23 April 2021

Movie Review: Judas and the Black Messiah (2021)

“No more pigs in our community!”

Jika kamu ketik “Black Panther” di google maka di halaman pertama pencarian akan didominasi dengan film superhero rilisan Marvel di tahun 2018, namun sebenarnya nama tersebut juga digunakan oleh sebuah organisasi politik di Amerika Serikat, BPP atau Black Panther Party. Image BPP lekat dengan perjuangan pergerakan hak warga kulit hitam di tahun 1960-an namun ada pula pihak yang menilai bahwa partai itu hanyalah sebuah organisasi kriminal sehingga muncul upaya untuk melemahkan BPP yang tentu saja dengan cara yang tidak lembut apalagi bersih. ‘Judas and the Black Messiah’ : unflinchingly honest human tragedy, awaken the ambiguities of justice. Where is the love?


Sangat mudah untuk menaruh curiga pada gerak-gerik yang ditunjukkan oleh pria bernama William O'Neal (Lakeith Stanfield), ia berputar-putar di depan sebuah bar dengan mata tertuju pada sebuah mobil. Sosok yang kemudian akrab dipanggil Bill itu kemudian masuk ke dalam bar dan mengaku sebagai anggota FBI, menangkap seorang pengunjung untuk mencoba mencuri kunci mobil tadi. Akibat perbuatannya itu Bill mendekam di kantor polisi Chicago dan di sana kemudian bertemu dengan Roy Mitchell (Jesse Plemons), seorang FBI Special Agent. Roy menawarkan sebuah perjanjian dengan Bill namun dengan sebuah syarat yang berat.

Roy meminta Bill untuk menjadi mata-mata dan informant baginya mengawasi apa yang sedang disusun oleh Black Panther Party, sebuah organisasi politik yang sedang berusaha memperjuangkan safety and self-sufficiency bagi kaum Black People. BPP sendiri perlahan namun pasti mampu mengukuhkan eksistensi dan perannya di dalam Black Power movement di area Chicago, pencapaian yang tidak terlepas dari peran Chairman mereka Fred Hampton (Daniel Kaluuya). Namun di mata pihak lain BPP justru merupakan organisasi kriminal dan bahaya sehingga tidak heran muncul upaya untuk melemahkan BPP.

Sebagai sebuah drama yang ingin menyuarakan isu utama terkait ketidakadilan yang dialami oleh satu golongan atau kelompok, ‘Judas and the Black Messiah’ langsung tancap gas dengan sangat baik di bagian pembuka. Dua karakter utamanya berhasil mencuri perhatian sejak kemunculan pertama mereka di layar, William "Bill" O'Neal lewat upaya pencurian yang kemudian membawanya masuk ke dalam masalah besar serta Fred Hampton, pria yang punya aura tangguh sebagai seorang pemimpin yang menyapa penonton dengan orasi penuh semangat. Dua karakter ini berada di situasi yang sama di mayoritas durasi tapi faktanya mereka ada di kelompok yang berbeda.


Itu mengapa judul film ini adalah ‘Judas and the Black Messiah’ di mana Bill berperan sebagai Judas sang pengkhianat sedangkan Fred dengan segala ambisi dan semangat besarnya ditempatkan sebagai sosok yang “menyelamatkan” nasib Black People, the Messiah bagi Black People. Sampai di sini saja sebenarnya sudah menarik, ada situasi duri dalam daging yang berpotensi untuk menyakiti dan menciptakan luka, hal yang kemudian terus dieksploitasi dengan baik oleh Shaka King. Di sini Shaka King coba untuk mendorong isu ketidakadilan itu secara bertahap lewat upaya BPP yang ingin memperbesar kekuatan mereka, dikemas secara padat dan konsisten menarik.

Ya, menarik, terlebih mengingat isu, tema, konflik, dan pesan yang dimiliki film ini telah menjadi sesuatu yang begitu mudah untuk ditemukan di film-film lain saat ini. Sentuhan dari Shaka King dalam penataan empat poin tadi menciptakan kesan segar di balik upaya Black Panther Party untuk menegakkan keadilan, sebagai penonton saya ikut merasakan kesulitan yang dirasakan oleh Fred dan kaum-nya itu sebagai golongan minoritas di Chicago, script yang Shaka King tulis bersama Will Berson juga mengandung berbagai macam baris kalimat dengan energi dan spirit yang tinggi serta efektif “membakar” penonton. Semakin mudah terpikat jika sudah terikat.


Film ini punya cukup banyak kalimat yang dalam satu baris saja sudah mengandung makna serta semangat yang kuat terkait perjuangan BPP, seperti “anywhere there's people, there's power” hingga “war is politics with bloodshed, and politics is war without bloodshed.” Saya kagum dengan script terkait hal ini, berhasil membuat penonton tidak hanya merasa “dibakar” untuk marah dengan kondisi yang dialami oleh Black People saja tapi juga kepada Bill yang sejak awal telah mengemban tugas lain di dalam perjuangan tersebut. Muncul semacam friksi di sini, menyaksikan pria yang sedang berjuang untuk hidup dengan menghancurkan perjuangan kaumnya.

Perjuangan yang mencoba untuk “memperbaiki” kondisi kehidupan kaum mereka. Shaka King membuat dua bagian yang saling berseberangan itu seimbang dalam satu kesatuan, tidak heran berbagai gesekan di antara keduanya membuat narasi terasa atraktif. Dan itu konsisten hingga akhir meskipun sejak titik tengah saya merasa ada energi yang sedikit turun ketika kesempatan Fred untuk “membakar” semangat jadi berkurang drastis. Fokusnya dialihkan pada Bill dan ia tidak mengecewakan, dengan bantuan karakter seperti Roy Mitchell dia mengambil alih kendali untuk membuat penonton emosi di aman nama terakhir tadi juga tampil sangat berkesan sebagai villain.


Tapi sayangnya ‘Judas and the Black Messiah’ tidak berhasil mencapai titik tertinggi yang dapat ia raih. Aksi brutal di babak akhir itu tentu diperuntukkan sebagai pintu yang menutup dramatisasi di sini, pengemasannya bagus dan efektif tapi sayangnya tidak menghadirkan punch yang sangat kuat. Ekspektasi saya di momen itu banyak “bensin” tumpah ke dalam api yang telah dijaga untuk terus berkobar sejak awal, dan kemudian tercipta ledakan besar yang membuat emosi saya yang telah terikat sejak awal juga ikut meledak. Tapi sayangnya bagian puncak itu terasa kurang kuat dan spesial, lebih terasa run of the mill sebagai selimut akhir cerita.

Tapi apakah itu merusak nilai keseluruhan? Tentu saja tidak, terlebih jika menilik kemampuan Shaka King menata dan menjaga tempo serta irama narasi, apalagi jika mengingat bagaimana elemen teknis seperti cinematography dan editing yang manis itu mampu membuat penonton merasa terikat di dalam cerita. Sama seperti kualitas kinerja akting para aktor di mana Lakeith Stanfield sukses memoles pesona seorang pengkhianat dengan baik sedangkan Daniel Kaluuya melakukan kebalikan dari apa yang dulu ia lakukan di ‘Get Out’, ia menangis dan berteriak dengan cara yang subtle. Dua kinerja akting yang kuat dengan scene stealer di dalam diri Jesse Plemons, ia racik aura licik Roy Mitchell dengan cantik.

Overall, ‘Judas and the Black Messiah’ adalah film yang memuaskan. Ya, that human tragedy masih menjadi momok yang menakutkan hingga kini, tidak hanya bagi kaum Black People saja namun juga bagi kaum minoritas di lingkungan mereka tinggal. Di tangan Shaka King ‘Judas and the Black Messiah’ berhasil menjadi nafas segar bagi penggambaran terkait isu dan konflik serupa, sebuah dramatisasi yang jujur serta licik dan cerdik yang membangkitkan kembali ambiguitas tidak hanya terhadap nilai saja namun juga makna dari sebuah keadilan. Can you practice what you preach? Or would you turn the other cheek?







1 comment :

  1. “You don't fight racism with racism. We gonna fight with solidarity.”

    ReplyDelete