11 January 2014

Movie Review: Blue Jasmine (2013)


"Some people, they don't put things behind so easily."

Sesungguhnya kita tidak selayaknya mengeluh pada setiap cobaan dan kesulitan yang kita alami, karena dibalik beban berat tersebut terdapat sebuah kekuatan yang menempa pribadi kita menjadi lebih kuat. Ya, kalimat klasik mengatakan anda akan semakin menghargai sebuah kenikmatan sekecil apapun jika anda pernah merasakan kegagalan, dan juga kehancuran. Penggambaran dari sistem tersebut yang coba dihadirkan oleh film ini, Blue Jasmine, when Cate Blanchett stole your attention for one and half hours.

Jeanette Francis (Cate Blanchett), kini telah merubah namanya menjadi Jasmine, tiba di San Francisco untuk tinggal sementara bersama saudara perempuannya, Ginger (Sally Hawkins). Alasan utama dari keputusan tersebut ternyata adalah sebagai upaya melarikan diri yang diambil oleh Jasmine paska runtuhnya pernikahan yang ia bangun bersama mantan suami, Hal (Alec Baldwin), yang terjerat sebuah kegiatan illegal, dan meninggalkan Jasmine dalam kemiskinan, tanpa rumah, tanpa uang.   

Pikiran yang kacau, bahkan ia terkadang sering berbicara sendiri, masalah yang dihadapi Jasmine tidak berhenti sampai disana. Jasmine dan Ginger, yang keduanya merupakan anak adopsi, ternyata memiliki selera yang tidak sama. Perbedaan tersebut yang kemudian bukan hanya menjadi penghalang niat utama Jasmine untuk mencari kedamaian sejenak, namun ikut menambah beban dari upaya yang telah ia susun untuk membangun kembali kehidupannya yang telah hancur.


Blue Jasmine adalah kemasan klasik yang bekerja sangat efektif dari seorang Woody Allen. Benar, klasik, tidak ada sesuatu yang benar-benar baru dari cara yang digunakan oleh Woody Allen dalam bercerita, sering terputus-putus dalam gerak mondar-mandir sebagai upaya kilas balik ke masa lalu yang coba suntikkan dalam menunjang cerita utama, hingga narasi tanpa tujuan yang kerap goyah pada ritme serta fokusnya. Namun kali ini Woody Allen memperoleh keuntungan yang sangat besar lewat kesuksesan dari karakter miliknya yang hanya ia lemparkan begitu saja bersama konflik sederhana.

Ya, dari sana Woody Allen mulai beraksi. Skenario yang sesungguhnya tidak begitu kuat dengan berisikan beberapa materi yang mungkin juga sudah terasa basi itu justru berhasil dibentuk dan diolah menjadi kemasan yang memikat. Semua berkat keputusan Allen yang terus menekan konflik utama dengan tema kerapuhan serta kehancuran itu agar tidak pernah hilang sebagai fokus dari aksi mengamati yang dilakukan para penontonnya. Dengan gerak cekatan studi karakter ini terhindar dari jeratan nafas murahan, berbagai materi klasik melakukan kombinasi untuk menyajikan sebuah petualangan dari kerusakan emosional yang memikat.

Yang menarik disini adalah Woody Allen mampu menghadirkan sesuatu yang kompleks hanya dengan hal sederhana. Tidak ada yang rumit dalam cerita, hanya pernikahan yang rusak, tapi dibalik itu ada keputusasaan yang begitu kuat berkat penggunaan yang efektif dari materi psikologi klasik, wanita yang sedih, putus asa, hingga depresi karena masih dihantui kenangan indah di masa lalu. Mereka kemudian dibalut dalam teknik bercerita yang menghadirkan dinamika cerita yang terasa hidup bersama kuantitas eksplorasi di tiap elemen yang efisien, sehingga konflik kecil terpapar dengan baik serta berfungsi dengan semestinya terhadap tema lainnya.

Blue Jasmine bukan hanya tentang wanita paruh baya yang terjatuh kedalam kehancuran, karena dibalik itu ada sebuah kritik terhadap politik dan sosial dengan nafas satir yang terasa tajam. Ya, ini adalah penggambaran yang kuat dan simple tentang gejolak yang terjadi jika seorang kaya harus jatuh miskin, mereka yang selalu hidup dengan dipenuhi kemudahan harus menghadapi berbagai kesusahan. Mereka ditampilkan secara implisit dalam kisah penuh keindahan empati yang berjalan paralel ini, bersama sinematografi klasik, dialog yang cerdas, karakterisasi yang kaya dan kuat, namun tidak overdo sehingga lelucon yang ia tampilkan tidak membunuh drama di posisi utama yang kali ini tampil serius minim bumbu romantis.

Keberhasilan Woody Allen dalam mempermainkan cerita menggunakan dramatisasi juga sangat sangat banyak terbantu berkat kegemilangan Cate Blanchett. Blanchett memberikan kinerja yang fenomenal, dari rasa hancur, sakit, hingga gelisah, mereka mudah dimengerti, semudah sikap arogan yang ia tampilkan. Tanpa sekalipun terjerat dalam kesan mellow, Blanchett berhasil menarik simpati sehingga penonton perlahan menjadi peduli dengan cerita. Begitupula dengan kinerja mumpuni dari Sally Hawkins, yang sebenarnya juga ikut menjadi objek studi karakter, dibantu penggunaan yang efektif pada pemeran lain, Alec Baldwin, Peter Sarsgaard, Bobby Cannavale, Louis C.K., Andrew Dice Clay, dan Michael Stuhlbarg.


Overall, Blue Jasmine adalah film yang memuaskan. Woody Allen berhasil mengolah formula standard yang ia miliki menjadi sebuah penggambaran yang sukses bercerita mengenai kehancuran memilukan tanpa menghadirkan tragedi, kemudian membungkusnya kedalam proses observasi yang tidak menaruh fokus pada plot, namun pertumbuhan kearah negatif dari karakter yang terus fokus memegang isu yang ia emban, dibantu dengan performa yang kuat dan memukau dari Cate Blanchett dan kinerja efektif pemeran lainnya.



1 comment :

  1. film yang menarik sebagai kritik sosial nih.
    Woody Allen emang jagoan laah bikin alur maju mundur~
    All the "happy ending movie" lovers will hate this movie tho. :)))

    ReplyDelete