08 March 2015

Movie Review: Chappie (2015)


"You’re my maker. Why did you make me so I could die?"

Sebuah kalimat klasik mengatakan bahwa mempertahankan sesuatu yang telah berhasil anda dapatkan akan selalu lebih sulit ketimbang perjuangan ketika anda sedang berupaya untuk meraihnya. Hal tersebut yang kini sedang dialami oleh Neill Blomkamp ketika enam tahun lalu pria asal Afrika Selatan itu berhasil mencuri perhatian skala besar lewat District 9 (empat nominasi Oscars) yang merupakan debut feature film Blomkamp, namun empat tahun kemudian kualitasnya mulai dipertanyakan ketika Elysium hanya sebatas menjadi sebuah sci-fi standard yang kurang dinamis. So, bagaimana dengan film ketiganya ini? Chappie: charming and pall pandemonium pie.

Tindakan kejahatan tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan bagi penduduk di kota Johannesburg karena berkat penemuan pria bernama Deon Wilson (Dev Patel) aksi kriminal dapat dimusnahkan dengan cepat. Deon berhasil menciptakan robot yang dapat digerakkan dengan sistem untuk kemudian berurusan dengan para penjahat, rancangan yang berhasil membuat perusahaan tempat ia bekerja Tetra Vaal yang berada dibawah komando Michelle Bradley (Sigourney Weaver) menjadi mitra yang begitu dicintai oleh polisi. Namun ternyata didalam Tetra Vaal juga telah lahir sumber masalah yang seolah menanti waktu yang tepat untuk meledak. 

Yang pertama berasal dari pria bernama Vincent Moore (Hugh Jackman) yang merasa sakit hati karena proyek tandingan yang ia namai Moose mati suri akibat ide cemerlang milik Deon tadi. Yang kedua berasal dari momen ketika Deon ingin menjadikan robot-robot tersebut lebih “manusia” namun ditolak oleh Michelle, hal yang kemudian menyebabkan Deon nekat untuk melakukan eksperimen ilegal dengan memanfaatkan sebuah robot yang telah rusak. Celakanya dalam perjalanan pulang Deon bertemu dengan tiga penjahat, Ninja (Watkin Tudor Jones/Ninja), Yolandi (Yolandi Visser), dan Yankie (Jose Pablo Cantillo) yang memaksa Deon melakukan program ulang pada robot yang kemudian bernama CHAPPiE (Sharlto Copley) itu agar dapat bekerja dibawah kendali mereka.




Oke, mari buka review ini dengan menggunakan kalimat yang saya gunakan di paragraf pertama tadi, charming and pall pandemonium pie. Chappie memang merupakan kemasan yang cukup lemah, itu sangat jelas dan tidak peduli seberapa besar rasa kagum anda pada pesona yang mampu Neill Blomkamp suntikkan kepada tokoh utama miliknya itu anda akan merasakan sebuah grafik menurun yang ia tunjukkan ketika semakin menjauh dari garis start. Penyebabnya? Sangat sederhana sebenarnya dimana Neill Blomkamp seperti kembali melakukan daur ulang pada apa yang pernah ia lakukan di dua film terdahulunya. Pondasi utamanya memang sebuah film pendek berjudul Tetra Vaal namun ini seperti meminjam beberapa bagian kecil dari District 9, meminjam beberapa bagian lagi dari Elysium, lalu kombinasikan mereka bersama beberapa materi baru yang meskipun tidak begitu segar namun celakanya mampu menciptakan arena bermain yang menarik.

Ya, tidak begitu segar, manusia menciptakan teknologi, lalu setelah itu manusia berada dibawah ancaman teknologi dengan kemampuan immortality, namun secara mengejutkan isu klasik dari film sci-fi itu tidak terasa menjengkelkan disini. Hal tersebut tercapai berkat keputusan Neill Blomkamp sendiri yang sejak awal seperti ingin menjejali cerita dengan beberapa konflik dan isu kecil, dari isu kesadaran manusia, jiwa dan moralitas, jealousy, persaingan, persahabatan, pendidikan, hingga puncaknya kasih sayang yang diperoleh seorang anak dari orangtua mereka, terutama ibu. Hal terakhir itu benar-benar mempesona disini yang jika sejak awal telah mampu membuat anda terikat dengannya maka akan semakin memudahkan anda untuk menikmati sisi indah dari Chappie. Ya, itu adalah cara termudah untuk membuat Chappie terlihat mempesona karena yang eksis disekitarnya adalah sebuah perpaduan antara petualangan dinamis bersama kekacauan konyol yang juga berada di zona abu-abu. 


Benar, kekacauan yang konyol, meskipun tidak hadir dalam kuantitas yang besar namun kualitas yang mereka miliki punya potensi untuk mampu meninggalkan impresi yang cukup mengganggu. Salah satu masalah terbesar dari film ini adalah ketika Neill Blomkamp seperti rakus atau terlalu berambisi untuk menjadikan agar isu-isu yang ia bawa tadi membekas di memori penonton. Hasilnya adalah pergeseran warna cerita yang terasa sangat tajam, dan celakanya bukan hanya terjadi satu atau dua kali, seperti contoh termudah antara komedi dan drama dimana dua bagian tersebut seperti digantung di dua tiang yang berbeda. Dampak lainnya juga cukup signifikan, cerita melompat sesuka hati antara drama dan komedi sehingga menghalangi karakter untuk bersinar, bahkan simpati dan empati yang saya rasakan hanya berasal dari isu orangtua dan anak, di bagian lain sulit untuk merasakan hadirnya intimitas bahkan rasa peduli yang benar-benar kuat pada apa yang akan terjadi selanjutnya.

Komposisi cerita yang ia miliki memang cukup kacau, dan daya tarik di beberapa elemen juga memiliki potensi yang besar untuk perlahan memudar, tapi meskipun tidak super lezat Chappie pada akhirnya berhasil menjadi sebuah kue yang terasa enak. Nilai positif berasal pada kemampuan Neill Blomkamp menjaga pesona karakter utama di tengah hiruk-pikuk absurditas yang ia bentuk disekelilingnya. Karakter Chappie punya appeal yang mampu membuat penonton terikat dengan perjuangannya dalam berkenalan dengan dunia, sembari berjalan mondar-mandir ia juga mampu merangkul berbagai isu kecil tadi untuk setidaknya tertangkap oleh penonton meskipun tidak semua ia dorong untuk bergerak terlalu dalam. Hal menarik lainnya adalah meskipun lemah di cerita tapi Blomkamp masih tampil kuat ketika mengarahkan masalah kontemporer untuk bergerak penuh energi, sokongan sisi teknis juga oke seperti kombinasi visual dan score misalnya yang sangat efektif memompa tensi dan menyuntikkan rasa dinamis kedalam gerak cerita.


Seandainya Neill Blomkamp mau untuk sedikit menekan ambisinya pada kuantitas isu yang terlalu gemuk itu, mungkin Chappie akan lebih mudah untuk menjangkau hati banyak penonton, beberapa diantara mereka juga faktanya telah ia gunakan di dua film terdahulu. Jika ia memberikan push yang lebih dalam pada isu relationship anak dan orangtua hasilnya mungkin akan lebih baik, karena disamping Chappie punya pesona yang mumpuni sebagai seorang anak kecil yang sedang belajar mengenal kejamnya dunia karakter orangtua yang dimainkan oleh Yolandi Visser juga cukup mampu memancarkan kasih sayang orangtua, walaupun masih mentah. Dan well ini akan terkesan kasar tapi selain Sharlto Copley dan Yolandi tidak ada pemeran lain yang tampil menarik, Ninja tampil kaku, Sigourney Weaver hanya pemanis, Dev Patel seperti kehilangan momentum di bagian tengah cerita, dan Hugh Jackman kurang berhasil menjadi villain dan kehadirannya lebih tampak seperti tamu yang tidak diundang.


Overall, Chappie adalah film yang cukup memuaskan. Ekpektasi sempat meningkat ketika kemunculan berita bahwa Neill Blomkamp akan mengendalikan film terbaru Alien, namun Chappie ternyata tidak berhasil duduk sejajar dengan District 9 walaupun setidaknya ini mampu memberikan grafik naik bagi Blomkamp setelah Elysium. Script terlalu empuk namun celakanya memiliki isi yang tidak sesederhana sinopsis miliknya, namun dengan eksekusi yang cerdik Neill Blomkamp mampu mengarahkan materi yang sangat familiar tadi menjadi sebuah mess adventure yang bergerak dinamis sehingga mampu menjaga minus konyol miliknya untuk hanya mengganggu namun tidak merusak. Seandainya ia tidak terlalu rakus dengan mencoba melakukan banyak hal Chappie dapat meninggalkan penontonnya dengan impresi yang lebih mengagumkan. Guys, if you are lucky enough to have a parent or two alive on this planet, call them!








3 comments :

  1. Kak Rory ..

    minta rekomendasinya donk film action atau mystery yang susah ditebak..

    sama film-film yang bikin tegang / penasaran kayak World War Z dll..

    makasih yaa... ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Misteri bisa coba karya Denis Villeneuve (Incendies, Prisoners, Enemy), Nolan (The Prestige, Insomnia, Memento, Inception), The Sixth Sense, Mystic River, atau Fincher (Zodiac, Seven, The Girl with the Dragon Tattoo, Gone Girl).

      Rilisan yang tidak terlalu tua (dan yang saya ingat, random) coba: Argo, Black Swan, District 9, Winter's Bone, Source code, Doubt, Shutter Island, In the House, Zero Dark Thirty, Berberian Sound Studio, Locke, The Hunt, Holy Motors, Side Effects, A Hijacking, Han Gong-ju, Nightcrawler, The Kirishima Thing, Compliance, The Double, Stoker. Dan last but not least: The Grand Budapest Hotel, The Imitation Game, Whiplash, dan Birdman.

      Delete
    2. makasih banyak yaa.. ^_^ langsung nonton deh nih...

      Delete