30 May 2016

Review: X-Men: Apocalypse [2016]


"The world needs the X-Men."

Ketika dua tim superhero lain masih bermain-main dengan mediocrity dan elegant, X-Men terus tampil stabil dengan caranya sendiri tanpa disibukkan dengan dua hal tadi. Meskipun tidak selalu sukses untuk bergerak maju sangat jauh namun X-Men film series (selain Deadpool) selalu lebih mampu menjembatani gelap dan terang dari superhero, ia serius tanpa terkesan gelap yang berlebihan, ia playful namun tidak childish dan menggerus sisi super dari karakter. First Class hadir sebagai upaya restart, Days of Future Past melanjutkan proses, dan X-Men: Apocalypse berhasil meneruskan misi tersebut. It’s another style, substance, and sensation from X-Men. Wake your ass up cause it's time to go beast mode!

Satu dekade setelah insiden di Washington Profesor Charles Xavier (James McAvoy) kini menjalankan sebuah sekolah bagi anak-anak yang memiliki bakat kekuatan super, Magneto (Michael Fassbender) hidup bahagia bersama anak dan istrinya sebagai Erik Lehnsherr, dan Raven/Mystique (Jennifer Lawrence) berkeliling dunia untuk membebaskan para mutan yang diperbudak. Namun suatu ketika kehidupan mereka dan para X-Men lainnya harus terganggu oleh sebuah masalah super besar, kemunculan kembali En Sabah Nur/Apocalypse (Oscar Isaac) yang terbangun dari tidurnya. Apocalypse merupakan mutan pertama dan terkuat yang disembah sebagai dewa, dan setelah merekrut Psylocke (Olivia Munn), Ororo Munroe/Storm (Alexandra Shipp), serta Archangel (Ben Hardy) bersiap untuk menghancurkan umat manusia.


Sinopsis di atas tadi adalah versi sederhana dari konflik di dalam cerita yang dimiliki oleh X-Men: Apocalypse, karena faktanya apa yang terjadi di X-Men: Apocalypse melibatkan lebih banyak karakter yang pada akhirnya membuat ini terasa sedikit sesak. X-Men: Apocalypse adalah wujud nyata dari usaha dua film sebelumnya untuk membentuk tim superhero mutan versi baru, melanjutkan proses rebuild dari misi restart yang ia lakukan dengan mundur ke tahun 1980-an. Misi utama tersebut berhasil dieksekusi dengan baik oleh Bryan Singer, ia kembali sukses melanjutkan proses menyusun kepingan demi kepingan dari tim superhero mutan ini dengan cara yang halus, bagaimana kita diajak mengucapkan selamat tinggal pada karakter dalam bentuk lama dengan cara mendorong karakter dalam bentuk baru yang sukses menawarkan pesona yang tidak kalah menariknya.


Ya, hal terbaik dari X-Men: Apocalypse adalah misinya masih sama dengan dua film terdahulunya tapi ia mampu menampilkan proses rakit dan upgrade yang sama itu dengan cara yang segar. Ruang yang telah terbentuk di film sebelumnya kini dikembangkan menjadi lebih luas lagi dengan cara yang wise dan padat, beberapa momen segar disuntikkan tanpa mencuri perhatian secara berlebihan tapi di sisi lain fokus utama cerita tetap teguh di titik pusat. Sama seperti Days of Future Past energi X-Men: Apocalypse terus terjaga dengan baik, ia menampilkan kombinasi serius dan santai yang tidak kikuk, mereka saling menyeimbangkan satu sama lain, sama seperti yang dilakukan oleh karakter. Di sini karakter belajar satu sama lain untuk bekerja sebagai sebuah tim, mereka berhasil meninggalkan kesan bahwa X-Men merupakan sebuah tim solid dengan menampilkan sebuah teamwork ketika berusaha menyelamatkan dunia dari kehancuran.



Berbicara tentang “kehancuran” dunia X-Men: Apocalypse memang terasa lemah, namun itu bukan hal yang baru sebenarnya karena selama ini X-Men juga selalu kesulitan menampilkan musuh utama yang benar-benar menakutkan. Sangat disayangkan memang karena En Sabah Nur/Apocalypse punya kriteria yang sudah sangat baik untuk menjadi villain paling mengintimidasi yang pernah dimiliki oleh X-Men film series, namun di sini ia tampil sama persis seperti yang dilakukan villain dari superhero lainnya, just to stay there. Tapi itu tidak sepenuhnya buruk, Apocalypse punya beberapa momen menarik meskipun tidak pernah didorong lebih jauh oleh Bryan Singer. Di sini Bryan Singer seperti kembali ingin agar semuanya tampil compact, setiap karakter punya kedalam emosi, konflik, dan motivasi yang hanya sebatas cukup untuk masuk kedalam cerita yang utama yang masih berusaha menjahit konflik utama.



Dari sisi substance X-Men: Apocalypse tampil baik, dan hal tersebut juga mampu dilakukan oleh style dan sensation. Sama seperti cerita X-Men: Apocalypse juga punya kedalaman yang oke ketika menampilkan sisi fantasi yang ia punya, ya walaupun CGI effect yang ia punya di beberapa bagian terasa sedikit norak tapi rasa fun dari style yang digunakan konsisten menarik sejak awal hingga akhir. Yang paling menarik dari bagian ini kesan stylish dari setiap karakter berhasil ditampilkan dengan tepat guna, seperti narasi yang tidak pernah goyah setiap karakter berhasil memberikan punch yang menarik dari momen mereka masing-masing. Karakter yang sudah pernah tampil membawa pesona kekuatan mereka ke naik satu tingkat, sementara karakter baru meskipun memiliki kesempatan yang terbatas namun tetap mampu meninggalkan impresi yang kuat terkait pesona yang mereka miliki. Scene-stealer dari cast masih sama: Quicksilver! 


Pesona dari masing-masing karakter merupakan kunci dari kemampuan X-Men: Apocalypse untuk menjaga sensasi yang ia tampilkan untuk terus stabil. Ensemble solid, semua karakter punya busur emosi dan konflik yang oke. McAvoy, Fassbender, dan Lawrence kembali berhasil membuat karakter mereka tumbuh kea rah yang lebih baik lagi, sementara Oscar Isaac meskipun kurang berhasil memaksimalkan ide mendominasi gaya Hitler untuk tampil mengintimidasi namun tetap mampu menjaga ketegangan dari masalah utama cerita. Nicholas Hoult (Hank McCoy/Beast), Rose Byrne (Moira MacTaggert), dan Evan Peters juga berhasil menjadi penyokong cerita yang manis. And another best thing from X-Men: Apocalypse: new characters introduction, dari Tye Sheridan (Scott Summers/Cyclops), Sophie Turner (Jean Grey/Phoenix), Olivia Munn (Elizabeth Braddock/Psylocke), Kodi Smit-McPhee (Kurt Wagner/Nightcrawler), dan Alexandra Shipp (Ororo Munroe/Storm), all of them have their own moment and punch.



X-Men: Apocalypse adalah sebuah perang antar saudara yang “bekerja” secara dewasa namun dikemas dengan cara yang serius dan fun. X-Men: Apocalypse punya ambisi namun tidak tenggelam dalam nafsu yang berlebihan sehingga hasil akhirnya sebuah presentasi yang mampu menampilkan ide dan misi yang ia miliki dengan tepat guna. Tidak banyak gebrakan baru di sini, formula masih sama dan cerita bahkan punya potensi untuk terasa bertele-tele, namun secara perlahan dan meyakinkan Bryan Singer berhasil melanjutkan proses menyatukan setiap kepingan untuk membentuk X-Men. Serious with a lot of usefull goofiness, it’s another style, substance, and sensation from X-Men.





















Cowritten with rory pinem

0 komentar :

Post a Comment