19 January 2022

Movie Review: Ghostbusters: Afterlife (2021)

“Take a little advice. Don't go chasing ghosts.”

Fungsi film ini mengingatkan saya pada Star Wars: Episode VII - The Force Awakens yang kala itu hadir membuka kisah baru setelah ‘Prequel trilogy’ dianggap kurang mampu menyamai kualitas ‘Original trilogy’. ‘Ghostbusters II’ tentu saja sangat jauh dari kata buruk tapi jelas ada penurunan kualitas dibandingkan dengan film pertama yang tidak hanya sukses di box office saja tapi juga mendapat pujian dari penonton serta kritikus, perpaduan komedi, aksi, dan horor yang berhasil menjadi cultural phenomenon sampai saat ini. Bringing back a popular franchise jelas bukan sebuah pekerjaan mudah dan film ini memberanikan diri to travel back in time and connect directly to the originals serta “melanjutkan” kisah yang dimulai oleh tiga Professor doyan hantu itu. ‘Ghostbusters: Afterlife’: timeless classics updated and handover.


Callie Spengler (Carrie Coon) kurang oke dalam menata keuangannya tidak heran ia kembali gagal membayar sewa rumah tempat ia tinggal bersama kedua anaknya, Trevor (Finn Wolfhard) dan Phoebe (Mckenna Grace). Mereka terpaksa meninggalkan apartement di Chicago dan pindah ke sebuah kota kecil di negara bagian Oklahoma, Summerville, menetap di rumah tua yang diwariskan Ayahnya kepada Callie. Trevor dan Phoebe yang pada awalnya kurang suka dengan tempat tinggal mereka yang baru itu kemudian berubah, Trevor karena jatuh hati dengan wanita bernama Lucky Domingo (Celeste O'Connor) sedangkan Phoebe setelah menemukan alat milik sang kakek yang mampu mendeteksi keberadaan hantu di sekitarnya.

Alat tersebut Phoebe tunjukkan kepada teman barunya Podcast (Logan Kim) dan juga Guru kelas sains-nya, seorang Seismologist bernama Gary Grooberson (Paul Rudd) yang merupakan penggemar berat Ghostbuster. Dari sana mereka dituntun menuju sebuah rahasia besar yang selama ini sedang dibangun oleh kakeknya Phoebe, bahwa gempa kecil yang kerap kali mengguncang kota Summerville sehingga telah dianggap sebagai sesuatu yang normal itu berasal dari something sinister yang sedang mencoba “kembali” ke dunia namun berhasil dihadang oleh Egon Spengler. Dipimpin oleh Phoebe dengan mengendarai The Ectomobile mereka mencoba menelusuri keberadaan hal ganjil tersebut.

Tahun 2016 masih di bawah pengawasan Ivan Reitman kisah para penangkap hantu itu sempat diberikan treatment reboot, Paul Feig didampuk sebagai Sutradara tapi yang paling mengejutkan adalah keputusan berani untuk mengganti empat karakter utama menjadi wanita. Tentu saja bukan sesuatu yang salah untuk mencoba strategi baru demi mencapai beberapa hal, seperti penyegaran misalnya, namun for a variety of reasons the all-female 2016 edition was hated by quite a few. Padahal ekspektasi yang kala itu hadir ‘Ghostbusters (2016)’ dapat menciptakan kembali euforia tim pencari hantu yang menggabungkan komedi bersama action dan tentunya horror tersebut. Saya sendiri suka dengan film reboot tersebut terutama pada pesona dari empat pemeran utama wanitanya.


Tapi Columbia Pictures and Sony tampaknya memang tidak puas dengan pencapaian film reboot tersebut dan memutuskan untuk kembali mendorong satu film ke dalam franchise namun kali ini dengan strategi berbeda, mencoba melanjutkan kisah dari dua film sebelumnya. Ketimbang melanjutkan pengembangan Ghostbusters III yang seperti hidup segan mati juga tidak mau akibat sikap Bill Murray yang on and off terhadap sekuel, kini fokus diarahkan pada upaya melanjutkan baton Ghostbusters to a new generation. Film kedua kisah the four men who once saved New York City are history mungkin hanya diingat oleh segelintir orang saja, kini kejayaan mereka tersebut coba “dibongkar lagi” dengan harapan dapat memuaskan harapan nostalgia penonton lama sembari mengembangkan langkah selanjutnya bagi franchise.

Terasa oke, narasi tertata dengan baik at least untuk menunjukkan hubungan sebab dan akibat antara past and present, berurusan dengan masa lalu dan menemukan akar baru. Jason Reitman menggunakan kepiawaiannya dalam hal berurusan dengan human nature pada script yang ditulis bersama Gil Kenan, fokus diletakkan pada bagaimana dua orang cucu mencoba mengeksplorasi serta meneruskan warisan dari kakek mereka. Bicara kuantitas itu terasa mendominasi, meski memiliki momen yang telah dipersiapkan dan dieksekusi pula dengan baik justru di sini peran para hantu terasa cukup minor, hubungan antar karakter manusia terasa lebih penting ketimbang membasmi hantu yang momen kemunculannya terasa sedikit terlambat menjelang akhir serta kurang imajinatif.


Ada momen menunggu cukup lama bagi penonton sampai makhluk supernatural itu “muncul” yang jumlahnya juga tidak banyak. Mungkin terasa mengecewakan bagi beberapa penonton terlebih dengan cara Jason Reitman menyelesaikan cerita, terasa berusaha terlalu keras untuk memeras “opsi lain” yang ia punya dengan munculnya karakter-karakter ikonik. Andai saja ide tersebut disajikan dengan cara lebih sebatas referensi ke masa lalu saja that could be very nice serta dapat membuat perjuangan Phoebe dan generasi baru itu punya punch yang kuat secara mandiri. Mungkin saja tujuannya sebagai fan service dan saya juga terkejut ketika momen itu muncul tapi ketika menyadari dampak dari bagian tersebut terhadap power yang dihasilkan oleh perjuangan sejak awal hadir rasa ingin agar momen kejutan itu tidak eksis saja. 

Buktinya post-credit scenes yang menampilkan Peter Venkman dan Dana Barrett justru lebih memorable ketimbang kejutan mendadak itu yang mengganggu irama narasi dengan pace cepat penuh witty punch lines oke. Sebagai pendamping adalah peran humor di sini tapi tergolong mampu menyemarakkan cerita dengan deadpan yang mumpuni, membantu petualangan klise itu agar tetap memiliki momen santai dan menyenangkan meski didominasi dengan proses pencarian hantu. Komedi juga menjadi semacam jangkar bagi perpaduan action dan horror yang seperti berusaha keras untuk menutupi ketiadaan para whimsical scientists, disiasati Jason Reitman secara cermat dengan menggunakan sesuatu yang lebih familiar bagi penonton saat ini, perpaduan klasik dan modern dengan energi youthful ala Stranger Things.


Tidak heran dibalik beberapa kekurangannya ‘Ghostbusters: Afterlife’ tidak hanya sekedar sebuah nostalgia dan fan service belaka melainkan pintu masuk menuju era baru bagi franchise. Disokong kinerja akting yang oke dari para aktor seperti Paul Rudd, Logan Kim, dan tentu saja Mckenna Grace misi utama membangun pengisahan baru juga dicapai dengan baik, to transform Egon's grandchildren into ghost hunters with lively playfulness tanpa lupa menaruh feel-good factor mendampingi karakter yang simpatik meski memang lebih terasa seperti coming-of-age instead ketimbang sebuah fantasy comedy. Jason Reitman berhasil menyeimbangkan kedua elemen itu walaupun memang akses terasa lebih mudah bagi opsi pertama, dan penonton yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut maka akan lebih mudah terhibur, an adventure with quite good CGI that leaves you wanting more.

Overall, ‘Ghostbusters: Afterlife’ adalah film yang cukup memuaskan. Well balancing dan memberi tweak manis pada cerita untuk berani keluar serta menyajikan sesuatu yang “berbeda”, Jason Reitman berhasil meneruskan warisan itu dengan cara yang menyenangkan dan segar, menyesuaikan pengisahan agar terasa modern tapi tetap mempertahankan pesona dan spirit film pertama, one of the timeless classics yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Cult films are difficult to carry dan film ini berhasil melakukan update serta handover kepada generasi selanjutnya dengan cara yang menyenangkan but also makes you want to go on more adventures with them.





2 comments :