26 September 2021

Movie Review: A Perfectly Normal Family (2020)

“I wish my dad was dead.”

Makna dari kata “normal” tentu saja berbeda-beda di setiap keluarga, ada yang biasa saja ketika sang anak melakukan aksi teasing kepada orangtuanya karena itu telah mereka anggap sebagai bentuk sayang, tapi ada pula keluarga yang sangat formal di mana ketika sedang makan tidak boleh terdengar suara saat alat makan bergesekan dengan piring misalnya. Di film ini ada sebuah keluarga yang tampak normal tentu sesuai standar yang mereka terapkan, seorang Ayah, seorang Ibu, dan juga dua orang anak perempuan, tapi hal yang membuat mereka menjadi “perfectly normal” adalah fakta bahwa keempat anggota keluarga tersebut memiliki jenis kelamin yang sama, yakni wanita. ‘A Perfectly Normal Family’ : cause he need “permission” to change.


Bersama dengan Istrinya, Helle (Neel Rønholt), seorang pria bernama Thomas (Mikkel Boe Følsgaard) membawa kedua putri mereka berkunjung ke sebuah toko binatang untuk mengadopsi anak anjing. Caroline (Rigmor Ranthe) dan adik perempuannya Emma (Kaya Toft Loholt) sangat senang ketika melihat anak anjing yang akan mereka adopsi, tapi mendadak Helle melangkah keluar dari toko yang kemudian disusul oleh Thomas. Mereka berdua menjauh dari toko tersebut dan ketika Caroline dan Emma mencoba menyusul keluar dengan langkah tegas Helle menginstruksikan kepada dua putrinya itu untuk masuk ke dalam mobil.

Mereka pulang dan batal membeli anak anjing, situasi ganjil tadi berlanjut di dalam mobil dalam perjalanan pulang ketika Thomas dan Helle hanya saling diam. Kejutan muncul ketika mereka telah tiba di rumah, acara makan bersama mendadak berubah penuh tangis saat Helle mengatakan kepada Caroline dan Emma bahwa Ayah mereka akan mengubah jenis kelaminnya menjadi wanita! Sebuah bom dengan ledakan telak yang menciptakan malapetaka terutama bagi Emma yang merasa sulit memanggil sang Ayah dengan nama baru, Agnete. Belum lagi setelah kejutan itu Thomas dan Helle memutuskan untuk bercerai.

Nama Caitlyn Jenner tentu langsung muncul ke permukaan ketika cerita yang ditulis Sutradara Malou Reymann bersama Rune Schøtt-Wieth dan Maren Louise Käehne itu telah tiba di momen saat rencana karakter utama Thomas terungkap, yakni untuk menjalani transisi gender yang mengubah peran gendernya dari seorang pria yang ia bawa dari lahir itu berubah menjadi seorang wanita. Yang menjadi masalah di sini sangat jelas, tentu Helle juga mengalami gejolak emosi yang besar atas keputusan Thomas itu namun situasi yang lebih sulit dan luka yang lebih menyakitkan mungkin dirasakan oleh kedua anak mereka, terutama Emma yang gemar bermain sepakbola dan "menolak" rencana ayahnya tersebut.


Yang menarik di sini adalah Malou Reymann tidak menaruh fokus untuk bertumpu pada proses transisi gender sang Ayah dari Thomas menjadi Agnete melainkan pada gejolak emosi yang terjadi di dalam diri anak bungsunya, Emma. Jelas seperti ada special bond antara Emma dan Thomas, mereka sama-sama menyukai sepakbola dan tidak heran jika perlu waktu bagi Emma untuk berproses dengan perubahan yang dilakukan oleh sang Ayah. Kita bisa lihat ekspresi awkward ketika Agnete memeluk Emma termasuk ketika Emma menolak tawaran Agnete untuk mengantarnya ke pertandingan sepakbola, rasa bingung seperti berkecamuk di dalam pikiran Emma tentang bagaimana ia harus menyikapi keputusan sang Ayah.

Gejolak yang terasa sangat normal karena jika berada pada situasi serupa saya rasa belum tentu orang yang jauh lebih dewasa dari Emma akan mudah menyikapinya dengan tentang dan sabar. Kita bisa lihat Helle sebagai contoh, kecewa bercampur sedih karena keputusan Thomas itu mengguncang keluarga yang selama ini tampak harmonis itu, kesan loving family yang bisa kamu saksikan lewat berbagai potongan video lama yang terselip di antara konflik present time yang sedang bergulir. Yang menjadi masalah di sini meski Thomas telah berubah menjadi Agnete keluarga itu tetap saling menyayangi satu sama lain, membuat Emma bingung dengan situasi di mana ia melihat sang Ayah berubah tidak hanya fisik namun juga kepribadiannya.


Scarf warna pink, tentang sepakbola, itu beberapa peluru yang digunakan oleh Malou Reymann untuk semakin “membakar” gejolak emosi di dalam diri Emma, rasa sakit yang semakin berkembang dan semakin terasa nyata. Kamu dibuat ingin memeluk Emma, menyaksikan ia berjuang mengatasi hidup baru di dalam keluarganya yang tentu saja dari sudut pandang atau perspektif remaja berusia 11 tahun. Script manis dalam melakukan tackle terhadap isu transgenderisme itu tapi di sisi lain menaruh empati dengan kualitas yang unik, eksis meskipun mendorong karakter yang egois dan tidak mudah untuk mendapatkan simpati dari penonton. Apalagi ketika tahu bahwa perjuangan Thomas bukan fokus utama cerita.

Malou Reymann mensiasati hal itu dengan cara menjaga agar penonton tetap merasa dekat dengan karakter Emma, ia menggunakan penggambaran visual yang terasa seolah tidak ingin terlalu sering berlama-lama membuat kamu dan Emma terasa jauh sehingga terus menekan kesan intim yang sudah dibangun sejak awal. Yang menjadi masalah di sektor ini justru peran dari flashback video itu, meskipun kita tahu eksis untuk mencoba menunjukkan kesan positif di dalam keluarga itu sebelum kejutan tiba namun terkadang kemunculannya mengganggu dinamika narasi yang berjalan tanpa ambisi yang besar. Repetitif, sama seperti pola berjalannya konflik yang maju dan mundur perihal acceptance terhadap Agnete.


Script manis namun lebih condong mencoba memberi ruang bagi karakter untuk memoles konflik di dalam diri mereka masing-masing. Hal tersebut membuat cerita terasa normal dan tidak spesial tapi di sampingnya ada pertunjukkan sandiwara di mana karakter Emma berjuang untuk menerima perubahan di dalam keluarganya, berusaha untuk tetap menganggap keluarganya tetap sebuah keluarga yang normal. Mikkel Boe Følsgaard tampil baik memerankan karakter Agnete, peran Ayah namun juga “wanita baru” berhasil ia kombinasikan dengan baik. Tapi bintang di sini jelas Kaya Toft Loholt, authenticity dengan layer yang sangat baik membuat perjuangan Emma untuk menerima perubahan terasa memilukan saat diikuti.

Overall, ‘A Perfectly Normal Family (En helt almindelig familie)’ adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah debut penyutradaraan film layar lebar yang menarik dari  Malou Reymann, tackle terhadap isu sensitif dengan memutar fokus dari perspektif  anak kecil yang panik dan terisolasi dalam diam ketika sang Ayah ingin berubah menjadi wanita. Sometimes it lack of tension tapi dengan bertumpu pada eksekusi halus film ini mampu menjadi sebuah acceptance story yang mengikat atensi dan juga simpati dari penonton terutama terhadap Emma, yang dibentuk dengan sangat baik oleh Kaya Toft Loholt sehingga membuat beberapa kelemahan film ini dapat dimaklumi. Segmented.






EOS 2021

1 comment :

  1. “You don’t know who people are until you get to know them.”

    ReplyDelete