27 June 2021

Movie Review: In the Heights (2021)

"Best days of my life."

Tiga orang pria keluar dari studio bioskop ketika saya menyaksikan film ini, sekitar di pertengahan dari durasi total film. Ketiga pria tersebut duduk di baris depan kursi saya dan yang saya tangkap adalah mereka merasa “bingung” kenapa karakter berdialog satu sama lain dengan cara terus menerus bernyanyi? Film terbaru dari Sutradara ‘Crazy Rich Asians’ yang musiknya ditangani oleh sosok dibalik lantunan musik film ‘Hamilton’ dan ‘Moana’ ini adalah sebuah musical dan wajar jika karakter kemudian akan sering bernyanyi dan menari, sesuatu yang sangat mendominasi di film ini, sebuah presentasi romansa musical terbaik yang rilis setelah si cantik ‘La La Land’. ‘In the Heights’ : a joyous and infectious movie musical experience.


Di sebuah pondok teduh di tepian pantai pria bernama Usnavi de la Vega (Anthony Ramos) sedang bercerita kepada beberapa orang anak kecil kisahnya ketika tinggal di Washington Heights, salah satu lingkungan di sudut kota New York yang menjadi rumah bagi beberapa komunitas pendatang. Usnavi yang merupakan pemiliki toko bahan pangan itu menceritakan beberapa orang, dari Abuela Claudia (Olga Merediz) yang membesarkannya, wanita pekerja salon bernama Daniela (Daphne Rubin-Vega), Carla (Stephanie Beatriz), dan Cuca (Dascha Polanco), termasuk sepupunya Sonny de la Vega (Gregory Diaz IV) dan wanita bernama Vanessa Morales (Melissa Barrera).

Nama terakhir adalah sosok yang sangat dipuja oleh Usnavi tapi sayang cintanya tak berbalas. Washington Heights juga menyambut kepulangan sosok populer bernama Nina Rosario (Leslie Grace), pujaan hati Benny (Corey Hawkins), karyawan Ayah-nya Nina, Kevin Rosario (Jimmy Smits). Ada isu dan konflik berbeda bagi tiap penghuni Washington Heights, Vanessa ingin menjadi fashion designer sedangkan harga sewa salon Daniela telah naik, sementara Nina berniat berhenti dari Stanford University. Sedangkan Usnavi baru saja diberitahu oleh Pengacara mendiang sang Ayah bahwa bisnis orangtuanya di Republik Dominika akan dijual, bisnis yang ingin ia hidupkan kembali.

Tidak mudah menemukan film yang mampu dengan sangat cepat mencuri perhatian penontonnya dan membuat mereka bergumam “wah, keren”. ‘In the Height’ tidak butuh waktu lama untuk itu, ia akan membuatmu merasa seperti masuk ke dalam sebuah wilayah yang unik di salah satu sudut kota New York lewat presentasi berani. Tahap perkenalan karakter beserta latar belakang masalah disajikan menggunakan vocal performances, actors singing almost every single of their own line. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan yang diterapkan Sutradara Jon M. Chu ini akan terasa ganjil bagi beberapa orang, menempatkan opini penonton bahwa hingga akhir narasi akan berjalan seperti itu.


The musical numbers di bagian awal itu punya eksekusi yang sebenarnya terasa oke, mampu menginjeksi kesan unik tadi dengan rasa segar terhadap konflik cerita yang sesungguhnya tidak sepenuhnya baru. Namun opini di atas tadi adalah sesuatu yang terasa wajar mengingat durasi opening sendiri yang tidak singkat, “ini bakal nyanyi terus?” mungkin itu yang akan terlintas di pikiranmu. Tidak, setelah bagian itu lantas hadir percakapan berisikan dialog tanpa musical numbers meskipun kemudian akan berkombinasi kembali dengan musical numbers. Di sini letak kepiawaian seorang Jon M. Chu (Crazy Rich Asians) terutama dalam menata energi tiap potongan cerita.

Bahkan di sini kamu akan bertemu cukup banyak dance sequences yang juga mampu memancarkan pesona menyenangkan, dikendalikan dengan baik oleh Jon M. Chu yang sebelumnya pernah menangani dua buah film Step Up. Screenplay yang ditulis Quiara Alegría Hudes sebenarnya mengandung cukup banyak konflik dan isu, dari ambisi mengejar mimpi misalnya serta potret dari perjuangan imigran menemukan “rumah” mereka, tapi menariknya tidak ada satupun dari mereka yang presentasinya terasa berat. Justru sebaliknya, dikemas agar terasa global dan mudah dinikmati lalu dikombinasikan dengan konsisten menekankan vibe positif di posisi terdepan.


Saya suka dengan eksekusi Jon M. Chu, menempatkan perjuangan sebagai bagian dari sebuah perayaan dan ekspresi sukacita para karakter. Bahkan di tengah hiruk pikuk narasi yang berporos pada kisah cinta antara empat karakter itu kamu dapat menemukan isu kecil namun manis tentang perjuangan orangtua bagi anak mereka. Tidak ada yang dieksplorasi terlalu jauh memang sehingga terasa sedikit kurang jika kita berbicara tentang kedalaman emosi, begitupula dengan beberapa transisi dalam jumlah kecil yang kurang halus di musical numbers. Namun tercipta perpaduan yang seimbang serta mampu membuat mengunci atensi dan antusiasme penonton.

Terlebih jika sedari awal kamu tahu ini adalah sebuah sajian musical dan juga paham cara mereka bermain dengan penontonnya. Experience merupakan nilai utamanya dan film ini berhasil memberikan sebuah sajian segar kepada penonton yang selama satu tahun terakhir ini mungkin rindu akan pengalaman menonton di bioskop. Tata suara bioskop menunjang manisnya musik gubahan Lin-Manuel Miranda bersama Alex Lacamoire dan Bill Sherman, dari hip-hop, rap, salsa, dance serta penggunaan lirik berbahasa Spanish, ada ritme yang cantik dan kesan playful yang menyokong narasi untuk konsisten bergerak dinamis mengitari sudut kota New York. 


Narasi bergerak luwes antar bagian dengan koreografi yang menjadi selimut terakhir bagi musical numbers yang exciting itu, dieksekusi dengan baik oleh para aktor yang tampil bersinar bersama masing-masing karakter yang diperankan. Beberapa jokes yang terselip di dalam cerita juga mereka tampilkan dengan baik di samping konflik personal yang dihadapi oleh karakter mereka. Anthony Ramos dan Melissa Barrera berhasil menjadikan kisah cinta karakter mereka terasa imut, sedang Leslie Grace dan Corey Hawkins sukses menjadi lapis kedua yang oke. Chemistry yang terbentuk di antara para aktor juga oke di hampir seluruh jajaran cast.

Overall, ‘In the Heights’ adalah film yang memuaskan. Menonton film ini merupakan sebuah pengalaman yang terasa mengesankan, terlepas dari cerita yang mengusung konflik klise Sutradara Jon M. Chu bersama dengan tim-nya mampu meramu ulang formula klasik musical menjadi sebuah presentasi yang terasa menyegarkan, sebuah perayaan hidup dan tentu cinta yang terasa menggembirakan bersama karakter yang bernyanyi dan menari dengan energi yang infectious. Memang peruntukannya tidak untuk semua orang, tapi jika kamu menyukai musical kamu akan dibuat jatuh cinta pada film ini, presentasi romansa musical terbaik yang rilis setelah ‘La La Land’. Segmented.








1 comment :

  1. “A dream isn't some sparkly diamond we get. Sometimes, it's rough. And it's not so pretty.”

    ReplyDelete