30 April 2014

Movie Review: The Amazing Spider-Man 2 (2014)


I like to think Spider-Man gives people hope.

Di edisi pertama reboot miliknya dua tahun lalu itu superhero jenius dengan gerak cepat dan refleks yang memikat ini berhasil membuktikan bahwa ia tidak menjadi sesuatu yang totally useless ketika kembali beraksi bersama tubuh dibalut latex ketat itu hanya lima tahun setelah ia melakukan aksi terakhirnya. Sukses menampar sikap pesimis, beban yang sedikit berkurang, edisi kedua ini berhasil tampil lepas untuk menawarkan kembali cerita familiar itu dalam sebuah petualangan yang menyenangkan masih dengan aksi terbang dan melayang di antara gedung pencakar langit kota New York. The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro, when music and action sequence kill a bit draggy story minus. I'll simply say it's on again, it's on again. 

Cute couple itu harus meninggalkan sekolah tempat mereka bertemu yang ditandai dengan acara upacara wisuda kelulusan, momen dimana Gwen Stacy (Emma Stone) menyampaikan pidatonya sementara disisi lain Peter Parker (Andrew Garfield) masih harus menyelamatkan kota New York dari aksi brutal seorang Russian Mobster bernama Aleksei Sytsevich (Paul Giamatti). Semua memang berakhir indah, namun dari sana pula awal dari kemunculan bayangan yang selalu mencoba mengingatkan Peter pada janjinya untuk menjauh dari Gwen, menyebabkan kisah manis yang mereka punya berubah menjadi rumit.

Paska peristiwa tersebut Peter memutuskan untuk kembali menuntaskan hasrat miliknya dengan mencari tahu keberadaan ayahnya (Campbell Scott). Hal tersebut ternyata menyimpan sebuah fakta yang membawa Peter menuju Oscorp, perusahaan atau kerajaan bisnis yang memiliki pemimpin baru setelah ditinggal Norman Osborn (Chris Cooper) dan kini dikendalikan oleh Harry Osborn (Dane DeHaan), sahabat karib Peter yang masih bergelut dengan masalah pribadi, yang celakanya tidak tahu telah hadir monster baru yang berasal dari perusahaannya, seorang pekerja listrik bernama Max Dillon (Jamie Foxx) yang hanya ingin keluar dari kesepian dan memperoleh perhatian.   


Menilik sinopsis diatas tadi akan hadir kesan ambigu pada misi utama yang ingin dicapai oleh The Amazing Spider-Man 2, banyak masalah yang potensial untuk dikembangkan namun faktanya mayoritas dari mereka tidak memperoleh sentuhan yang cukup dalam pada tahap eksekusi. Yap, timbunan konflik yang gemuk itu pada akhirnya memang akan terkesan dipaksa untuk mampu menyelip masuk kedalam alur cerita dengan berbagai isu, dari menciptakan ruang cerita untuk arena kreatifitas adegan aksi lewat Max Dillon, future plan yang tidak bisa dibuang pada sosok Harry, hingga pemanis tambahan pada Aleksei. Berantakan, sedikit tidak konsisten, tapi masalahnya adalah Marc Webb tetap berhasil membentuk ini menjadi sajian berantakan yang menghibur.

Aneh memang karena dibalik segala kekacauan yang mayoritas masih di isi dengan hal lama pada elemen script sulit pula untuk tidak mengakui bahwa The Amazing Spider-Man 2 mampu memberikan unsur fun yang terasa pas selama 142 menit durasi yang ia punya. Cerita hasil kerja sama Alex Kurtzman, Roberto Orci, dan Jeff Pinkner yang terkesan pemalas dan sedikit terburu-buru dalam gerak berat yang ia hadirkan itu seperti membentuk sebuah rollercoaster, terkadang bermain dengan drama mengandalkan emosi yang coba menelusuri hubungan multi arah antar karakter dengan Peter sebagai sentralnya meskipun cenderung lebih sering berakhir terlalu stabil, dan ketika penonton mulai merasa tenang dan nyaman Marc Webb kemudian menghantam mereka dengan adegan aksi penuh koreografi dan akrobatik dinamis dalam gerak cepat yang presisi dan rapi hasil sentuhan “palsu” yang memikat dari departemen visual efek bersama kualitas 3D yang mumpuni. 


Hal tersebut yang kerap kali menjadi sumber hadirnya senyuman sembari terus bertanya apa sih sebenarnya maunya film ini. The Amazing Spider-Man 2 seperti dikemas tanpa eksistensi dinding yang membatasi diri seorang Spider-Man sebagai seorang superhero yang hanya bertugas menyelamatkan penduduk dari bahaya. Memang tidak selevel dengan Spider-Man 2 versi Sam Raimi, tapi tragedi serta kisah romansa itu berhasil ditampilkan oleh Marc Webb yang uniknya ia kemas dengan terus menekankan kesan freestyle didalam penceritaan, bergerak bebas namun punya point-point utama yang berhasil muncul di dalam cerita dan tergambarkan dengan baik, walaupun disamping itu sayangnya mereka hanya sebatas ada karena Marc Webb cenderung lebih asyik bermain-main dengan banyak hal yang punya kapasitas minor.

Ya, The Amazing Spider-Man 2 adalah presentasi yang warna-warni, dan ini kacau sebetulnya, tapi disamping itu keputusan tersebut seolah telah di prediksi oleh mereka. Seperti sebuah perjudian, gambling, mari mencoba tampil sedikit lebih segar dan siap menerima resiko terburuknya, dan hasilnya tidak buruk serta cukup berimbang. Cerita yang sedikit melelahkan, humor konyol yang cenderung mengandalkan slapstick klasik namun bekerja dengan baik, kurangnya tekanan dan ancaman dari sosok antagonis karena dibentuk dengan tipis tanpa motivasi yang kuat, hingga observasi pada dilema dengan menggunakan kekuasaan, tanggung jawab, resiko, hingga asmara yang juga tampil baik, ada sebuah pertarungan plus dan minus yang menarik dan menghasilkan dinamika cerita yang variatif untuk menyelamatkan ini dari situasi membosankan.

Tapi ada satu hal lainnya yang berhasil menjawab kepercayaan Marc Webb sejak awal disamping aksi balet di medan perang dimana Webb seperti paham kapan momen yang tepat untuk mempermainkan visual untuk menciptakan gambar yang impresif, serta score electronic hasil kolaborasi Hans Zimmer dan Pharrell Williams yang secara mengejutkan tampil kokoh dan mempertajam kesan segar dan kerap mengendalikan tensi serta tempo cerita. Kisah cinta antara Peter dan Gwen, mereka mengalahkan kepentingan para penjahat dalam cerita untuk memperoleh posisi utama, dan itu terbayarkan lewat eksekusi mumpuni pada sebuah kejutan menjelang akhir. Saya tidak membaca komiknya, tapi saya sudah terlanjur tahu dengan kejutan tersebut saat mencari tahu Gwen Stacy di Wikipedia, dan anehnya ketika kejutan itu hadir masih tercipta emosi yang memikat pada kehancuran tersebut.


Tidak heran memang ketika kita akan memperoleh kisah cinta yang menjadi bagian dari fokus yang terpecah belah itu dalam bentuk yang impresif, karena Andrew Garfield dan Emma Stone mampu melakukan transfer pada kekuatan cinta yang mereka punya di kehidupan nyata kedalam layar tanpa terkesan berlebihan. Chemistry tidak megah, namun kuat dan punya ketulusan yang terasa alami sehingga mampu membuat penontonnya tetap rooting kepada mereka ketika kisah cinta itu tergambarkan dalam penceritaan yang kurang bergelora. Andrew Garfield semakin mampu membuat penontonnya yakin bahwa ia Spider-Man yang baru, ia punya kelembutan yang tampil meyakinkan di kala suka dan duka. Emma Stone sendiri sedikit terbatasi ruang geraknya namun mampu membangun karakternya dengan efektif dan tajam.

Pemeran pendukung yang sejak awal sebenarnya turut berkontribusi pada sedikit meningkatnya ekspektasi justru harus puas menjadi bayangan. Mereka tidak punya ruang yang cukup, oke untuk Sally Field yang memang hanya punya satu bagian penting pada cerita, namun tidak dengan Jamie Foxx dan Dane DeHaan. Karakter Green Goblin memang baru sebatas perkenalan, namun ia dapat memberikan bahaya yang jauh lebih kuat. Dan Jamie Foxx seperti terbuang percuma, Electro tampil unthreatening bersama tujuan yang tidak fokus, untung saja Foxx masih mampu menciptakan pondasi yang jelas ketika karakternya masih berada dalam kondisi sederhana terkait ulang tahun dan atensi itu. Paul Giamatti mampu mencuri atensi sesaat, and I really hope Black Cat can be a part in next film to make a bigger room to Felicity Jones.



Overall, The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro adalah film yang cukup memuaskan. Anda dapat menyebutnya sebagai sebuah kemasan berani yang inovatif, sebuah petualangan tidak fokus tanpa motivasi yang kuat, sebuah kisah superhero dengan kedalaman penceritaan yang sedikit berantakan dan juga canggung, sebuah pertunjukkan adrenaline pumping sembari bermain bersama dilema yang digambarkan dengan mumpuni, sebuah video game dalam balutan dramatisasi yang terlalu stabil, hingga sebuah roman manis dan tidak berlebihan yang seolah tidak peduli dengan eksistensi bahaya disekitar mereka. For me, The Amazing Spider-Man 2 is a bold guilty pleasure. It’s an enjoyable stupid fun. I'll simply say it's on again, it's on again.







1 comment :