17 December 2012

Movie Review: House at the End of the Street (2012)


Salah satu tema favorit saya pada film dengan genre horror adalah rumah kosong yang menyimpan sebuah misteri. Tidak bisa dipungkiri itu adalah salah satu jurus paling ampuh untuk menakut-nakuti anda, yang sejak awal mungkin sudah cemas duluan dengan setting latar yang ia miliki. House at the End of the Street, adalah salah satu film horror yang saya nantikan ditahun ini, dengan ekspektasi yang cukup besar untuk dapat menakut-nakuti saya.

Bukan hanya karena tema yang angkat film ini menjadi menarik bagi saya. Ya, tentu saja karena kehadiran Jennifer Lawrence, salah satu calon bintang besar dunia perfilman di masa depan. Kali ini Lawrence berperan sebagai Elissa, mahasiswa yang gemar bermain band, baru saja pindah bersama Ibunya Sarah (Elisabeth Shue). Mereka tinggal disebuah rumah bergaya klasik, berada di lingkungan dengan tetangga yang semuanya friendly, kecuali satu tetangga di sebuah rumah kosong, yang berada setelah rumah mereka.


Rumah itu menyimpan misteri, dimana pernah ada seorang gadis kecil membunuh kedua orang tuanya. Akibat insiden tersebut, Ryan (Max Thieriot), satu-satunya anggota keluarga yang masih hidup, mendapatkan perlakuan yang kurang bersahabat dari lingkungan sekitarnya. Hal tersebut mengundang rasa penasaran Elissa, perlahan mencoba berteman dengan Ryan, jatuh cinta, namun tidak menyadari bahwa ada sebuah bahaya yang siap menerkamnya.


House at the End of the Street (HatES) mengusung sebuah konsep klasik yang bagi beberapa orang akan terasa menjemukan. Masalahnya, saya suka konsep klasik tersebut, dan saya suka dengan premis cerita yang dibuat oleh Jonathan Mostow. Seorang ibu dan anak perempuannya yang terjebak dalam sebuah permasalahan yang berasal dari sebuah rumah yang misterius, standar tapi tetap mampu mengundang rasa penasaran. Namun, itu hanya sebuah awal manis yang dimiliki film ini.

Setelah perlahan film mulai bergerak, anda yang menaruh harapan pada film ini akan berubah seolah ingin berteriak “what the bla bla bla!!!”. Ya, HatES perlahan mulai hancur dari segi cerita. Ceritanya bergerak terlalu cepat, tidak memberikan waktu bagi misteri yang ia ciptakan untuk tumbuh dan berkembang, yang pada akhirnya tidak sedikitpun mampu membuat saya merasa ikut takut.

Tentu saja akan mudah memaafkan sebuah film horror yang tampil dengan cara  klasik, tapi mampu dibentuk menjadi unik, dan berhasil menakut-nakuti anda. Celakanya, HatES tidak mampu dalam hal tersebut. Misteri dari premis yang sesungguhnya cukup menarik perlahan terasa terlupakan seiring cerita berjalan. Ya, saya sampai tidak begitu perduli dengan kejadian aneh lampu di rumah kosong itu yang secara tiba-tiba hidup sendiri dimalam hari.

HatES mencoba untuk tidak terlalu berbasa-basi dari segi cerita, langsung menyampaikan point-point dari bagian cerita yang ia miliki dengan cepat, tapi tidak berhasil meninggalkan kesan di mayoritas bagian ceritanya. HatES mencoba untuk tampil misterius dengan seorang pria yang tinggal di sebuah rumah kosong, tapi gagal. HatES mencoba sedikit serius dengan konflik tentang ibu-anak serta cinta antara dua karakter utamanya, sayangnya terasa datar. HatES berupaya untuk memberikan suasana santai dengan karakter pendukung yang menggoda, kembali gagal. Dan bahkan saat ia mencoba tampil seksi lewat Lawrence seperti ketika membiarkan wajahnya tetap dibasahi dengan air hujan meskipun telah berada didalam mobil, itu juga gagal, bahkan terkesan konyol.


Terlalu kasar bagi saya untuk menunjuk Jonathan Mostow sebagai sumber dari hancurnya film ini. Cerita yang ia susun memang standar, namun memiliki konsep menarik yang disusun dengan rapi oleh Mostow. Celakanya itu tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh David Loucka, dan semakin diperparah oleh Mark Tonderai yang tampak tidak ingin mengulur terlalu banyak waktu disetiap bagian cerita. Screenplay yang dimiliki oleh film ini terasa sangat kaku, terutama pada cara ia memasukkan konflik pendukung skala kecil kedalam cerita, dan mengakhirinya dengan sangat lemah. Ya, mereka datang, kemudian pergi dan meninggalkan sebuah pertanyaan dalam pikiran anda, "so what?".

Ada beberapa momen yang mampu membuat anda untuk cemas sejenak, namun tidak mampu menutupi kekecewaan besar yang telah tercipta. Sebuah rumah di ujung jalan, tentu saja sebuah judul yang sangat menarik dengan sebuah misteri yang mengundang pertanyaan. Tapi sayangnya misteri itu sudah dibuka sejak dini, dan yang tersisa hanyalah apa yang akan terjadi pada karakter utama dari ancaman wanita muda yang gila. Ya, misteri dari rumah itu hilang. Memang akan ada sebuah twist yang hadir di bagian akhir cerita, tapi bagaimana film ini dibentuk sebelumnya menjadikan kehadiran twist tersebut terasa datar, tidak ada shocking moment yang tercipta.

HatES jelas akan sangat dapat di maafkan bagi mereka yang merupakan die-hard fan dari Lawrence, mereka yang mengagumi Lawrence sejak ia debut. Tapi tidak bagi saya. Tanpa memperhitungkan Silver Linings Playbook (yang belum saya tonton), ini adalah sebuah noda bagi Lawrence di tahun 2012, setelah ia buka dengan manis di The Hunger Games. Ya, noda, bukan karena ia bermain buruk, namun karena film yang tampil buruk. Dengan materi yang sangat kurang, Lawrence mampu sedikit memberi nafas pada HatES. Tidak terbayangkan apa jadinya film ini tanpa Lawrence.


Overall, House at the End of the Street adalah film yang sangat tidak memuaskan. David Loucka kembali menjadikan film bertemakan rumah yang penuh misteri menjadi hancur berantakan. Hmmm, ini ibarat Dream House-nya tahun 2012, konsepnya menarik, di isi bintang utama yang mampu membuat anda semakin penasaran, namun akhirnya meninggalkan kekecewaan besar ketika credit bergulir diakhir film. Tidak ada momen yang mampu memenuhi standar “menakutkan” bagi saya. Tonton HatES jika anda hanya ingin menyaksikan Jennifer Lawrence, namun jangan apabila anda mencari film horror yang mampu menakut-nakuti anda.

Score: 3,5/10

0 komentar :

Post a Comment