12 January 2014

Movie Review: Her (2013)


"I'm yours and I'm not yours."

Apakah anda merupakan pengguna twitter? Apakah anda pernah menemukan sebuah halaman yang menyatakan bahwa twitter sedang kelebihan kapasitas ketika hendak mencoba sign in? Yap, semakin mudah memang untuk bercinta dengan teknologi di zaman yang serba menawarkan kemudahan seperti sekarang ini, banyak hal positif yang ia ciptakan, namun dibalik kenikmatan tersebut ikut pula eksis berbagai hal negatif yang berpotensi menghancurkan. Spike Jonze menghadirkan problema tersebut bersama balutan visi, ide, serta konsep yang tinggi dan berani, unik dan cantik. Her, a sweet and smart hyper intelligent love story.    

Raut wajah muram dengan rambut berantakan, dua hal sederhana tadi sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Theodore (Joaquin Phoenix) merupakan pria penyendiri dan kesepian yang sedang bertarung menghadapi masalah yang hadir di pikirannya. Ia masih memiliki masalah pada pernikahan yang belum usai dengan istrinya Catherine (Rooney Mara), bahkan mulai jarang berinteraksi bersama sahabat baiknya, Amy (Amy Adams) dan Charles (Matt Letscher), padahal kesehariannya ia isi dengan membantu orang yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya menuliskan surat cinta dengan cara mendikte kepada komputer.

Sederhananya kehidupan Theodore sangat terisolasi, hingga suatu ketika ia memutuskan untuk mencoba sebuah produk operating system yang telah dirancang agar dapat melakukan interaksi layaknya manusia nyata. Sahabat fantasinya itu bernama Samantha (suara oleh Scarlett Johansson), berperan menjadi teman chit-chat hingga pendamping Theodore pada segala urusan data dengan komunikasi via earphone. Namun Theodore tetaplah seorang pria kesepian, hubungan itu semakin intim, tersesat dalam rasa cinta virtual, yang sayangnya tetap berjalan dengan formula konvensional, tidak semuanya indah.


Her bukan sebuah roman konvensional, bukan cerita dengan fiksi dibaris terdepan yang dibantu sokongan bumbu kisah cinta, namun merupakan upaya dari Spike Jonze yang mencoba membawa penontonnya mengamati kritik humanisme dalam sebuah kisah cinta sebagai fokus utama dan kemudian dibalut bersama unsur fiksi yang cerdas. Ya, cerdas, satu kata yang dapat digunakan jika harus menjabarkan Her secara sederhana, dari luar ia tampak hanya seperti sebuah petualangan penuh unsur meditasi dari seorang pria yang jiwanya kerap hilang dalam kesepian akibat beban yang terus menghantui, namun didalamnya tersembunyi materi menggelitik terkait perbandingan implisit antara manusia dan teknologi.

Her hanya konyol pada premis yang ia tawarkan, karena sejak menit pertama anda akan dengan mudahnya dibuat jatuh cinta pada tahapan demi tahapan yang kemudian dihadirkan oleh Jonze. Ini seperti menyaksikan versi pria dari Lost in Translation, hilang dalam jeratan konflik batin dengan berputar pada tema besar tentang cinta yang buta dimana karakter lebih di tekankan untuk mengandalkan perasaan dalam proses menemukan sisi terang kehidupan. Kita seperti diajak untuk membongkar kompleksitas emosi manusia yang rumit, namun disisi lain terus diberikan pukulan-pukulan ringan yang secara konsisten berupaya mengingatkan kita pada misi utamanya.

Unik memang, masih dengan formula yang masih sama dimana ia kembali menjerat penonton bersama karakter kedalam sebuah ruang isolasi berisikan permaianan psikologis, Spike Jonze berhasil menyampaikan sindirannya terhadap budaya masa kini, budaya dimana manusia terlihat sudah mulai memperlebar jarak pada sosialisasi penuh interaksi langsung, karena telah lebih akrab dengan teknologi yang mereka miliki, padahal mereka tidak bisa sempurna menggantikan peran manusia, salah satunya  pada sisi emosional lewat sebuah hubungan asmara. Ironi tersebut di eksplorasi dengan cantik tanpa gimmick yang mengganggu, ia menghormati cerita, menghormati karakter, dan menghormati penontonnya.


Ya, ini yang menjadikan Her terasa menarik ketika menjalankan misinya, ia tidak memaksa, ia mengalir. Bermain di warna pastel pada visual, sinematografi yang mumpuni, sentuhan score indie dari Arcade Fire, dengan segala kecanggihan masa depan pada akhirnya kita akan tersenyum kecil ketika sadar bahwa Spike Jonze tenyata ingin memprovokasi penontonnya dengan merenung apa arti sebenarnya dari menjadi manusia? Menariknya disisi lain kisah cinta itu tetap mampu memperdaya, semakin intim, berjalan bersama karakter rentan dalam cinta posesif yang sensitif, dibalut materi klasik percintaan seperti pengorbanan, suka cita bergairah, hingga rasa takut penuh keraguan.   

Lantas apakah ini sempurna? Tidak. Konsep cemerlang dengan menggunakan kebodohan cinta itu tidak mampu meraih potensinya untuk tampil spektakuler. Ada sedikit masalah pada ritme, alur yang dibeberapa bagian kecil terasa kurang hidup karena terlalu tenang, serta beberapa pengulangan. Ya, Her seharusnya dapat sedikit lebih padat, disini terlihat jelas bahwa rintangan utama yang dihadapi oleh Spike Jonze sejak awal adalah pace, ia mengaku punya versi panjang dengan durasi 150 menit, bahkan itu pula alasan ia mengganti Samantha Morton dengan Scarlett Johansson. Sangat minor memang, bahkan dengan mudah pasti akan tertutupi oleh script yang halus, namun selalu ada rasa kesal ketika sebuah film tidak mampu meraih potensi tertingginya.

Namun kekecewaan itu tidak akan tinggal lama di memori anda, karena disamping segala keunikan yang Spike Jonze tawarkan tadi masih ada satu hal impresif lain yang mungkin akan selalu anda kenang. Joaquin Phoenix kembali tampil gemilang ketika memerankan karakter dengan permasalahan batin, berhasil menyeimbangkan sisi hitam dan putih, canggung namun manis, berkarisma namun sensitif. Begitupula dengan tiga wanita cantik, Amy Adams, Rooney Mara, Olivia Wilde, menghantarkan kepahitan dari sebuah kegagalan. Namun yang selalu mencuri perhatian walaupun ia tidak pernah hadir di layar adalah Scarlett Johansson, berhasil membantu pertumbuhan emosional pada cerita dengan suaranya yang impresif. 


Overall, Her adalah film yang memuaskan. Spike Jonze berhasil membangun konsep dan ide berani serta kontroversial dari fantasi liar miliknya dengan cara cerdas dan cantik. kombinasi antara romansa percintaan lengkap dengan materi klasik yang manis bersama eksplorasi kritik implisit lewat sebuah penggambaran yang sangat akurat terkait problema pada hubungan antara manusia dan teknologi, semua dikemas dengan halus, efektif, dan menyenangkan. 



2 comments :

  1. anjriitt suara neng Scarlett emang seksih dah... serak2 gimanaaa gitu~
    bikin betah nungguin film sci-fi romance ini sampe abis..
    meskipun celana si Theodore ini agak ganggu, tapi film ini asik banget deh. banyak quote2 bagus dan endingnya pas.
    well score, dude.

    ReplyDelete
  2. “Her” is a little bit of everything. For anyone looking for a good laugh, a tear-jerking romance, and a science fiction fable all in one, “Her” is the perfect solution.

    ReplyDelete