26 September 2021

Movie Review: I Never Cry (2020)

“You have to bring him home.”

Ketika telah menjadi orangtua maka di situlah kamu lebih mudah untuk menghargai perjuangan yang pernah dan masih dilakukan oleh orangtuamu untuk mendidik dan membesarkanmu. Karena terkadang hidup dapat berjalan tidak sesuai dengan yang kamu harapkan, ketika kecil dulu kamu akan marah jika permintaanmu tidak dapat dipenuhi oleh orangtuamu, beranjak remaja menuju dewasa semakin mudah bagimu yang kini mulai merasakan kebebasan berekspresi itu untuk merasa benci dengan orangtua yang tentu tetap ketat mengawasi langkahmu. But no one told you life was easy. ‘I Never Cry’ : sometimes it takes a death to understand a life.


Ola Hudzik (Zofia Stafiej) merupakan remaja yang tidak lama lagi akan melepaskan statusnya itu dan masuk ke dalam fase kehidupan selanjutnya, yakni menjadi orang dewasa. Buktinya Ola sudah boleh mengikuti ujian mengemudi untuk mendapatkan lisensi meskipun celakanya ia kembali gagal setelah sebuah insiden terjadi ketika ia sedang menjalani ujian di jalan raya. Ola gagal karena tidak mampu mengendalikan emosinya dan ketika ia telah “meledak” maka Ola akan langsung mengambil rokok dan menghisapnya dengan cepat. Jelas Ola kesal karena jika ia berhasil mendapatkan lisensi ijin mengemudi maka sang Ayah berjanji akan membelikannya mobil.

Ola sendiri tidak yakin sang Ayah akan mampu membelikannya mobil, dan faktanya memang sang Ayah tidak bisa. Bersama dengan Ibunya (Kinga Preis) and her disabled brother suatu hari sebuah panggilan telepon masuk, mengabarkan kepada mereka bahwa sosok Ayah yang selama ini absen di dalam kehidupan Ola ditemukan tewas di dalam sebuah kecelakaan di proyek tempat ia bekerja. Sang Ayah meninggalkan Polandia untuk bekerja di Irlandia, dan kini Ola diminta oleh Ibunya untuk pergi ke Irlandia dan membawa pulang jenazah sang Ayah ke Polandia. Wanita dengan jiwa pemberontak bernama Ola itu dipaksa masuk ke dalam ujian hidup lainnya. 

Growing up is a tearful business, dan itu adalah fakta yang benar adanya. Terkadang manusia memang butuh jatuh dulu dan merasakan sakit untuk dapat belajar serta tumbuh menjadi semakin kuat, sebuah isu klasik dan sederhana yang coba dipakai oleh Piotr Domalewski. Karakter utama ditempatkan di dalam sebuah misi sehingga tidak heran jika di sini Sutradara dan Screenwriter Piotr Domalewski membuat narasi seperti berjalan dari babak satu maju ke babak lainnya. Berbagai rintangan lantas hadir di sana dan misi yang awalnya tampak tidak terlalu rumit itu justru membawa Ola ke dalam sebuah proses di mana ia mulai “mengenal” sang Ayah yang notabene sudah meninggal dunia tersebut.


Yang jelas menjadi sorotan di sini adalah bagaimana hati dan emosi seorang anak perempuan yang dengan lantang mengatakan tidak akan pernah menangis itu lantas terbelenggu di dalam perasaan sedih ketika ia mulai mempelajari apa yang mendiang Ayahnya lakukan di Irlandia. Narasi sendiri dipenuhi dengan rintangan yang oke, dari yang terbesar tentang uang dan kewajiban Ola untuk membawa jenazah sang Ayah secara utuh kembali ke Polandia, sang Ibu meminta bukan dalam bentuk abu hasil kremasi yang sebenarnya dapat menekan biaya menjadi lebih murah. Hospital, funeral home, consulate, that's the order bagi Ola yang emosinya tampak labil itu, wanita muda yang gemar merokok dan bergaya hidup sangat bebas. 

Ola terus dirundung emosi dan diposisikan oleh Piotr Domalewski layaknya sebuah balon yang terus diisi dengan masalah di mana gesekan kecil dapat membuatnya meletus kapan saja. Hal yang saya nantikan sejak awal. Emosi yang bermain di sini, meskipun narasi tampak tidak memiliki urgensi yang tinggi namun di dalam diri Ola penonton dapat melihat rasa kesal yang sejak awal keberangkatan ke Irlandia sudah lahir kemudian berkembang menjadi semakin besar. Ola sendiri merupakan karakter yang menarik sejak perkenalan awalnya dengan penonton, wanita muda yang gagal mendapatkan lisensi ijin mengemudi itu merupakan tipe manusia yang tidak suka gagal jika memang bukan dia yang salah.


Hal tersebut ia bawa ke Irlandia, mengurus proses memulangkan jenazah sang Ayah yang selama ini seperti sosok “asing” baginya di sana Ola lantas bertemu dengan beberapa sisi lain dari kejamnya dunia. Selain terus “membelenggu” karakter Ola dengan tekanan perpaduan emosi dan amarah di sini Piotr Domalewski sebenarnya juga menyelipkan penggambaran pada kisah para imigran, menyoroti masalah seperti eksploitasi jam kerja serta kurangnya asuransi pekerja, tapi tidak ada upaya ekplorasi yang lebih jauh di sana. Efektif bagi konflik utama untuk mendorong kesan satire yang coba ditampilkan, menarik empati penonton tapi tidak mempersilahkan mereka untuk berinvestasi terlalu jauh. Mengapa?

Karena Piotr Domalewski sepertinya tidak ingin cerita jadi melebar terlalu luas, ia ingin fokus pada bagaimana Ola akhirnya “belajar” tentang makna bertumbuh dari remaja menjadi dewasa. Menarik melihat Ola akhirnya belajar setelah membangun “hubungan” dengan sang Ayah yang telah meninggal, mencari dan lantas merangkai tiap potongan yang ditinggalkan oleh mendiang Ayahnya, dari sana ia memahami makna dari hidup dan orang-orang yang ia sayangi di dalam kehidupannya. Belum tentu Ola akan selalu mampu mengatasi masalah nantinya tapi at least ia kini telah “mengerti” lewat perjuangan mendiang sang Ayah setelah dipaksa untuk merasakan babak awal proses bertumbuh menjadi dewasa yang akan menguras banyak keringat dan juga air mata itu.


Fokusnya terus tertuju ke sana dan dibentuk dengan baik oleh Piotr Domalewski, tampak seperti sebuah misi pencarian sederhana tapi memiliki bobot emosi yang baik dan juga terkendali. Dramatisasinya memang tidak menimbulkan ledakan tapi Piotr Domalewski menunjukkan kepiawaiannya lewat sensitivity yang ia suntikkan ke dalam narasi, ada kesan mature di sana sama seperti kinerja akting Zofia Stafiej terhadap karakter Ola. Rokok itu seperti sahabat karibnya tapi Ola yang “terjebak” di dalam situasi serba sulit di Irlandia akhirnya belajar dan mampu untuk tidak lari dari masalah dengan cara menghisap rokok. Debut sebagai pemeran utama berhasil digunakan oleh Zofia Stafiej untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam membentuk karakter Ola menjadi sosok yang mature but also moving at the same time.

Overall, ‘I Never Cry (Jak najdalej stad)’ adalah film yang cukup memuaskan. Kadang lebih mudah untuk memahami dan mempelajari sesuatu ketika kamu dilempar ke dalam sebuah masalah berat yang lantas memaksamu mencari jalan dan solusi bagi permasalahan tersebut. Dan di sini Piotr Domalewski menampilkan penggambaran manis tentang growing up and also understanding a life dengan menempatkan Ola sebagai karakter utama di dalam misi yang rumit, tidak hanya dari sistem birokrasi saja namun juga kenyataan pahit lewat sosok Ayah yang selama ini asing baginya tapi justru kini memiliki koneksi dengan Ola ketika ia telah meninggal dunia. Being an adult is such a great responsibility. Dan fyi, ini drama komedi. Segmented.






EOS 2021

1 comment :