasnya terasa a bit too artificial at least visual memberi nafas segar ke dalam narasi.


Visual di babak akhir membuat ‘Moonfall’ terasa sedikit lebih atraktif walau memang tidak mampu membuatnya kembali ke orbit, apalagi setelah kejutan itu muncul dan melengkapi minus sebelumnya yang tercipta saat plot berkelok-kelok secara tidak seimbang. Di beberapa bagian saya kerap menggaruk kepala with disbelief karena meskipun telah “menepikan otak” sejak awal saya masih kesulitan untuk menikmati apa yang Emmerich coba sajikan, elemen dramanya jatuh dan terasa tanpa emosi sedangkan cerita terpinggirkan upaya menciptakan sensasi, yang kualitasnya juga tidak kuat. Andai saja Emmerich dapat menata lebih baik koherensi antar tiap bagian di dalam cerita mungkin premis yang epic itu bisa berakhir sebagai sebuah thriller sci-fi tentang bencana penuh konspirasi di kelas guilty-pleasure.

Overall, ‘Moonfall’ adalah film yang tidak memuaskan. Ekspektasi awal saya film ini akan mampu tampil seperti film terakhir Emmerich, yakni ‘Midway’ yang meskipun lemah di script tapi punya entertainment value yang menarik dan menghibur. Di sini Emmerich justru menggabungkan formula film bencana klasik dengan cerita yang benar aneh dan drama keluarga yang biasa-biasa saja serta bumbu thriller konspirasi tanpa taji, yang entah bagaimana seperti disatukan setengah hati sehingga tidak ada yang meninggalkan punch menarik, jatuh di antara terkesan klise dan juga aneh. Ia memang tetap menyajikan action-packed bombast of the sci-fi genre andalannya tapi sayangnya, tapi itu tidak cukup untuk mempertahankan ‘Moonfall’ agar tetap berada di orbit, lebih sering membosankan dan kehilangan kesempatan untuk menjadi sebuah disaster-guilty-pleasure with Emmerich signature.







1 comment :