02 March 2014

Movie Review: Non-Stop (2014)


Selalu ada nilai positif dan negatif dari sebuah film action thriller yang mengambil setting pesawat terbang. Riskan mungkin lebih tepatnya, karena dengan ruang gerak yang terbatas cerita harus mampu memanfaatkan dengan cermat setiap kesempatan yang ia miliki untuk mempermainkan penontonnya dengan misteri dari sebuah pertanyaan yang tentu saja selalu menjadi sajian utama. United 93 dan Red Eye pernah tampil memikat di kategori ini, namun ada pula yang akhirnya jatuh pada proses menunggu tanpa sensasi seperti Snakes on a Plane dan juga Flightplan. Ruang sempit, antara impresif atau justru super konyol. Non-Stop, you got mystery-thriller sensation, you got fooled.  

Bill Marks (Liam Neeson), seorang U.S. federal air marshal, sedang berada pada stage dimana kehidupannya sangat berantakan, dari anak perempuannya yang meninggal dunia karena kanker, perceraian dengan sang istri, hingga masalah pada rasa takut ketika berada didalam pesawat, hal yang tampak lucu bagi seorang wanita bernama Jen Summers (Julianne Moore) yang akhirnya duduk disebelah Bill setelah bertukar tempat dengan pria bernama Zack White (Nate Parker), pada penerbangan non-stop dari New York menuju London. Namun masalah ternyata belum mau menjauh dari Bill.

Disaat mereka sedang berada diatas lautan Atlantik, Bill menerima sebuah pesan teks yang meminta ia untuk melakukan transfer uang sebesar $ 150 juta dengan ancaman akan jatuh korban dalam tempo waktu setiap 20 menit. Bill memberitahukan hal tersebut kepada rekannya yang juga berada didalam pesawat, Jack Hammond (Anson Mount), kepala pramugari bernama Nancy (Michelle Dockery), dan juga pilot pesawat. Mereka menganggap itu adalah sebuah tindakan iseng, namun yang menjadi masalah korban pertama jatuh, dan sang pelaku tahu semua informasi pribadi Bill, awal mula munculnya kekacauan didalam pesawat.


Plot hole menjadi masalah utama film ini. Sangat banyak red herring disini, dari orang yang meminta lighter, menawarkan obat tetes mata, orang yang menghalangi jalan, wanita yang ingin bertukar bangku, seorang muslim, gadis kecil, hingga pria yang mengaku sebagai NYPD.  Sejak awal ia sudah melemparkan banyak opsi yang disengaja untuk menimbulkan ambiguitas dengan mengandalkan pertarungan antara rasa ragu dan feeling dalam menebak pelaku. Ya, menebak pelaku, karena ini justru lebih terasa seperti undian lotere dimana anda diminta menebak siapa pelakunya, dan jika benar hanya karena anda beruntung, bukannya membangun uraian dari sebuah proses mencari pelaku utama dengan disertai sebuah penjelasan yang mumpuni.

Sederhananya Non-Stop adalah film yang tidak memberikan rasa hormat kepada penontonnya. Bukan berarti mengharapkan sesuatu yang cerdas, ini popcorn movie, hal bodoh tentu saja harus di maklumi. Namun dibalik itu ada limit pada toleransi, dan Non-Stop sedikit melewati batasan tersebut. John W. Richardson, Chris Roach, dan Ryan Engle mungkin merangkai cerita ini tanpa wajah yang serius, seperti tidak berupaya merangkai sebuah struktur dengan materi bodoh yang dapat dimaklumi namun memiliki konklusi yang mumpuni, dan lebih memilih memasukkan berbagai hal yang mereka anggap menarik dengan sesuka hati untuk mengisi kekosongan ruang cerita dibalik tekanan tunggal yang mereka ciptakan pada batas waktu 20 menit itu, hal utama yang sukses memberikan sensasi menarik dan menjaga cerita terus hidup.

Nah, ini dia alasan mengapa Non-Stop pada akhirnya mampu berada pada level cukup memuaskan, sensasi. Bagi saja kisah ini menjadi tiga babak, dan dua babak awal harus diakui kita seperti ikut terjebak dalam ruang sempit berupa kabin pesawat itu. Memang feel ketegangan yang diberikan tidak besar, namun Jaume Collet-Serra paham betul cara untuk terus mencuri atensi penontonnya. Sejak mengenalnya lewat film Orphan, dan kemudian disusul Unknown, tidak peduli seberapa dangkal materi yang ia berikan dan rasa kesal diakhir cerita, selalu ada sedikit rasa puas yang diperoleh. Kali ini ia berhasil menyuntikkan cita rasa modern yang dinamis pada teknik mengambil gambar, yang kemudian dipadukan bersama pilihan untuk menampilkan percakapan pesan dengan teks grafis pada layar. 

Tidak hanya itu, Jaume Collet-Serra juga berhasil mempermainkan penontonnya dengan rasa gelisah. Permainan menebak yang ia hadirkan juga cukup menarik, terlebih karena ia memang tidak perlu repot-repot membagi fokusnya pada upaya menjaga jawaban agar dapat tertutup rapat. Dengan cekatan terus berpindah antar berbagai opsi yang telah ia miliki, seperti tidak mau penontonnya memperoleh waktu untuk merasa yakin pada pilihan mereka. Misteri terus mengambang dalam proses menunggu itu, tidak ada kata membosankan ketika berjalan dalam lika-liku cerita yang kerap diwarnai humor mumpuni serta tidak ketinggalan hal-hal konyol (live report?). Jika sejak awal ia tidak menjadikan penontonnya berharap lebih pada alur kompleks yang ia hadirkan, mungkin pengungkapan dangkal di akhir tidak akan menjadi masalah.

Liam Neeson yang sudah jelas menjadi jualan utama film ini berhasil memberikan performa sesuai dengan apa yang penonton harapkan darinya. Neeson berhasil menjadikan teka-teki dan misteri yang ia bawa tampil menarik, kerapuhan emosi dan efek alkoholisme yang juga sanggup menimbulkan rasa ambigu. You got what you want from him. Yang menarik adalah beberapa pendukung yang mampu dimanfaatkan dengan baik untuk menggerakkan misteri, seperti Julianne Moore dengan tampilan dingin dan ekspresi meragukan, Nate Parker yang sejak awal tidak berhasil menghilang dari daftar, hingga Michelle Dockery yang dibalik rasa ragunya pada Bill justru membuat kita meragukannya. Lupita Nyong'o? No, jangan berharap banyak, film ini diproduksi hampir bersamaan dengan 12 Years a Slave.


Overall, Non-Stop adalah film yang cukup memuaskan. Apresiasi patut diberikan kepada Jaume Collet-Serra yang mampu membangun sensasi dari sebuah perpaduan antara misteri dan thriller dengan sentuhan action yang manis. Namun titik krusial dari film dengan tipe seperti ini terletak pada proses pengungkapan jawaban, dan Non-Stop berada jauh dari kata mumpuni pada bagian ini, yang mungkin akan menjadikan beberapa penonton merasa tertipu dengan semua upaya mereka ketika ikut menebak jawaban atas pertanyaan sederhana yang ia lemparkan.









1 comment :

  1. ending film nya betul-betul tidak bisa ditebak... saya yang nonton jadi terbawa emosi..

    ReplyDelete