28 June 2021

Movie Review: Baseball Girl (2020)

“You need more experience in failing.”

Apa rencana kamu nanti setelah lulus sekolah? Begitu pertanyaan yang diterima oleh seorang wanita muda yang di saat teman wanitanya sedang giat berlatih dance untuk mengikuti audisi menjadi idol dia justru tidak gentar dan kukuh pada pendiriannya. Wanita tersebut memiliki sebuah rencana sebenarnya, ia ingin diterima klub baseball dan menjadi pemain professional. Sejak berdiri salah satu aturan yang diterapkan oleh KBO League adalah bahwa pemain yang secara biologis bukan laki-laki otomatis akan didiskualifikasi. ‘Baseball Girl’ : a simple uplifting drama.


Yang langsung dilakukan oleh Joo Soo-in (Lee Joo-young) saat lembar ujian dibagikan adalah, tidur. Remaja wanita satu ini memang dikenal sebagai pelajar yang memiliki grades yang sangat jelek, tapi hal tersebut tidak pernah membuat Soo-in malu meski resikonya dirinya akan selalu dimarahi oleh sang Ibu, Shin Hae-sook (Yeom Hye-ran). Ekonomi keluarga Soo-in memang lemah apalagi sang Ayah (Song Young-kyu) masih terus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Hae-sook bahkan telah mencoba agar anak sulungnya tersebut dapat memperoleh pekerjaan dan mengalihkan ambisinya untuk menjadi pemain baseball.

Soo-in memiliki sebuah mimpi yang besar, yakni untuk dapat menjadi pemain bagi sebuah tim baseball professional. Ia merasa bahwa statusnya sebagai seorang wanita bukan menjadi penghalang dan yakin bahwa yang harus ia lakukan adalah berlatih meningkatkan kemampuannya sebagai seorang pitcher. Pelatih baru di tim baseball sekolah Soo-in, Choi Jin-tae (Lee Joon-hyuk) merasa bahwa ambisi siswanya tersebut terasa mustahil, karena kecepatan lemparan Soo-in saat ini hanya berkisar 130-kph sedangkan standar pro team ada di angka 150-kph.

Disutradarai dan juga ditulis oleh Choi Yoon-tae film ini merupakan sebuah sajian yang sebenarnya formulaic, kisah perjuangan karakter utama untuk mengejar mimpi di mana ia menunjukkan kegigihan dan sikap pantang menyerah. Di sampingnya ada rintangan yang hadir lewat permasalahan gender serta kemampuan melempar bola Soo-in yang masih berada di bawah standar professional. Dari sana kemudian Choi Yoon-tae mengeksplorasi isu dan konflik secara lembut tapi yang saya suka adalah ia dengan piawai meletakkan batu-batu masalah menjadi pondasi yang terasa kuat. Sehingga kemudian sangat mudah untuk jatuh hati pada Soo-in.


Soo-in adalah karakter yang menarik, kamu bisa rasakan pesona tangguhnya sejak awal kemunculannya. Sikap dan jiwa “pemberontak” yang ia punya mungkin tampak menjengkelkan tapi terasa berdasar terlebih setelah kamu melihat kemampuannya, potensi besar ada di dalam dirinya. Permasalahan gender itu sendiri dikembangkan menjadi sebuah dinding penghalang bagi tidak hanya melalui karakter Lee Jung-ho (Kwak Dong-yeon) dan Choi Jin-tae saja, orang-orang yang seharusnya mendukung ambisi Soo-in justru mengingatkannya bahwa bukanlah sesuatu yang memalukan untuk menyerah ketika harapan itu memang sudah tidak ada lagi.

Itu mengapa sikap gigih Soo-in terus eksis sejak awal hingga akhir dan pelan-pelan terus bersinar semakin terang. Di sini letak keberhasilan lainnya dari Choi Yoon-tae, setelah membuat penonton tertarik dengan perjuangan Soo-in ia juga membuatmu memiliki ikatan emosi dalam kuantitas yang oke dengan Soo-in. Tidak hanya simpati tapi juga empati mengingat meski bertemakan baseball tapi perjuangan Joo Soo-in merupakan perjuangan mengejar mimpi yang terasa umum, ketika ia menghadapi kesulitan ada harapan agar itu segera berlalu sedangkan ketika kesempatan itu tiba kamu juga akan dibuat bersemangat mendukung Soo-in.


Soo-in sendiri merupakan karakter yang tidak berusaha terlalu keras membuat para penonton merasa “kasihan” pada dirinya, ia ditempatkan oleh Yoon-tae dalam posisi seorang pejuang yang hendak mengalahkan rintangan tidak hanya dengan sikap beraninya saja tapi juga dengan kemampuannya, untuk membuktikan kepada orang-orang yang selama ini meragukannya. Menariknya di sini Choi Yoon-tae membagi beberapa karakter pendukung ke dalam beberapa kelas yang membuat penonton dapat merasakan excitement tumbuh secara bertahap, dari Lee Jung-ho yang sejak awal percaya serta Choi Jin-tae yang akhirnya sadar dan berubah.

Dan tentu saja Shin Hae-sook yang terkejut di akhir cerita. Tidak ada momen di mana narasi kehilangan momentum, geraknya memang terasa perlahan tapi ada eksposisi yang terasa dinamis di sana. Semangat perjuangan itu terus dipompa sehingga meski jalannya narasi terasa formulaic serta cerita yang predictable tapi sebagai penonton kamu akan merasakan something special di dalam diri yang sukses membangkitkan semangat penontonnya. Tidak tajam sebenarnya tapi dalam kuantitas dan kualitas yang tepat berhasil menyajikan penggambaran yang terasa segar terhadap formula klise yang juga bercerita tentang konflik dan isu yang tidak sepenuhnya segar.


Alasan lain mengapa ‘Baseball Girl’ terasa segar ialah karena juga memiliki karakter dengan pesona yang terasa menarik. Lee Joo-young sukses membentuk sosok wanita muda yang penuh ambisi di dalam diri Soo-in, sikap keras kepalanya terasa memikat sedangkan sikap gigihnya tidak terasa berlebihan penggambarannya. Soo-in sosok yang dingin sebenarnya tapi berhasil Joo-young tampilkan pula dengan kesan cool yang sama baiknya. Karakter Lee Joon-hyuk dan Yeom Hye-ran di sini mengemban tugas yang sama, menjadi rintangan dan cambuk semangat bagi Soo-in, ditampilkan dengan baik oleh keduanya lengkap dengan gejolak emosi yang mumpuni.

Overall, ‘Baseball Girl (Yaguseonyeo) adalah film yang memuaskan. Kisah mengejar mimpi serta mewujudkan ambisi ini terasa formulaic dan predictable tapi memiliki sesuatu yang terasa spesial dalam hal kemampuan membuat para penonton merasa ikut terlibat dalam perjuangan Soo-in dalam mengalahkan kelemahannya serta membangun kekuatan yang ia punya. Mengeksplorasi isu dan konflik secara lembut Choi Yoon-tae sukses membuat penonton langsung jatuh hati pada Soo-in, mendorong konflik yang global itu untuk menarih simpati dan empati untuk kemudian memoles ikatan emosi yang terjalin antara Soo-in dan penontonnya. Pola yang sederhana sukses menghadirkan dramatisasi yang terasa uplifting.










1 comment :

  1. “You can never get rid of your weakness. Instead, you should develop your strong points.”

    ReplyDelete