10 December 2021

Movie Review: Dear Evan Hansen (2021)

"I wish everything was different. I wish I was different."

Spotlight akan sangat mudah tertuju pada film ini, sejak berita bahwa that Tony Award-Winning Musical akan mereka adaptasi ke dalam bentuk film pihak Universal Pictures selaku pembeli film rights tidak hanya sukses menggandeng penulis buku yang jadi dasar cerita musikalnya, begitupun songwriting duo di balik kesuksesan lagu-lagu di ‘La La Land’ dan ‘The Greatest Showman’ yang ikut bergabung untuk membantu membentuk kembali critical acclaim musical yang mereka tulis. Dan last but not least merekrut sutradara The Perks of Being a Wallflower untuk memvisualisasikan skenario dan memimpin tim untuk bekerja bagi Produser film-film seperti ‘Nine’, ‘Into the Woods, dan Mary Poppins Returns’, which is a musical films. ‘Dear Evan Hansen’ : turns out, this wasn’t an amazing day after all.


Berusia 17 tahun Evan Hansen (Ben Platt) merupakan salah satu dari sekian banyak remaja beranjak dewasa di luar sana yang mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Menderita social anxiety satu-satunya sahabat yang dapat membuat Evan merasa nyaman untuk berinteraksi hanya Jared Kalwani (Nik Dodani), tidak heran jika Terapis yang menanganinya menyarankan agar ia menulis surat kepada dirinya sendiri yang menyampaikan mengapa "hari ini akan baik". Evan sebenarnya punya kesempatan, ia jatuh dari pohon dan lengannya patah sehingga harus memakai cast, sang Ibu, Heidi Hansen (Julianne Moore) menyarankannya agar meminta teman-temannya di sekolah untuk menandatangani cast tersebut.

Hanya satu orang yang bersedia dan bahkan menawarkan diri untuk membubuhkan tanda tangan di cast Evan. Namanya Connor Murphy (Colton Ryan), ia saudara Zoe (Kaitlyn Dever) yang merupakan secret crush Evan. Celakanya surat yang baru saja Evan print dibaca oleh Connor dan merasa Evan mencoba memprovokasinya lewat surat tersebut. Tiga hari kemudian Evan dipanggil ke kantor kepala sekolah, di sana telah menunggu Larry Mora (Danny Pino) dan Cynthia Murphy (Amy Adams), kedua orangtua Connor. Mereka menyampaikan kabar bahwa Connor telah bunuh diri, tapi juga berterima kasih kepada Evan yang telah berteman dengan anak mereka yang drug addict. Acuan mereka adalah surat yang Evan tulis untuk dirinya sendiri tadi.

Secara inti film yang mengambil kisah dari stage musical berjudul sama karya Benj Pasek dan Justin Paul yang didasari dari buku karangan Steven Levenson ini punya berbagai macam problema coming-of-age yang tampak menarik. Perkenalan di awal memang di bawah harapan tapi setelah mendorong satu musical number Stephen Chbosky berhasil menciptakan duduk perkara utama yang menarik perhatian saya. Sebagai penonton yang tidak masuk kategori reader dari novelnya saya mulai merasa tertarik ketika kejutan muncul dari sosok Connor, seperti sebuah pintu masuk bagi karakter utama kita menemukan jalan untuk meraih apa yang ia harapkan terjadi di dalam hidupnya selama ini, people who want to be found. Dari the bottom hidup Evan Hansen perlahan merangkak naik ke atas, ia semakin dikenal.


Jalannya sendiri memang cukup unik yakni berawal dari sebuah kesalahpahaman yang lantas “dipergunakan” oleh Evan Hansen tidak hanya untuk mendapat benefit bagi dirinya sendiri saja namun juga untuk menyenangkan perasaan orang lain. We call it white lies, to stop someone from being upset by the truth meski sebenarnya meninggalkan perasaan bersalah. Evan Hansen terus berputar di sana dan saya suka situasi tersebut dipakai dengan baik oleh Stephen Chbosky di babak pertama untuk mengembangkan pesona Evan yang kurang impresif di 20 menit pertama. Well, memang tidak selalu menciptakan situasi menyenangkan karena bagaimanapun juga tetap saja posisi Evan Hansen adalah memanfaatkan tragedi yang menimpa Connor untuk menciptakan “kondisi bahagia” terutama meraih keuntungan bagi dirinya.

Situasi itu membuat ‘Dear Evan Hansen’ yang pada dasarnya adalah coming-of-age stories mendadak punya sesuatu yang menarik untuk diamati, yakni mental health issue. Evan yang merasa dirinya “sangat kecil” seperti berpindah sisi, menemukan orang-orang yang tertarik dan bersedia untuk mendengar ceritanya Evan Hansen lantas mempergunakan keterampilan mengarangnya yang oke itu untuk satu per satu merangkai cerita fiksi antara dirinya dengan Connor, a made up world. Namun musical tentang mental illness and suicide memang akan berjalan seperti di atas tali, harus mampu menyeimbangkan dua sisi agar saling melengkapi. Di sana eksekusi Stephen Chbosky terasa kurang seimbang, di satu sisi ia mencoba mendorong “hope” di dalam narasi untuk berbicara tapi kelabakan ketika cerita jadi semakin rumit.


Memang aksi yang dilakukan Evan bersama berbagai the positive reception punya sisi menarik, sebut saja crowdfunding campaign itu namun di sisi lainnya perubahan di dalam diri Evan kurang berhasil menjadi konflik yang menciptakan keseimbangan memikat. Ada masalah tone di sini, keragu-raguan eksekusi Stephen Chbosky terasa nyata ketika cerita berkembang menjadi semakin complicated. Penyeimbangan yang kurang kokoh membuat narasi Dear Evan Hansen tidak stabil kualitasnya, and a bit lost towards the end. Chbosky memang mampu menggabungkan sensitivity serious topics dengan sisi rapuh yang dimiliki karakter utama tapi penyajian dramatisasinya terasa seperti sinetron, tidak membuat penonton merasakan tapi memaksakan apa yang “harus” mereka rasakan. Padahal cerita punya potensi terasa bittersweet.

Simpati, empati dan koneksi memang bersifat krusial dalam film tipe seperti ini dan sayangnya di sana kualitasnya justru terasa biasa saja. Stephen Chbosky seharusnya lebih berani membuat Evan menjadi “pahlawan” dengan emosi yang lebih bergelora tanpa harus menjadikan mental illness Evan terasa ekploitatif, to pick up the pace dan membuat cerita lebih padat (that Alana story, duh) and well explored. Sayang strateginya justru membuat emosi konsisten berjalan di garis lurus untuk menjaga keseimbangan antara musikal dan sisi melodramatis, tapi hasilnya beban bertumpuk yang membuat Chbosky kesulitan mengurainya di babak akhir. Film ini bisa semakin babak belur seandainya ia tampil pure sebagai dramedy, karena stretched staging di bagian drama cukup terbantu musical numbers di sini meski kualitasnya, yah, not great either.


Musical numbers tanpa kejutan, sesuatu yang dapat membuat cerita atau karakter “soaring” tidak eksis, bekerja efektif namun terkesan dikekang oleh Chbosky sejak awal, ada kesan rapuh dan ragu-ragu dalam eksekusi, kombinasi dan koneksinya dengan drama yang sedang berjalan di sekitar juga terasa kurang oke. Saling topang memang dan untungnya elemen drama yang a bit like soap opera tadi punya kinerja acting yang sudah mapan di dalam diri Ben Platt yang telah memerankan karakter tersebut di musical stage pada enam production dari tahun 2014 hingga 2016, tidak heran jika ia tampak luwes dan tidak menjadi masalah terbesar bagi film ini. Amy Adams dan Julianne Moore jadi penyokong kuantitas emosi yang terhitung oke, dan Zoe cukup baik ditangani oleh Kaitlyn Dever. Lagu terbaik di soundtrack adalah “The Anonymous Ones”.

Overall, ‘Dear Evan Hansen adalah film yang kurang memuaskan. Punya potensi terasa bittersweet dengan mengandalkan sensitifitas dari serious topics, adaptasi sinematik dari salah satu musikal Broadway sukses ini kurang berhasil memenuhi tantangan berbicara tentang topik yang sensitif, coming-of-age stories with stretched staging yang tidak membuat penonton merasakan tapi justru memaksakan yang “harus” mereka rasakan. Pada akhirnya ini lebih tampak seperti a made up world yang kurang dieksplorasi dengan baik dan kelabakan ketika cerita menjadi semakin rumit. Musical numbers tidak buruk tapi hadir tanpa kejutan dan menjadikannya sebagai the weakest among "the woke” of cinema musicals yang tampaknya sedang trend saat ini. Not bad, tapi seharusnya bisa lebih baik.







1 comment :

  1. “Because today, no matter what else, today at least you're you. No hiding, no lying. And that's..that's enough. So no matter how hard it gets, even if it feels... impossible, this time you'll know. Don't let go. Just hold on and keep going. Just keep going.”

    ReplyDelete