25 April 2021

Movie Review: Nomadland (2020)

"Home. Is it just a word? Or is it something that you carry within you?”

Merasa “bingung” setelah selesai menonton film yang menjejali kamu dengan misteri di dalam cerita tentu merupakan hal yang wajar, tapi uniknya perasaan itu muncul saat saya selesai menyaksikan film ini yang notabene merupakan sebuah film drama konvensional. Film yang diprediksi akan meraih posisi tertinggi sebagai film terbaik di 93rd Academy Awards ini bahkan punya konflik yang sederhana, penggambaran tentang “kaum marjinal” yang hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. ‘Nomadland’ : an interesting depiction about nomadic lifestyle.


Kehidupan wanita bernama Fern (Frances McDormand) sedang bergejolak karena tidak hanya ia masih kesulitan untuk lepas dari rasa sedih atas meninggalnya sang suami namun Fern juga kehilangan pekerjaannya setelah pabrik the US Gypsum di Empire, Nevada ditutup. Fern kemudian memutuskan menjual semua harta yang ia punya dan menggunakan hasilnya untuk membeli sebuah mobil van. Menggunakan itu Fern berpetualang keliling USA untuk mencari pekerjaan, ia juga memutuskan untuk tinggal nomaden dan memakai van sebagai tempat tinggalnya.

Berbagai macam jenis pekerjaan dilakukan Fern seperti bekerja di pabrik Amazon. Dalam kesehariannya Fern berbaur dengan sesama nomaden lainnya, salah satunya ketika ia diundang oleh rekan kerjanya, Linda (Linda May), yang juga merupakan seorang nomaden, untuk berkunjung ke pusat pertemuan nomaden di area gurun sekitar Arizona. Di sana Fern mulai menjalin koneksi dengan sesama nomaden seperti Bob (Bob Wells) dan Dave (David Strathairn), berbaur di komunitas dan mempelajari keterampilan dasar hidup sebagai nomaden, sembari tentu tetap mencoba untuk lepas dari rasa sedih yang masih menggelayuti pikirannya itu.

Saya menonton film ini ketika ia telah mengantongi berbagai penghargaan di mana kamu dapat menemukan banyak kategori film terbaik di dalam daftar tersebut. Sulit untuk menampik pengaruh dari hype film ini sebagai film terbaik rilisan tahun lalu karena begitu banyak respon positif yang disematkan pada film yang diproduseri, disutradarai, ditulis, dan disunting oleh Chloé Zhao ini. Tapi seperti yang saya sebut di awal tadi ada perasaan bingung di dalam pikiran dan benak saya saat mengamati karakter utama kita, Fern, berkeliling negaranya untuk mencari pekerjaan dengan menggunakan van sebagai tempat tinggal. Apa yang ingin Chloé “lakukan” di sini?


Itu pertanyaan yang terus berputar mungkin hampir di dua per tiga durasi sebelum akhirnya saya dibawa masuk ke sebuah diskusi antara Fern dan Bob yang menjadi pintu terakhir. Hal tersebut merupakan dampak dari tidak ada konflik besar di sini, penonton diarahkan oleh Chloé Zhao untuk sekedar mengamati aktifitas dari para pengembara atau nomanden. Absennya konflik “besar” yang tampak di layar lalu bertugas sebagai pusat cerita itu tidak terasa mengganggu memang tapi justru membuat ada sedikit kesan misterius di dalam narasi. Rasa penasaranmu akan terus disita oleh Chloé Zhao dalam pendekatan dengan rasa dokumenter yang juga kental.

Narasi ‘Nomadland’ sendiri terasa sangat trivial didominasi dengan penggambaran tentang bagaimana para nomaden itu bertahan hidup menggunakan prinsip yang mereka pilih tersebut. Tidak hanya tentang kendaraan van sebagai “rumah” yang di sini ditempatkan dalam konteks yang jauh lebih luas dari sekedar tempat tinggal, namun juga ada beberapa isu lain yang menarik salah satunya tentu saja upaya atau proses Fren dalam mencoba untuk menemukan “rumah” yang baru. Terdengar klasik memang tapi berkat rute tidak konvensional yang ia pilih Chloé Zhao justru sukses mendorong berbagai isu dan pesan untuk sampai ke penontonnya.


Untuk hal ini saya suka dengan keputusan Chloé Zhao mengemas narasi dengan cara yang classy, cerita bahkan sebenarnya punya sedikit kandungan politik tapi muncul tanpa mencoba memprovokasi kamu secara berlebihan. Proses pemeriksaan terkait gejolak emosi di dalam diri Fern juga bersanding dengan isu yang lebih luas lewat kehadiran begitu banyak karakter lain di sekitar Fern, sosok yang sedang tidak stabil dan sedang berjuang untuk lepas dari kondisi tersebut. Koneksi yang intim antara penonton dengan Fern konsisten menjadi salah satu spotlight Chloé Zhao sepanjang cerita meskipun pilihan beraninya menerapkan pattern yang sedikit unik itu tentu membuat narasi dan cerita jadi terasa sangat-sangat segmented.

Dan presentasi cerita yang sangat minimalis itu membuat saya merasa tidak semua yang saya rasakan dapat saya tuliskan di review ini, karena sejak awal ini memang mengusung konsep experience about everyday matter. Yang kemudian membuat approach dari Chloé Zhao terasa menarik, ia membuat perjuangan Fern berhasil mengekspresikan potret dari working-class dengan menggunakan struktur cerita berupa potongan kehidupan dari karakter. Menjelajahi keajaiban kehidupan Fern berjalan dalam visualisasi cantik dan imersif olahan Joshua James Richards, Chloé menata dan meracik tiap potongan tersebut untuk membuat jalannya narasi menjadi terkesan liar. Tentu ada dampak negatif pula di sana.


Sumbernya adalah masalah di awal tadi yakni ketiadaan konflik besar yang “terlihat nyata” sehingga dapat menjadi poros cerita. ‘Nomadland’ juga merupakan sebuah study character tapi bagi penonton yang tidak sadar akan hal itu maka perjalanan Fern akan tampak seperti sebuah petualangan kosong tanpa makna, dan terkesan sedikit memaksa. Hal itu sempat saya rasakan di titik tengah, karena faktanya bahwa it really embrace a minimalistic and nomadic lifestyle. Emosi yang berputar juga demikian, terbentuk tenang dan cenderung implisit sehingga jika fokus penonton terpaku pada runtutan kegiatan yang dilakukan oleh Fern tanpa mencoba menelisik emosi yang sedang berkecamuk di dalamnya, well, you'll be bored. Apalagi punch emosi juga tidak terasa kuat.

Overall, ‘Nomadland’ adalah film cukup memuaskan. Ditunjang kinerja akting yang oke dari Frances McDormand di sini Chloé Zhao berhasil mencapai apa yang ia ingin tampilkan ke hadapan penonton yakni sebuah “pelukan” tidak hanya terhadap para nomaden yang memilih menggembara namun juga pelukan hangat bagi mereka yang sedang berjuang untuk move-on dari masalah, lalu berangkat pergi untuk menikmati hidup. Ya, sesederhana itu memang namun ditampilkan dalam eksposisi yang dapat membingungkan penontonnya meskipun tidak pernah terpuruk berkat kemampuan Chloé dalam menyeimbangkan narasi dan hati yang terkandung di dalam cerita. Interesting. Segmented.








1 comment :

  1. “What's remembered lives. I maybe spent too much of my life just remembering.”

    ReplyDelete