01 December 2013

Movie Review: Prince Avalanche (2013)


“There’s a difference between being lonely and being alone.”

Anda pasti tidak asing lagi dengan kalimat-kalimat yang berisikan ajakan untuk mencoba keluar dari zona aman yang anda miliki, bertemu dengan banyak orang baru, karena sesungguhnya mereka punya banyak hal baru yang dapat memberikan ilmu serta hal positif baru kepada anda, sekalipun pengalaman tersebut akan berakhir menjengkelkan. Prince Avalanche ingin bercerita tentang hal tersebut, dalam cara yang sederhana, santai, dan standard. 

Tahun 1988, pasca kebakaran besar yang melanda hutan di area Texas, dua orang pria di tugaskan untuk kembali kedalam hutan tersebut. Tugas mereka sederhana, hanya melakukan pengecatan ulang garis lalu lintas pada jalan tersebut di siang hari, kemudian mendirikan tenda menjelang malam, masak dan makan, dan kembali ke tugas awal ketika matahari terbit. Namun rutinitas yang bergerak secara periodik itu secara perlahan mulai memicu api, karena kegiatan yang mereka lakukan ternyata menjadi sesuatu yang menjemukan bagi Lance (Emile Hirsch), pria muda berjiwa bebas yang gemar mendengarkan musik dengan volume keras dari radio.   

Sejak awal Lance membenci rekan kerjanya, Alvin (Paul Rudd), yang punya kepribadian bertolak belakang dengannya, sosok tenang dan penyendiri yang justru lebih senang mendengarkan kaset yang mengajarkannya tata cara berbahasa Jerman, yang dianggap Lance sebagai hal membosankan. Tapi itu tidak satu arah, karena Alvin juga membenci Lance, anak muda yang ia anggap sangat immature. Petualangan yang seharusnya dipenuhi kerja sama dan saling bantu itu akhirnya berubah menjadi ajang penuh pertengkaran dan saling ejek, sebuah ujian bagi kepribadian mereka yang masing-masing telah rapuh sejak awal.


Naskah yang katanya memiliki tebal sebanyak 65 halaman itu nyatanya justru diolah dengan cara konvensional. Tema persahabatan yang dibungkus bersama proses dari dua individu yang mencoba belajar dan menemukan jati diri mereka dengan cara tumbuh bersama dalam satu pekerjaan. Ini seperti menyaksikan bagaimana ketika sosok ekstrovert, yang dapat merasa tenang jika berada dalam kondisi terus aktif, tipe yang memperoleh energi positif orang lain, kemudian harus menjalani harinya dengan seorang yang introvert, tipe pasif yang justru menemukan kenikmatan maksimal disaat ia berada dalam kesendirian, sosok yang menciptakan energi positif. Dua sisi berlawanan arah layaknya negatif dan positif dalam kekuatan yang begitu besar tersebut kemudian harus bertarung.

Ini terus menarik, hingga akhir malah, namun sayangnya Prince Avalanche terus berputar dalam lingkup menarik, tidak pernah tampil menghadirkan elemen-elemen yang memikat. Standard, penonton tahu apa yang ingin mereka sampaikan lewat pergerakan cerita yang santai layaknya sebuah mediasi spiritual bersama hamparan pepohonan dan konstruksi jalan, dengan tampilan yang konstan serta sederhana terus menebar misteri yang mengundang rasa penasaran, namun seperti tidak mau mengurai cerita menuju sisi yang lebih terang. Prince Avalanche pada akhirnya tampak seperti kumpulan ide klasik tentang karakter yang belajar dan berkembang, yang sayangnya sudah sering kita temukan, tanpa disertai impact yang mumpuni.

Ya, ini punya tujuan, namun kurang fokus, dan tidak total. David Gordon Green juga seperti terlalu bergantung  pada ide cerita yang ia adaptasi dari film berjudul Either Way. Konsep dari jiwa yang tersesat, kemudian bermain dengan unsur tanggung jawab serta kematangan dua pria, berupaya memperbaiki kerusakan pribadi itu dengan melempar mereka kedalam suatu lingkungan terisolasi yang baru saja mengalami kerusakan geografis. Jiwa yang rusak dalam lingkungan yang masih rusak, memperbaiki jalan raya sembari memperbaiki diri mereka. Ini menarik, potensial, namun sangat stabil. Ketukan cerita tidak mampu menjadikan point-point penting yang dihasilkan dua karakter utama untuk meninggalkan impresi yang kuat, terlalu lemah, kurang dalam.

Studi karakter ini kurang berhasil meninggalkan refleksi kehidupan yang kuat dan memikat. Membagi sama besar unsur drama dan komedi, ketika berdiri sendiri mereka menarik, namun transisi diantara keduanya kurang baik. David Gordon Green seperti menjahit setiap scene menjadi kesatuan yang sesungguhnya tampak rapi, namun disisi lain kurang berhasil memanfaatkan setiap momentum yang ia miliki dari gerakan mondar-mandir nan absurd itu. Ia juga seperti mengingkari “cara” mumblecore berjalan, pesan yang dikemas dengan ringan, dan juga berjalan dengan cara yang ringan. Prince Avalanche sebaliknya, konflik kerap kali coba dibentuk agar terasa sangat dalam tapi tidak terkesan natural, serta turut berupaya sedikit memaksa agar unsur komedi dapat dijadikan tampak begitu lucu. Kurang seimbang.

Yang menarik disini adalah dua pemeran utama. Paul Rudd kembali mampu memanfaatkan materi tipis yang ia punya untuk menjadikan Alvin secara stabil tampil mengundang rasa penasaran sejak awal hingga akhir. Saat-saat lucu di eksekusi dengan cukup efektif, namun ketika unsur drama bergerak mengambil alih layar Rudd tetap sanggup menggambarkan konflik personal yang dimiliki oleh Alvin dengan cukup baik. Dan saya dapat melihat jiwa bebas yang seperti berada dalam sebuah kurungan penjara di alam terbuka dalam diri Lance, berkat kemampuan Emile Hirsch yang tahu cara menjadi sosok menjengkelkan, walaupun kurang begitu kuat ketika masuk kedalam warna yang lebih serius. Chemistry diantara keduanya juga menambah nilai positif film ini.


Overall, Prince Avalanche adalah film yang cukup memuaskan. Tidak ada hal baru dari materi yang ia tawarkan, namun ide tentang proses introspeksi dan penemuan jati diri itu dibangun dalam sebuah konsep yang sangat menarik, bahkan memorable. Sayangnya beberapa kelemahan kecil pada eksekusi memberikan dampak yang cukup signifikan pada daya tarik cerita, dan pada akhirnya Prince Avalanche akan tampak seperti sebuah proses tanpa tujuan yang kuat, karena gerak stabil dan santai yang ia tunjukkan tidak disertai dengan kemampuan dalam menciptakan impact yang memikat pada tiap pesan kecil yang ia sebar di sepanjang fim. Jauh dari kesan membosankan, namun tidak cukup untuk memberikan kepuasan yang kuat. 



0 komentar :

Post a Comment