23 October 2014

Movie Review: The Book of Life (2014)


"Always play from your heart."

Film ini berhasil menjalankan tugas dasarnya sebagai sebuah hiburan animasi, memberikan pengalaman visual yang tentu saja menjadi faktor utama dan terpenting yang penonton cari, serta beberapa pesan tentang kehidupan, cinta, hingga sikap jujur juga tidak ketinggalan ikut menyemarakkan gambar-gambar indah yang memanjakan mata dan imajinasi itu, tapi sebuah sentuhan kecil menghalangi film ini untuk meraih potensi besar yang ia miliki sejak awal. The Book of Life, when stunning visual wounded by inconsistent story charms.

Sekelompok anak kecil yang baru saja turun dari bus itu mungkin tidak pernah menyangka pengalaman baru apa yang akan mereka peroleh dari wanita bernama Mary Beth (Christina Applegate). Mary Beth membawa dan memandu anak-anak tersebut pada sebuah buku bernama The Book of Life, buku yang menyimpan banyak legenda dan mitos dari berbagai penjuru dunia, dan pada kesempatan itu cerita diambil dari negara Meksiko, sebuah kisah cinta segitiga yang melahirkan sebuah perdebatan sederhana antara La Muerta (Kate del Castillo), penguasa dunia penuh kedamaian, dan Xibalba (Ron Perlman), penguasa dunia kegelapan yang terlupakan. 

Pada festival Day of the Dead, La Muerta dan Xibalba tertarik pada dua anak laki-laki, Manolo Sánchez, anak matador yang gemar bermain musik, dan Joaquín, anak yang bercita-cita menjadi pelindung San Angel seperti almarhum ayahnya. Kepribadian mereka berbeda, tapi mereka punya ketertarikan yang sama, yaitu María. Hal tersebut yang digunakan oleh La Muerta dan Xibalba untuk berkompetisi, masing-masing memilih satu jagoan, dan pemenang ditentukan oleh siapa diantara Manolo (Diego Luna) dan Joaquín (Channing Tatum) yang akan dipilih oleh María (Zoe Saldana) kelak ketika mereka telah dewasa.


Ketika ia telah berakhir hadir jawaban atas pertanyaan di awal pada betapa sempitnya hype yang film ini peroleh jika harus dibandingkan dengan beberapa film animasi lainnya di tahun ini. Ya, anda bisa bilang bahwa studio yang berada di belakang layar, Reel FX Creative Studios, faktanya memang selama ini belum pernah terlibat di kompetisi atau panggung yang lebih besar di dunia animasi, sehingga tidak heran ketimbang pengisi suara hingga konsep cerita dengan style Romeo and Juliet yang dibawa masuk kedalam fantasi kegelapan, nama salah satu produsernya Guillermo del Toro yang justru kerap kali mempertahankan daya tarik film ini sebelum ia dirilis. Dan benar saja, The Book of Life berhasil memberikan salah satu pengalaman visual mengasyikkan di tahun 2014.

Jika visual The Book of Life dirangkum dalam sebuah kata sederhana, energik adalah pilihan yang tepat. Ada semangat dan kehidupan yang seperti merayap kedalam mata hingga menuju imajinasi penontonnya, menyibukkan fantasi penonton dengan berbagai desain yang bukan hanya cantik namun juga mampu mengubah kesederhanaan yang mereka andalkan itu untuk tampak lucu namun juga elegan, memiliki kedalaman yang mengasyikkan ketika membawa penonton berputar-putar bersama tema kegelapan yang dicampur bersama elemen budaya dari Meksiko, dua bagian yang masing-masing terbentuk dengan manis lengkap dengan balutan musik yang catchy, cover lagu-lagu dari Elvis Presley, Radiohead, hingga Mumford & Sons yang mampu di blend dengan baik kedalam narasi, tampil dengan nuansa pop yang lembut tanpa harus kehilangan ciri dan makna versi original.


Jika kita berhenti di berbagai nilai positif diatas tadi, ini otomatis akan menjadi salah satu pesaing terkuat di sektor animasi tahun ini, tapi sayangnya itu akan tergerus jika anda merasakan nilai minus yang secara individual terasa minor, tapi ketika mereka bergabung memberikan dampak yang cukup signifikan. The Book of Life ternyata kurang berhasil menjadi animasi yang bukan hanya sekedar menyuguhkan visual feast belaka, karena ia kurang mampu bercerita dengan sama baiknya. Tidak dapat dipungkiri memang cara Jorge Gutierrez dan Doug Langdale menyusun alur cerita di bagian awal terasa kuat, mereka mampu memisahkan nada gelap dan terang, tema kematian juga berhasil dikemas untuk tidak terlalu gelap bagi penonton muda, dan itu sembari memegang teguh pesan terkait kasih sayang dan kejujuran yang ia bawa. Tapi setelah itu The Book of Life mulai panik.

Ya, plot dalam cerita memang mengalir tapi dalam kecepatan yang kurang halus dan tenang. Irama yang ia tampilkan di paruh akhir kurang lembut, cara imajinasi bermain di pikiran penonton bersama warna-warni neon itu sama seperti cara cerita menggerakkan masalah, terasa terlalu liar, terlalu sibuk menjejali layar agar berwarna dan tidak pernah kosong sama sekali. Hal ini yang terasa sedikit mengganggu, karena Jorge Gutierrez seperti tidak memperlakukan karakter sebagai sosok yang hidup dalam cerita, melainkan seperti boneka yang hanya perlu menyelesaikan tugas mereka, mulai dikebut menjelang akhir tidak peduli materi seperti lelucon yang ia suntikkan tidak memberikan hit yang menyenangkan. Hal tersebut bukan hanya menyebabkan goyahnya atensi penonton pada cerita dan karakter, tapi juga mematikan potensi besar dibalik konsep sederhana yang mereka sajikan itu.


The Book of Life dimulai dengan pintar dan indah, dan mereka juga tampak menjanjikan ketika menilik elemen budaya dan kehidupan yang ingin disampaikan, tapi setelah itu pintar dan indah tadi ternyata hanya tertinggal di sektor visual. Andai saja The Book of Life tidak mencoba terlalu keras untuk menjadi kemasan yang benar-benar komplit, sensasi mengasyikkan yang ia berikan mungkin akan tetap besar hingga akhir, bukannya justru mencoba menyampaikan banyak poin dalam cerita yang faktanya juga mayoritas tidak di eksekusi dengan baik. Titik lemah The Book of Life adalah ia kurang mampu menggabungkan hal-hal rumit dengan hal-hal konyol dalam komposisi yang tepat, mereka kerap kali terasa canggung, dan dampak negatifnya juga ikut merembes ke dalam karakter yang secara visual tampil cantik itu.

Sebuah kewajiban dari film animasi adalah ia harus punya sosok sentral yang benar-benar kuat, karakter yang mempesona dan akan dikenang lama. The Book of Life tidak punya itu, semua akibat gerak terburu-buru yang hadir setelah sesi awal yang menjadikan penonton mereka sulit merasa “dekat” dengan mereka. Keintimannya terasa kurang, saya merasa sulit untuk menyukai tiga karakter utama secara total, mereka pernah mempesona tapi sesekali juga terasa hambar. Begitupula dengan pengisi suara, sedikit yang benar-benar mampu memberikan emosi dengan hook yang kuat, Zoe Saldana dengan irama Spanyol, Channing Tatum yang mencoba arogan, mereka dalam level yang baik. Yang berbeda adalah Diego Luna, ia mampu menjadikan Manolo tidak pernah berhenti mencuri atensi utama penonton.


Overall, The Book of Life adalah film yang cukup memuaskan. Bukan sebuah animasi yang super standard memang, dan jika ekspektasi awal tidak begitu besar ini akan mampu memberikan rasa puas dengan kombinasi hal-hal aneh dan familiar itu, bersama dengan beberapa lelucon yang cukup oke dan tentu saja musik yang berhasil menjadi kekuatan mengejutkan. Tapi minus dari narasi menjadikan The Book of Life sempat terasa biasa-biasa saja di beberapa bagian dan mengagalkan potensi film ini untuk menjadi pesaing animasi terbaik tahun ini, kerap terasa liar dan terburu-buru sehingga tidak memberikan penonton alur dengan dinamika yang konsisten lembut serta menarik untuk menemani mereka menikmati sajian visual yang cantik itu.




0 komentar :

Post a Comment