13 April 2020

Movie Review: The Other Lamb (2019)


“He knows our private rhythms.”

Bukan berarti dunia semakin banyak berisikan kesesatan, namun seiring semakin berkembangnya pemikiran manusia kini semakin mudah menemukan berita di mana muncul berbagai kultus yang mencoba eksis, dari yang mengedepankan politik hingga kepercayaan religious. Hal tersebut menjadi salah satu materi empuk untuk dieksplorasi bagi para filmmaker, menggunakan berbagai keunikan atau bahkan keanehan yang menjadi ciri khas kultus untuk menyajikan dramatisasi yang kerap mencoba memprovokasi atau hanya sekedar menciptakan opini penuh ambiguitas. ‘The Other Lamb’ : what happen when Midsommar fall asleep.

Wanita muda bernama Selah (Raffey Cassidy) secara garis besar sama seperti wanita lainnya pada sebuah komunitas yang dipimpin oleh seorang pria yang mereka panggil sebagai Shepherd (Michiel Huisman). Tinggal di dalam hutan dengan segala macam keterbatasan akses interaksi sosial dan juga komunikasi dengan dunia luar, Shepherd merupakan segalanya bagi Selah dan para wanita lain di komunitas tersebut, ia yang mengajarkan mereka dengan hal-hal yang selama ini tidak mereka ketahui, ia yang menjadi pelindung mereka, ia pula yang menjadi kekasih mereka.

Suatu ketika masalah menimpa komunitas tersebut yang memaksa Shepherd untuk mengambil keputusan, yaitu mereka harus pindah untuk menemukan rumah atau tempat tinggal baru yang mereka sebut Eden. Selah memiliki sedikit perbedaan dengan wanita lainnya, meskipun mengikuti ajaran dari Shepherd namun di sisi lain wanita muda yang keras kepala itu telah merasakan ada hal ganjil pada diri Shepherd. Perjalanan yang harus mereka lakukan tersebut kemudian membawa Selah ke babak baru pada rasa ragunya tersebut, apa yang sebenarnya terjadi di dalam komunitas yang hanya memiliki satu orang pria tersebut?
Menyebut dirinya sebagai sebuah horror pada dasarnya merupakan sebuah trik yang digunakan oleh ‘The Other Lamb’ untuk membentuk image yang ia miliki, karena di sisi lain pada dasarnya ini merupakan sebuah drama dengan rasa art house yang dapat dibilang cukup kuat dan kental. Screenplay yang ditulis oleh C.S. McMullen memiliki struktur dengan eksposisi yang bermain layaknya sebuah film art house, begitupula dengan cara Sutradara Małgorzata Szumowska membentuk materi tersebut. The Other Lamb terus menebar ambiguitas yang terasa “melayang” dengan berbagai tanda tanya di dalam cerita, cara ia berjalan juga tampak tenang seolah tidak mau terlalu terburu-buru untuk melangkah maju.

Tipe bercerita seperti itu bukan sesuatu yang buruk sebenarnya namun di sisi lain harus pula didampingi dengan pertanyaan dan misteri yang memiliki kualitas dan pesona mumpuni dan konsisten sepanjang film. Małgorzata Szumowska berhasil menciptakan itu di bagian awal, menyaksikan sekumpulan wanita dari usia dewasa hingga anak-anak berada di sebuah hutan memuja dengan sangat seorang pria tentu menciptakan sebuah pertanyaan besar. Rasa penasaran penonton berhasil dibawa naik secara perlahan melalui karakter Selah, dari awalnya hanya melalui tatapan mata penonton seolah dituntun untuk ikut merasakan bahwa ada sesuatu yang “salah” di dalam komunitas tersebut.
Dari sana setiap momen yang kemudian muncul harus diakui masih terasa menarik, kita dibuat mengamati sembari menantikan pengungkapan apa yang akan muncul. Hal tersebut juga dibarengi dengan kondisi di mana berbagai isu lain juga satu per satu muncul, dari hubungan antara pria dan wanita misalnya, bersama dengan Selah penonton dapat merasakan situasi “terperangkap” yang dialami karakter utama kita itu. Terisolasi dari kehidupan luar matanya mulai terbuka, namun sayangnya dengan kecepatan yang terasa lambat. Hingga pada satu titik di mana proses mencoba mengamati isi kepala Selah itu jadi terasa repetitif dan monoton, penonton yang dibuat menunggu perlahan akhirnya akan merasakan situasi stuck.

Penyebabnya adalah meskipun memiliki karakter utama yang menarik namun di sekeliling karakter utama itu tidak ada materi, konflik, atau isu yang memiliki daya tarik dengan kontras yang kuat. Mereka eksis, tapi terasa redup, dan jumlah mereka juga tidak banyak. Teknis presentasi yang digunakan Małgorzata Szumowska mengandung banyak metaforis dan alegoris yang terasa kurang kuat, contohnya seperti penindasan wanita yang eksis namun tidak punya power yang memikat. Szumowska justru membentuk ambiguitas di bagian-bagian itu, shot panjang yang kemudian bergerak mendekat ketika karakter sedang menatap pada satu titik, seolah-olah menunjukkan ada sesuatu yang besar atau menarik tersimpan di sana.
Sayangnya teknik tersebut kurang berhasil di sini. Bergerak dengan pace yang lamban koneksi yang terjalin antara ide dasar dengan berbagai alegori dan metaforis tadi terasa kurang oke. Hal tersebut terasa miris karena upaya untuk tampak misterius itu telah mengorbankan development yang seharusnya dapat terasa lebih simple dan tajam, di sini mereka justru terasa tumpul. Małgorzata Szumowska ingin penonton mengerti dari proses mengamati bersama berbagai kiasan, dia ciptakan atmosfir eerie yang oke dengan tensi yang tidak terasa buruk, visual juga terasa cantik dengan permainan warna yang terasa vivid, tapi sayangnya yang Szumowska berikan hanya akses namun tidak dengan subjek dan objek yang sangat menarik hingga akhir.

Pada akhirnya pada momen ketika Selah menggendong domba itu tidak ada sebuah “tamparan” yang terasa mantap. Cerita akan meninggalkan pintu yang terbuka lebar bagi para penonton untuk bermain dengan interpretasi mereka masing-masing, namun buat saya itu terasa kurang oke mengingat presentasi yang ia tampilkan sendiri tidak mengandung konflik atau isu dengan pesona yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi. Raffey Cassidy (Tomorrowland, The Killing of a Sacred Deersudah berusaha dengan baik menjadikan karakter Selah sebagai wanita dengan pergerakan motif yang terasa oke, namun sayangnya ia tidak dipersenjatai dengan materi yang kuat untuk dapat “mengganggu” pikiran para penonton setelahnya.
Overall, ‘The Other Lamb’ adalah film yang kurang memuaskan. Berhasil membawa penonton bertemu dengan Selah dan kemudian membawa mereka masuk ke dalam “pikiran” wanita muda tersebut bersama dengan permainan mood dan atmosfir cerita yang oke, sayangnya ‘The Other Lamb’ tidak punya kedalaman yang menarik di bagian cerita, memiliki berbagai isu yang sebenarnya dapat menjadi provokasi yang menarik namun sayangnya tidak memiliki pesona mengintimidasi yang kuat serta kemampuan untuk “mengganggu” pikiran penonton, hal yang sangat penting dimiliki oleh film yang mencoba tampil ambigu sejak awal agar penonton dapat bermain dengan interpretasi mereka masing-masing kemudian. Segmented.








3 comments :