10 January 2014

Movie Review: Dallas Buyers Club (2013)


"You need to enjoy your life, you only got one."

Jika anda dinyatakan secara medis telah mengidap suatu penyakit dan hanya punya waktu selama 30 hari untuk menikmati kehidupan, apa yang akan anda lakukan? Banyak yang mungkin akan memilih melakukan apa yang selama ini belum pernah mereka lakukan, ketimbang mencari jalan lain yang kemungkinan besar juga akan berakhir dengan kegagalan. Film ini akan menggambarkan sikap yang kedua, upaya pantang menyerah yang inspiratif, Dallas Buyers Club.   

Ron Woodroof (Matthew McConaughey) merupakan seorang cowboy rodeo dengan cara berpikir yang sangat konservatif. Memiliki jiwa yang bebas menyebabkan Ron hanya akan melakukan apa yang ia suka. Aksi menipu walaupun memiliki kenalan polisi bernama Tucker (Steve Zahn), menggunakan narkoba dosis berat, bercinta dengan berbagai wanita, sistem kehidupan itu masih terus ia terapkan bahkan ketika Ron telah dinyatakan mengidap AIDS oleh Dr. Sevard (Denis O'Hare) dan Dr. Eve Saks (Jennifer Garner).  

Divonis hanya dapat hidup 30 hari lagi, sikap keras kepala Ron hadir dengan menolak dirawat dan justru memilih menggunakan jalan lain, berawal dari upaya menggunakan AZT, sebuah obat yang masih dalam tahap percobaan dan belum mendapatkan lisensi dari FDA. Tidak sampai disitu, Ron bahkan mengambil resiko yang jauh lebih besar dengan ikut melibatkan dokter dari meksiko bernama Dr. Vass (Griffin Dunne) hingga seorang pria transgender, Rayon (Jared Leto).


Dallas Buyers Club merupakan film yang mencoba menginspirasi dengan cara yang tidak begitu konvensional. Ya, Jean-Marc Vallée dengan penuh percaya diri menggunakan formula yang dapat dikatakan sengaja ia lepas agar bergerak sedikit liar dan bebas untuk membangun cerita yang ditulis oleh Craig Borten dan Melisa Wallack dari kisah nyata seorang penderita AIDS bernama Ron Woodroof. Pesan utama ia simpan dibalik gelapnya cerita dan juga karakter, dari sana kita dibawa masuk kedalam petualangan berisikan perjuangan untuk mempertahankan hidup dari seorang pria bajingan yang secara bertahap berubah menjadi menarik.

Sesungguhnya tidak sesederhana itu, karena dibalik tema survival yang ia usung Dallas Buyers Club ternyata ikut serta membawa berbagai tema kecil lain untuk bermain didalam struktur yang ia miliki. Dari bahaya free sex dan narkoba, sikap pantang menyerah, hingga ikatan persahabatan, dengan sentuhan yang halus mereka kemudian masuk kedalam potret seorang karakter gelap yang perlahan tumbuh dan berkembang kearah positif bersama kerumitan dari ambiguitas terselubung. Ya, terselubung, karena dibalik apa yang ia tampilkan ternyata Jean-Marc Vallée menyimpan sebuah misi dengan nafas heroik yang sangat kental.

Ya, heroik, itu mengapa diawal saya menyebutkan ini adalah film inspiratif yang aneh, karena setelah larut dalam berbagai kekacauan yang ia ciptakan kita kemudian diberikan sebuah transisi secara perlahan menuju bagian yang lebih besar, kritik sosial. Hanya dengan menggunakan semangat dan kemauan yang luar biasa lewat sikap menolak untuk mati penonton akan sadar bahwa ini bukan hanya sekedar kisah untuk bertahan hidup, ada unsur lain yang bermain didalamnya melalui pergeseran plot dari kisah penderitaan menuju bisnis terkait politik serta pemerintahan.


Namun transisi itu pula yang menjadi penghalang dari potensi yang telah Dallas Buyers Club bangun untuk meraih puncak tertinggi. Penonton akan dibawa masuk kedalam sebuah pengulangan pola: menemukan jalan, mendapatkan hambatan, menemukan jalan lain, dan hambatan lain, minim pertumbuhan cerita. Tidak dapat dipungkiri anda akan tetap menaruh atensi, mereka masih kokoh dan terus menarik, namun hal ini sedikit menggerus dinamika mengasyikkan dan daya tarik serta menghalangi kekuatan dari emosi yang telah ia ciptakan sebelum berpindah dari ringan ke sedikit berat.

Sedikit disayangkan memang, karena walaupun terkesan sedikit bermain aman dibagian kedua baik itu dari sisi pergerakan cerita dan juga isu AIDS yang ia bawa, dengan cara yang cekatan Jean-Marc Vallée sesungguhnya sudah berhasil menawarkan sebuah kisah yang mampu menggambarkan dengan baik semua isu dari krisis di tahun 1985 itu, dari peraturan FDA hingga isu LGBT, mencampur nafas brutal penuh ambisi bersama sisi lucu dan terkadang menyentuh. Untung saja Jean-Marc Vallée mampu memanfaatkan dua senjata utama miliknya di divisi acting dengan, well, sangat baik.

Kinerja dari Matthew McConaughey dan Jared Leto menutupi nilai minus skala minor tadi. McConaughey tampil memukau, kedalaman karakter yang kuat, berhasil menampilan kompleksitas yang terus menarik atensi dan simpati dibalik sisi jelek dari karakter yang ia mainkan. Leto berhasil menghadirkan seorang pria gay yang terkepung dalam kompleksitas kehidupan yang ia hadapi, rasa takut, bingung, putus asa, semua ia tampilkan dengan sangat halus sehingga tragedi dan ironi skala kecil yang ia miliki itu mampu menyayat hati. Jennifer Garner juga sukses mencuri perhatian dengan penampilannya yang bersahaja sebagai seorang dokter.


Overall, Dallas Buyers Club adalah film yang memuaskan. Mampu mempertahankan konflik utama hingga akhir, menghadirkan transisi yang halus dalam pergeseran warna cerita, menyampaikan pesan yang ia usung tanpa terkesan menggurui, punya dua performa kuat di divisi akting, Dallas Buyers Club sukses menghadirkan sebuah drama mengasyikkan yang mencoba melemparkan isu kemanusiaan dengan cara yang bebas dan tidak sentimental. 



2 comments :

  1. Saya barusan aja mau liat filmnya, eh downloadnya gagal filenya korup.

    ReplyDelete
  2. Mantaapp thanks mas attas pemaparannya ,bermanfaat sekali bgi sya penggila film holyywoddd .. anjut trus mas .

    ReplyDelete