08 December 2021

Movie Review: Tick, Tick... Boom! (2021)

How do you know, when it's time to let go?

Anak labil sering diasosiasikan dengan mereka yang sedang beranjak dari remaja menuju fase awal hidup sebagai orang dewasa, usia belasan hingga akhir di mana mereka gemar bertindak sesuka hati serta hiraukan semua masalah di muka bumi ini. Tapi setelah lepas dari fase itu anak-anak labil tadi tidak serta-merta langsung menjadi orang dewasa yang stabil, karena mereka akan masuk ke dalam fase baru dan bertemu krisis seperempat abad (quarter-life crisis), sebuah krisis yang dipicu oleh tekanan baik dari diri sendiri ataupun juga lingkungan, merasa belum memiliki tujuan hidup yang jelas, ragu terhadap kemampuan diri, bingung dalam menentukan arah hidup. Dan dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun. Apakah kamu tersenyum membaca kalimat terakhir tadi? If that's true, this story is for you then. ‘Tick, Tick... Boom!’: a love letter for creative and life processes.


Sebuah monologue dipentaskan di New York Theatre Workshop pada tahun 1992, berjudul Tick, Tick... Boom!”, berkisah tentang ticking noise yang terus-menerus muncul di dalam kepala si pencerita, seorang pria yang mengatakan bahwa karakter utama telah berada di penghujung akhir masa mudanya. Namanya Jonathan Larson (Andrew Garfield), beberapa minggu lagi akan berusia 30 tahun dan merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk sukses. Jonathan karyawan the Moondance Diner, restoran kecil dan murah di lingkungan SoHo, Manhattan, New York City dan dengan lantang menyebut dirinya sebagai the future of musical theater saat sedang berpesta bersama para sahabatnya. Jonathan sendiri memang sedang menggarap sebuah proyek musical berjudul “Superbia” yang masih belum tuntas ia tulis.

Berbeda dengan Michael (Robin de Jesús), mantan roommate yang berhenti berakting untuk karier periklanan, Jonathan sangat kukuh untuk mewujudkan mimpinya tadi, ia dibantu beberapa teman di antaranya Roger (Joshua Henry) dan Karessa Johnson (Vanessa Hudgens). Sayangnya masih ada yang kurang dari cerita yang Jonathan tulis dan itu terlihat oleh the producer of the Superbia workshop, Ira Weitzman (Jonathan Marc Sherman) yang meminta Jonathan menulis satu lagu baru. Hal yang sebenarnya sudah pernah disarankan oleh idolanya Stephen Sondheim (Bradley Whitford) terus menghantui dan mengganggu pikiran Jonathan, menciptakan masalah salah satunya pada kisah cintanya dengan Susan Wilson (Alexandra Shipp).

In his feature directorial debut ini Lin-Manuel Miranda yang dua tahun terakhir sibuk sebagai composer untuk beberapa buah project sebenarnya tidak mengemban tugas yang berat untuk membuat agar konflik dan isu mencuri atensi penontonnya, kisah seorang pria dengan mimpi besar yang diangkat dari musical berjudul sama karya Jonathan Larson yang menjadi karakter utama di sini dalam bentuk versi fiksi. Salah satu kalimat yang terlontar dari mulut Jonathan di bagian awal adalah bagaimana ia menerima surat penolakan dari major and minor producer, theater company, record label, and film studio in existence sudah lebih dari cukup untuk mendorong situasi sulit yang menjadi bagian dari perjuangan hidupnya satu minggu sebelum genap 30 tahun, when his youth will be over forever. Pesona Jonathan langsung terasa kuat.


Sangat mudah memang untuk merasa dekat dengan sesuatu yang pernah pula kamu rasakan dan lalui di kehidupan nyata, dan meski memang tidak berada di kategori serupa namun jika dilihat dan dinilai secara global maka situasi yang Jonathan harus lalui itu mungkin juga menjadi salah satu “warna” menarik dalam perjuangan hidup banyak orang. Konflik dan isu tersebut langsung mencuri atensi yang secara cermat lantas dibentuk screenwriter Steven Levenson agar menggunakan konsep layaknya sebuah stand-up comedy, menempatkan Jonathan sebagai tidak hanya sebagai tokoh utama saja namun juga sebagai narrator bagi kisah hidupnya sendiri. Tentu lelucon jadi bagian wajib dari stand-up comedy dan Jonathan menertawakan hidupnya tapi tidak hanya dengan bermonolog namun disertai pula dengan musik.

Di sana Lin-Manuel Miranda mempertontonkan keahliannya, creative control utuh berada di tangannya dan tidak ia sia-siakan. Pertama ia sukses menyeimbangkan dua elemen utama dalam cerita, yaitu drama dan musical, punya porsi dan momen yang oke serta koneksi yang terjalin baik di antara keduanya, saling mengisi di paruh awal dengan permainan antara lirik dan dialog yang saling bahu mendorong maju narasi. Itu yang membuat saya terkesima dengan Tick, Tick... Boom! di paruh awal hingga berlanjut menuju garis finish, ada thread yang menarik untuk diamati dalam narasi yang sebenarnya bermain sedikit nakal, punya berbagai loncatan yang sangat mudah membuat beberapa penonton kehilangan koneksi emosi dengan cerita dan karakter meski sebenarnya “dunia” yang dibentuk Lin-Manuel Miranda terasa easy to follow.


Berbagai loncatan tersebut sebenarnya lebih kepada upaya Miranda menjadikan film ini sebagai varian sinematik bagi existing stage musical karya Jonathan Larson itu. Musical numbers with catchy songs tidak hanya berperan sebagai pendamping bagi konflik yang menjadi pusat, justru musical adalah masalah terbesar bagi karakter utama kita. Ada musical di dalam musical di sini, mencoba berbicara tentang satu sosok individu yang sedang berjuang di fase akhir usia 20an on a meta-level drama. Panggung musical digunakan Jonathan menceritakan bagaimana rasanya berjuang untuk sebuah mimpi dalam waktu yang lama, tantangan untuk terus percaya bahwa mimpi itu dapat ia wujudkan meski tidak ada yang membantunya memberi harapan, tidak berhenti berjuang tanpa peduli seberapa besar hambatannya. Universal.

Tick, Tick... Boom! memang semi-autobiographical tentang warisan seniman muda serta sebuah perayaan terhadap creative work and creative processes, namun entah mengapa perjuangan Jonathan justru dikemas Lin-Manuel Miranda agar menjangkau ranah yang lebih luas, yakni perjuangan hidup anak muda yang bersiap mengakhiri masa mudanya. Dipentaskan dengan baik oleh Miranda terutama saat menggabung dua dunia tentang musical, menempatkan perjuangan Jonathan sebagai panggung bagi panggung musical yang berperan menggiring maju narasi berisikan isu, pesan, dan tentunya konflik yang akan terasa sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari penontonnya. Kita semua pasti punya mimpi dan ingin memperjuangkan itu sebisa mungkin, begitupula Jonathan, yang terjadi di sekitarnya menjadi sumber inspirasi yang on target dan manis.


Menyenangkan memang ketika kamu diajak menarik kecil sembari menyaksikan uplifting story dengan protagonist yang solid. Tidak melulu indah memang, seperti hidup itu sendiri ada bagian cerita yang terasa sedikit tragis namun jauh dari kesan bahwa mereka hadir untuk menjadi gimmicks belaka. Lin-Manuel Miranda bersama Steven Levenson tata agar cerita terasa very human dan dikendalikan dengan baik oleh Andrew Garfield. Musical sendiri bukan hal baru bagi mantan pemeran Spider-Man ini, dua buah nominasi Tony Awards telah ia kantongi dan menjadi pemenang di tahun 2018 yang lalu, di tangannya sosok pemimpi yang egosentris di dalam diri Jonathan Larson terasa memikat, dari energi hingga bernyanyi ia membuat penonton bersedia mendengarkan kisah hidup Jonathan Larson. Alexandra Shipp dan Robin de Jesús adalah kompatriot yang oke di sektor drama sedangkan Joshua Henry dan Vanessa Hudgens tampil baik menyokong Garfield as a musical performer.

Overall, ‘Tick, Tick... Boom! adalah film yang memuaskan. In his feature directorial debut ini Lin-Manuel Miranda berhasil menyajikan sebuah uplifting story yang easy to follow, kisah perjuangan hidup yang mudah untuk ditemukan di kehidupan nyata sehingga membuat penonton merasa dekat dengan karakter utama, yang diperankan dengan baik oleh Andrew Garfield sebagai pusat bagi berbagai macam kemeriahan di sekitarnya, drama dengan emosi oke dan musical with catchy songs dengan porsi dan momen yang seimbang serta saling mengisi satu sama lain. Mimpi, pekerjaan, hingga percintaan, hidup tidak akan bebas dari kesedihan, and sometimes ambition eats right through you, but you have to keep throwing them against the wall and hoping against hope that eventually, something sticks. Meanwhile, be proud. Break a leg! Segmented.






1 comment :