20 January 2022

Movie Review: The Humans (2021)

“The horror stories for the monsters are about humans.”

Why do so many family fights occur on Thanksgiving? Salah satu pertanyaan yang sangat menarik sekalipun ditarik lebih luas lagi konteksnya, yakni mengapa liburan keluarga kerap menjadi tempat terjadinya pertengkaran di dalam keluarga? Hal itu seperti sudah menjadi rahasia umum dan membuatmu telah mengantisipasi potensi kemunculannya, keluarga yang telah terpisah jarak dan waktu kemudian berkumpul dan saling bertukar cerita, tawa dan canda. The problem is: everyone wants to say something, but not everyone wants to hear or even care about others' stories. Apalagi ketika perbincangan melibatkan emosi yang berubah bentuk menjadi amarah akibat kata yang terucap keluar dari ranah “lumrah.” Because families are complicated and there are always little things! ‘The Humans’: a horror in disguise, one of the most disturbing family drama I've ever watched.


Pria bernama Erik Blake (Richard Jenkins) sedang berkeliling melihat rumah yang masih tampak kosong, a duplex house di pusat kota Manhattan yang baru diambil oleh anak perempuannya Brigid (Beanie Feldstein). Barely-furnished, tempat tinggal barunya itu memang belum beres ditata oleh Brigid bersama pasangannya Richard (Steven Yeun) tapi bukan berarti mereka tidak sempat untuk mempersiapkan acara Thanksgiving yang akan dirayakan oleh keluarganya di sana. Anggota keluarga tiba dengan gembira di dalam tempat tinggal yang benar-benar belum sama sekali diberi penyegaran oleh Brigid dan Richard, mereka berkeliling sembari berbincang santai.

Erik yang tampak ingin mengenal tiap sudut tempat tinggal baru anaknya itu yang sulit untuk mendapat sinyal seluler, mulai berkeliling sendiri ketika Aimee (Amy Schumer) mengantar sang nenek Momo (June Squibb) yang menggunakan kursi roda menuju toilet. Hal yang sama dilakukan oleh Deirdre (Jayne Houdyshell), Istri Erik dan Ibu dari Aimee serta Brigid, berkeliling seolah sedang melakukan inspeksi. Satu kesamaan bahwa Erik dan Deirde merasakan ada aura ganjil di dalam tempat tinggal anak mereka itu, mysterious things yang ternyata justru terjadi ketika keluarga telah selesai makan bersama, ketika tensi mendidih dan mengusik rasa takut tiap anggota keluarga.

Ada satu hal mencolok yang mungkin akan langsung mencuri perhatian penonton, yakni kondisi apartement baru milik keluarga Blake yang terasa tidak sempurna. Itu bisa kamu lihat dari suara langkah tetangga kaki di atas mereka, beberapa orang bisa terbiasa dengan hal tersebut tapi jelas tidak dengan Erik. Tidak hanya itu tapi ketika Momo tiba di sana Erik yang lupa mempersiapkan posisi kursi roda terpaksa harus meminta Momo kembali melangkah keluar agar ia dapat menutup pintu dan menarik kursi roda yang tersimpan di belakangnya. Setting lokasi yang diciptakan Sutradara sekaligus Screenwriter Stephen Karam langsung mencuri atensi, apartement baru itu bahkan punya lorong koridor yang sulit untuk bermanuver menggunakan kursi roda, sebuah awalan manis bagi salah satu senjata utama, yakni atmosfir sesak.


Karakter Aimee memiliki masalah kesehatan mental, masalah terkait pacarnya, dan satu masalah lain yang ibaratnya menjadi kepingan lain yang melengkapi bebannya terkini menjadi lengkap. Permasalahan ekonomi juga sedang Brigid alami sedangkan Deirdre mengeluhkan ketidakadilan yang ia rasakan di tempat kerja, padahal dirinya sudah sangat senior di sana. Sedangkan dalam diam di sisi lain ruangan Momo yang telah berada di stadium lanjut penyakit Alzheimer hanya menjalani acara keluarga tersebut dengan tertidur pulas, berbeda dengan “calon anggota baru” keluarga Blake, Richard, berusaha untuk membuat suasana menjadi menyenangkan dengan portable projector kebanggannya, menjadi satu-satunya pria di rumah tersebut yang tampak tenang mengingat Erik terus-menerus seperti sedang memikirkan sesuatu.

Setiap anggota keluarga membawa “kado” berupa kabar terbaru kehidupan mereka yang lantas mempengaruhi jalannya acara. Semua hal tadi sebenarnya merupakan hal yang “lumrah” terjadi di acara keluarga sehingga mungkin akan sangat mudah untuk membuat penonton merasa familiar dengan situasi yang sedang terjadi. Tapi yang membedakan di sini adalah itu disajikan Stephen Karam sebagai pertunjukkan horror yang menegangkan, mengetuk pintu dan bermain dengan paranoia penonton dengan cara perlahan. Senyum tampaknya mudah untuk ditemukan di sini tapi kamu dapat merasakan perubahan arti dari senyuman tiap anggota keluarga yang perlahan berpindah sisi seiring semakin jauh berjalannya narasi, lelucon dan sedikit sarkasme menjadi topeng bagi gesekan yang terdiri dari saling kecam, rasa benci, kebohongan, masalah kesehatan, trauma, hingga rahasia yang tampak serta yang tidak terucap.


Sulit memang menyebut impresi awal terhadap keluarga Blake di bagian awal adalah normal mengingat setting tempatnya sendiri sudah terasa tidak biasa, perwujudan dari tempat tinggal yang tidak dirawat dengan baik terdapat banyak area busuk serta tetesan air, menciptakan vibes ganjil and leaves a gloomy feeling. Atmosfir sesak menemani ketika script mulai mengajakmu mengamati keluarga disfungsional itu melakukan hal-hal normal, berbincang, tertawa, serta adu opini. Dan selalu ada hal-hal kecil yang menjadi rumit dan kerap berakhir tidak seperti yang diharapkan! Itu yang berbahaya dan dibentuk serta ditata dengan sangat baik oleh Stephen Karam, ia seperti meniup angin sepoi-sepoi ke arah penonton dan membuatmu selalu siap untuk kemungkinan terburuk yang bisa muncul terjadi, kamu dibuat ikut bermain membayangkan potensi ledakan yang dapat terjadi.

Because even the littlest thing may blow it all up. Yang menjadi masalah di sini acara kumpul keluarga itu tampak biasa saja dari kulit luarnya tapi kondisi tersebut yang justru menciptakan “ketidaknyamanan” saat menonton lima karakter saling bincang satu sama lain. Terlebih jika kamu tahu bahwa momen seperti itu merupakan arena yang kerap dipakai oleh anggota keluarga untuk berkeluh kesah satu sama lain, kita bertemu dengan momen horror di sana apalagi saat Stephen Karam padukan dengan spooky setting yang telah ia bentuk sejak awal tadi. “Oh, ini drama keluarga biasa” mungkin akan terlintas di pikiranmu pada bagian awal cerita tapi beri sedikit waktu bagi narasi bergerak lebih jauh maka penilaian itu perlahan sirna, memberi sentuhan cinéma vérité with a quite slow tempo Stephen Karam membuat kamu terjebak di dalam deeply nuanced drama yang menakutkan.


‘The Humans’ punya feel yang serupa dengan ‘Hereditary’ dan konsisten mengutak-atik paranoia penonton tanpa menggunakan aspek supernatural, tanpa hantu, iblis, maupun binatang buas yang menunjuk eksistensi mereka. Di sana letak kekuatan script dalam menampilkan tiap struktur cerita agar terasa angker, ditunjang dengan permainan gambar yang ditangani cinematographer Lol Crawley serta di-edit dengan baik oleh Nick Houy, lantai kayu, dingin penuh noda, and almost lightless. Sebagai penonton kamu dapat melihat dan merasakan kecemasan dari karakter, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh roh atau hantu. Stephen Karam cerdik di sini, terkadang dengan sengaja menaruh kamera statis dalam jarak yang jauh agar rasa cemas dan waspada penonton perlahan menumpuk, terkadang terasa seperti mata karakter tapi tidak jarang pula terkesan seperti mata sosok lain di luar enam karakter.  

Script yang Stephen Karam tulis memang tampak sederhana tapi kualitas mumpuni miliknya terbukti lewat fakat bahwa tiap karakter berkembang dengan baik dalam gerak cepat sejak awal, menunjukkan kekurangan, kelebihan, dan masalah mereka. Very well-developed characters yang tidak lepas dari kemampuan para aktor dalam menampilkan karakter mereka masing-masing. Ekspektasi saya di awal bahwa Amy Schumer akan sedikit mendominasi tapi ternyata ia diberi porsi yang sangat efektif dalam ikut serta membangun masalah, hal yang dilakukan dengan baik oleh Beanie Feldstein dan Jayne Houdyshell. Steven Yeun punya kesempatan berbicara namun fungsinya sama dengan June Squibb. Di atas mereka semua jelas Richard Jenkins, ia menunjukkan kombinasi emosi yang menyenangkan diamati, berusaha menjalankan tugasnya sebagai Ayah namun diselimuti dengan rasa cemas dan tertekan.

Overall, ‘The Humans’ adalah film yang sangat memuaskan. Saya dibuat bersyukur oleh Stephen Karam setelah menonton karena acara keluarga yang selama ini saya datangi tidak pernah “seburuk” dengan yang ia tampilkan di sini, sebuah acara yang tidak hanya berisikan makanan dan keluarga saja, but also lots of drama. Dari setting awal terutama atmosfir cerita yang terasa sesak, kemudian disusul “kado” berupa kabar terbaru kehidupan masing-masing karakter, kamu dibuat ikut bermain membayangkan potensi ledakan yang dapat terjadi di dalam drama keluarga yang tampak normal di luar saja namun angker di dalam ini. Based on the Tony Award-winning Broadway play, this is one of the most disturbing family drama I've ever watched. Segmented.





1 comment :

  1. “Whatever gifts God's given us, in the end, no matter who you are, everything you have goes.”

    ReplyDelete